Sunday, January 26, 2014

Aku Siapa?



Senja. Angin sore menelusup masuk menyusuri rongga hidungku. Pohon mangga yang berdiri tegak di depan teras rumahku membiarkan beberapa daunnya berterbangan. Daunnya jatuh dan menyetubuhi tanah yang basah setelah gerimis siang tadi.
Seperti biasanya, tiap sore aku selalu menghabiskan waktuku untuk menyambut malam. Aku sangat suka melihat matahari yang terbenam. Aromanya, goresan warnanya yang menghiasi langit, nuansanya, keramaiannya, membuatku betah menyambut malam. Senja.
Tepat di depan rumah, Jalan Kartini membentang. Tidak jauh dari sini terdapat alun-alun kota yang selalu menjadi tempat bersua kawula muda. Ada yang sekedar jalan-jalan dengan teman atau keluarga, tapi paling banyak memang pasangan muda yang memadu tali asmara. Di pinggirnya dibanjiri penjual makanan yang berbaris rapi menyajikan menu-menu yang menggugah selera. Tidak pernah sepi malam-malam di alun-alun itu. Hanya hujan  berbadai saja yang membuatnya berbeda.
Malam ini malam minggu. Sudah bisa dipastikan tempat itu akan dipenuhi jiwa-jiwa yang haus akan hiburan. Apalagi langit cerah menyapa mereka sore ini.
Begitu juga dengan trotoar di depan rumahku. Penjual nasi goreng itu sudah mulai mempersiapkan lapaknya. Bau bumbunya yang khas mengusik hidungku. Terlihat menggoda, tapi menyisakan rasa ingin muntah. Lidahku jadi kaku untuk memakan makanan kotor semacam itu. Demi Tuhan aku tak sudi membiarkan sesuap pun makanan itu melewati kerongkonganku. Kau tahu? Penjualnya orang miskin. Susah. Lihat pakaiannya. Baju rongsokan yang diperoleh dari sisa partai pada masa kampanye. Jadi semakin jijik. Lihat warnanya! Hitam pekat penuh daki, berminyak, bau. Bagaimana aku bisa memakan masakannya? Membayangkannya pun aku tak sudi.
Apalagi sisa makanan yang dibuang di selokan begitu saja. Menyisakan bekas yang sangat menjijikkan. Aroma yang tercipta tidak pernah bisa kulupakan. Itu sangat menyiksa otakku.
Harusnya mereka sadar. Mereka jualan di trotoar itu melanggar aturan. Orang seperti mereka memang tidak tahu untung. Bodoh.
Pernah suatu malam penjual itu—dia bernama... Ah, aku lupa. Bahkan tidak penting bagiku mengetahui namanya— memberikan sepiring nasi goreng yang masih hangat secara gratis. Hampir saja aku menolaknya. Tapi aku ingat dengan jabatanku, aku tidak ingin terlihat kasar di depan mereka. Kehormatanku. Wajah miskinnya membuatku iba—untuk beberapa kejap. Kukeluarkan uang lima puluhan dari dompet dan kuberikan padanya. Bodohnya dia menolak. Dia sok jual mahal. Seperti sudah kaya saja tak mau menerima uang dariku. Aku paksa dia untuk menerima, tapi dia malah lari dengan senyum sok kayanya, dan membiarkan uang itu jatuh ditelan gelap malam. Sial..! Sombong sekali dia. Terbakar rasanya hatiku diinjak-injak olehnya. Kubuang nasi goreng itu dan kuinjak-injak bersama uang itu. Aku semakin membenci orang miskin itu. Miskin, urakan, nista, penjilat, pembual, lagi munafik.
Pikiranku mendadak jadi penat memikirkan orang itu. Aku ingin berjalan-jalan dipekaranganku yang cukup luas ini. Menikmati mawar dan bougenvil kesayanganku. Kubaui aromanya, dan kusentuh ragam warna dengan jeli mataku, hingga otakku segar kembali. Terimakasih Tuhan aku kembali segar.
Pandanganku tercuri pada sebuah gubuk kecil berukuran 3 kali 2 meter. Gubuk itu, tempat biasa Pak Min... bukan, Pak.. Entah, aku juga lupa siapa nama tukang kebunku. Gubuk itu selalu dijadikan tempat persediaan pupuk, dan tanah untuk membuat dan menanam bunga-bunga kesayangaku. Lelaki tua separuh abad itu juga terkadang melepas lelah untuk tidur di tempat itu. Dia juga miskin. Tapi setidaknya dia tidak lebih buruk dari tukang nasi goreng tadi. Lebih bersih, aroma tubuhnya tidak menusuk kesadaranku, dan tidaklah suka membangkang. Aku suka memberi bonus di akhir bulan. Supaya kehormatanku dan kepercayaan mereka terhadapku tetap terjaga.
Garis-garis gubuk itu membawaku terbang pada kejadian malam itu.
Kala bulan telah bertengger dalam kegelapan malam. Angin malam yang tak kunjung datang membuat kaum muda menjadi semakin ramai saja. Rumahku yang tidak jauh dari alun-alun pun juga jadi imbasnya. Keramaian terlihat dari teras rumahku. Pekaranganku yang luas terlihat seperti rumah tak berpenghuni. Penerangan yang sedang rusak menambah kegelapan pandangan.
Suara riuh pelan muncul dari gubuk itu. Dari kejauhan kusorotkan penerang ke arah gubuk itu. Gerlap lampu alun-alun masih berpenjar mengalahkan senterku. Sepi. Tapi semakin keras saja suaranya. Rasa penasaranku dibuatnya semakin menggebu. Apakah kucing tengah berkelahi di sana? Atau ada pencuri di sana? Atau bahkan hantu? Aku rasa bukan. Langkahku agak gemetar dalam langkah pertama. Tapi aku bisa menguasai diriku beberapa langkah lainnya.
