Senja. Angin
sore menelusup masuk menyusuri rongga hidungku. Pohon mangga yang berdiri tegak
di depan teras rumahku membiarkan beberapa daunnya berterbangan. Daunnya jatuh
dan menyetubuhi tanah yang basah setelah gerimis siang tadi.
Seperti
biasanya, tiap sore aku selalu menghabiskan waktuku untuk menyambut malam. Aku
sangat suka melihat matahari yang terbenam. Aromanya, goresan warnanya yang
menghiasi langit, nuansanya, keramaiannya, membuatku betah menyambut malam. Senja.
Tepat di depan
rumah, Jalan Kartini membentang. Tidak jauh dari sini terdapat alun-alun kota
yang selalu menjadi tempat bersua kawula muda. Ada yang sekedar jalan-jalan
dengan teman atau keluarga, tapi paling banyak memang pasangan muda yang memadu
tali asmara. Di pinggirnya dibanjiri penjual makanan yang berbaris rapi
menyajikan menu-menu yang menggugah selera. Tidak pernah sepi malam-malam di
alun-alun itu. Hanya hujan berbadai saja
yang membuatnya berbeda.
Malam ini malam
minggu. Sudah bisa dipastikan tempat itu akan dipenuhi jiwa-jiwa yang haus akan
hiburan. Apalagi langit cerah menyapa mereka sore ini.
Begitu juga
dengan trotoar di depan rumahku. Penjual nasi goreng itu sudah mulai
mempersiapkan lapaknya. Bau bumbunya yang khas mengusik hidungku. Terlihat
menggoda, tapi menyisakan rasa ingin muntah. Lidahku jadi kaku untuk memakan
makanan kotor semacam itu. Demi Tuhan aku tak sudi membiarkan sesuap pun
makanan itu melewati kerongkonganku. Kau tahu? Penjualnya orang miskin. Susah.
Lihat pakaiannya. Baju rongsokan yang diperoleh dari sisa partai pada masa
kampanye. Jadi semakin jijik. Lihat warnanya! Hitam pekat penuh daki,
berminyak, bau. Bagaimana aku bisa memakan masakannya? Membayangkannya pun aku
tak sudi.
Apalagi sisa
makanan yang dibuang di selokan begitu saja. Menyisakan bekas yang sangat
menjijikkan. Aroma yang tercipta tidak pernah bisa kulupakan. Itu sangat
menyiksa otakku.
Harusnya mereka
sadar. Mereka jualan di trotoar itu melanggar aturan. Orang seperti mereka
memang tidak tahu untung. Bodoh.
Pernah suatu
malam penjual itu—dia bernama... Ah, aku lupa. Bahkan tidak penting bagiku
mengetahui namanya— memberikan sepiring nasi goreng yang masih hangat secara
gratis. Hampir saja aku menolaknya. Tapi aku ingat dengan jabatanku, aku tidak
ingin terlihat kasar di depan mereka. Kehormatanku. Wajah miskinnya membuatku
iba—untuk beberapa kejap. Kukeluarkan uang lima puluhan dari dompet dan
kuberikan padanya. Bodohnya dia menolak. Dia sok jual mahal. Seperti sudah kaya
saja tak mau menerima uang dariku. Aku paksa dia untuk menerima, tapi dia malah
lari dengan senyum sok kayanya, dan membiarkan uang itu jatuh ditelan gelap
malam. Sial..! Sombong sekali dia. Terbakar rasanya hatiku diinjak-injak
olehnya. Kubuang nasi goreng itu dan kuinjak-injak bersama uang itu. Aku
semakin membenci orang miskin itu. Miskin, urakan, nista, penjilat, pembual,
lagi munafik.
Pikiranku
mendadak jadi penat memikirkan orang itu. Aku ingin berjalan-jalan
dipekaranganku yang cukup luas ini. Menikmati mawar dan bougenvil kesayanganku.
Kubaui aromanya, dan kusentuh ragam warna dengan jeli mataku, hingga otakku
segar kembali. Terimakasih Tuhan aku kembali segar.
Pandanganku
tercuri pada sebuah gubuk kecil berukuran 3 kali 2 meter. Gubuk itu, tempat
biasa Pak Min... bukan, Pak.. Entah, aku juga lupa siapa nama tukang kebunku.
Gubuk itu selalu dijadikan tempat persediaan pupuk, dan tanah untuk membuat dan
menanam bunga-bunga kesayangaku. Lelaki tua separuh abad itu juga terkadang
melepas lelah untuk tidur di tempat itu. Dia juga miskin. Tapi setidaknya dia
tidak lebih buruk dari tukang nasi goreng tadi. Lebih bersih, aroma tubuhnya
tidak menusuk kesadaranku, dan tidaklah suka membangkang. Aku suka memberi
bonus di akhir bulan. Supaya kehormatanku dan kepercayaan mereka terhadapku
tetap terjaga.
Garis-garis gubuk
itu membawaku terbang pada kejadian malam itu.
Kala bulan telah
bertengger dalam kegelapan malam. Angin malam yang tak kunjung datang membuat
kaum muda menjadi semakin ramai saja. Rumahku yang tidak jauh dari alun-alun
pun juga jadi imbasnya. Keramaian terlihat dari teras rumahku. Pekaranganku
yang luas terlihat seperti rumah tak berpenghuni. Penerangan yang sedang rusak
menambah kegelapan pandangan.
Suara riuh pelan
muncul dari gubuk itu. Dari kejauhan kusorotkan penerang ke arah gubuk itu.