Pintu itu tertutup. Tapi suara yang dari jauh nampak tidak begitu jelas, sekarang sudah benar-benar nyata. Aku sudah bisa memastikan siapa yang berasa di dalamnya. Tanpa ragu kudobrak pintu dari anyaman bambu itu dengn kakiku. Suara pintu tersebut mengagetkan dua orang yang ada di dalamnya. Seorang laki-laki dan perampuan usia belasan tahun. Laki-laki dengan wajah memerah tanpa celana mendadak celingukan. Yang satunya, perempuan tengah telentang di tumpukan jerami dengan tanpa sehelai kain pun melekat di tubuh putihnya. Aku seketika meneriakinya, mengatainya, mengunjing mereka, dan menyambar mereka dengan apa pun yang berada di dekatku. Mereka seketika kaget, bingung,  takut, dan malu. Semua membaur menjadi satu. Laki-laki dengan wajah yang cukup tampan lari begitu saja setelah menemukan celananya tanpa mengenakannya terlebih dahulu. Sedangkan yang perempuan hanya duduk di sudut ruang dengan menutupi wajahnya dengan pakaiannya.
“Dasar manusia tidak beradab! Manusia Jalang! Laknat! Kau menodai singgah sanaku. Kau tidak tahu di rumah siapa kamu melakukan hal menjijikkan ini. Kau tidak tahu siapa aku?”
Perempuan itu malah menangis. Matanya yang membendung air mata mengemis belas kasihku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya tidak ingin kehormatanku, martabatku, terlindas oleh perbuatan iblis kecil ini.
“Kenakan pakaianmu! Lekas pergi dari sini! Jangan sampai ada wartawan memergoki istanaku kau jadikan tempat mesum. Atau kamu akan tahu sendiri akibatnya.”
Perempuan itu tergopoh menggunakan pakaiannya yang serba minim itu. Perempuan itu menyempatkan kegugupannya untuk melirik matanya ke arahku. Aku tak acuh. Ia pun segera lari dengan payudara yang masih ditempa langsung oleh angin malam. Ia menggunakan bajunya sambil berlari terseok.
Kenangan malam itu membuatku sadar. Bahwa semua manusia memang jalang. Manusia miskin, manusia pinggiran, manusia kotor dan biadap memang selalu merepotkan. Mereka tidak tahu diuntung. Tidak tahu terima kasih, tidak tahu malu. Menjijikkan.
Senja semakin jauh berpendar. Musik di alun-alun semakin jauh menggema, mengalahkan suara adzan di surau di ujung gang sana. Lampu sorot mencorong menembus kegelapan malam, membentuk bingkai pada bintang yang bertaburan
Hah..! Tawa remehku menyungging dari gores bibirku. Mereka hanya pandai memanfaatkan orang sepertiku ini. Hah.!! Aku tak sebodoh yang mereka pikirkan. Mereka tidak tahu kalau aku ini adalah...
Karena aku adalah..
Aku adalah...
Kenapa sulit untuk mengatakan bahwa aku adalah... Seperti ada yang mengikat lidahku, menyangga rahangku, meyumbat saluran nafasku, mengunci tiap urat yang menghubungkannya dengan huruf-huruf itu.
“Siapa Kamu?” suara itu mengsik telingaku.
“Siapa Kamu?” Lagi-lagi suara itu menyambar ketenanganku. Suara itu terjadi berulang-ulang, bersaut-sautan, memenuhi rongga kesadaranku. Lambat laun suara itu menjadi semakin jelas dan menjadi satu.
Mataku menyelidik mencari sumber suara macam apa yang berani-beraninya menantangku dengan pertanyaan seperti itu.
Sia-sia. Tak ada seorang pun di batas pandang mataku. Yang ada hanya seokor kucing yang memandangku dengan tatapan yang aneh. Matanya tajam merah mencekam, menyimpan sejuta tanda tanya.
“Bahkan Kamu tidak menganggap keberadaanku.! Siapa Kamu?”
Sepertinya aku sudah gila. Kucing itu berbicara padaku. Pandangannya yang tajam mendesakku untuk mengatakan bahwa, “Aku adalah...”
“Kau tidak tahu siapa dirimu bukan? Bahkan kau tidak tahu apa jenis kelaminmu bukan?”
“Lancang sekali mulutmu itu,” Kucing itu benar-benar membakar hasrat membunuhku. “Kau ingin tahu?” Aku menerima tantangannya. Sebersit pikiran muncul dalam amarahku, Aku benar-benar seperti orang yang tidak waras saja mau-maunya menuruti permintaan kucing itu. Tanpa ragu kubuka celanaku dan keperlihatkan langsung di depan matanya.
“Hahaha, ” Kucing itu tertawa jahat. Tawa yang merendahkan harkat martabatku.
Kuraba tempat itu dengan tanganku. Tapi, tanganku tak menyentuh apa pun. Di mana? Pertanyaan itu menusuk relungku. Dengan rasa khawatir yang sangat amat, kutengok langsung kelaminku itu dengan kedua mataku. Tidak ada? Di mana?
“Hahahaha..” Semakin keras saja tertawanya. “Lihatlah! Bahkan Kau tidak tahu bagaimana rupa wajahmu?”
Wajahku?*
Yogyakarta, Juli 2013

No comments:

Post a Comment