Gerlap lampu alun-alun masih berpenjar mengalahkan senterku. Sepi. Tapi semakin
keras saja suaranya. Rasa penasaranku dibuatnya semakin menggebu. Apakah kucing
tengah berkelahi di sana? Atau ada pencuri di sana? Atau bahkan hantu? Aku rasa
bukan. Langkahku agak gemetar dalam langkah pertama. Tapi aku bisa menguasai
diriku beberapa langkah lainnya.
Pintu itu
tertutup. Tapi suara yang dari jauh nampak tidak begitu jelas, sekarang sudah
benar-benar nyata. Aku sudah bisa memastikan siapa yang berasa di dalamnya. Tanpa
ragu kudobrak pintu dari anyaman bambu itu dengn kakiku. Suara pintu tersebut
mengagetkan dua orang yang ada di dalamnya. Seorang laki-laki dan perampuan
usia belasan tahun. Laki-laki dengan wajah memerah tanpa celana mendadak
celingukan. Yang satunya, perempuan tengah telentang di tumpukan jerami dengan
tanpa sehelai kain pun melekat di tubuh putihnya. Aku seketika meneriakinya,
mengatainya, mengunjing mereka, dan menyambar mereka dengan apa pun yang berada
di dekatku. Mereka seketika kaget, bingung,
takut, dan malu. Semua membaur menjadi satu. Laki-laki dengan wajah yang
cukup tampan lari begitu saja setelah menemukan celananya tanpa mengenakannya
terlebih dahulu. Sedangkan yang perempuan hanya duduk di sudut ruang dengan
menutupi wajahnya dengan pakaiannya.
“Dasar manusia
tidak beradab! Manusia Jalang! Laknat! Kau menodai singgah sanaku. Kau tidak
tahu di rumah siapa kamu melakukan hal menjijikkan ini. Kau tidak tahu siapa
aku?”
Perempuan itu
malah menangis. Matanya yang membendung air mata mengemis belas kasihku. Aku
tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya tidak ingin kehormatanku, martabatku,
terlindas oleh perbuatan iblis kecil ini.
“Kenakan
pakaianmu! Lekas pergi dari sini! Jangan sampai ada wartawan memergoki istanaku
kau jadikan tempat mesum. Atau kamu akan tahu sendiri akibatnya.”
Perempuan itu
tergopoh menggunakan pakaiannya yang serba minim itu. Perempuan itu
menyempatkan kegugupannya untuk melirik matanya ke arahku. Aku tak acuh. Ia pun
segera lari dengan payudara yang masih ditempa langsung oleh angin malam. Ia
menggunakan bajunya sambil berlari terseok.
Kenangan
malam itu membuatku sadar. Bahwa semua manusia memang jalang. Manusia miskin,
manusia pinggiran, manusia kotor dan biadap memang selalu merepotkan. Mereka
tidak tahu diuntung. Tidak tahu terima kasih, tidak tahu malu. Menjijikkan.
Senja
semakin jauh berpendar. Musik di alun-alun semakin jauh menggema, mengalahkan
suara adzan di surau di ujung gang sana. Lampu sorot mencorong menembus
kegelapan malam, membentuk bingkai pada bintang yang bertaburan
Hah..!
Tawa remehku menyungging dari gores bibirku. Mereka hanya pandai memanfaatkan
orang sepertiku ini. Hah.!! Aku tak sebodoh yang mereka pikirkan. Mereka tidak
tahu kalau aku ini adalah...
Karena
aku adalah..
Aku
adalah...
Kenapa
sulit untuk mengatakan bahwa aku adalah... Seperti ada yang mengikat lidahku,
menyangga rahangku, meyumbat saluran nafasku, mengunci tiap urat yang
menghubungkannya dengan huruf-huruf itu.
“Siapa
Kamu?” suara itu mengsik telingaku.
“Siapa
Kamu?” Lagi-lagi suara itu menyambar ketenanganku. Suara itu terjadi
berulang-ulang, bersaut-sautan, memenuhi rongga kesadaranku. Lambat laun suara
itu menjadi semakin jelas dan menjadi satu.
Mataku
menyelidik mencari sumber suara macam apa yang berani-beraninya menantangku
dengan pertanyaan seperti itu.
Sia-sia.
Tak ada seorang pun di batas pandang mataku. Yang ada hanya seokor kucing yang
memandangku dengan tatapan yang aneh. Matanya tajam merah mencekam, menyimpan
sejuta tanda tanya.
“Bahkan
Kamu tidak menganggap keberadaanku.! Siapa Kamu?”
Sepertinya
aku sudah gila. Kucing itu berbicara padaku. Pandangannya yang tajam mendesakku
untuk mengatakan bahwa, “Aku adalah...”
“Kau
tidak tahu siapa dirimu bukan? Bahkan kau tidak tahu apa jenis kelaminmu
bukan?”
“Lancang
sekali mulutmu itu,” Kucing itu benar-benar membakar hasrat membunuhku. “Kau
ingin tahu?” Aku menerima tantangannya. Sebersit pikiran muncul dalam amarahku,
Aku benar-benar seperti orang yang tidak waras saja mau-maunya menuruti
permintaan kucing itu. Tanpa ragu kubuka celanaku dan keperlihatkan langsung di
depan matanya.
“Hahaha,
” Kucing itu tertawa jahat. Tawa yang merendahkan harkat martabatku.
Kuraba
tempat itu dengan tanganku. Tapi, tanganku tak menyentuh apa pun. Di mana? Pertanyaan itu menusuk relungku.
Dengan rasa khawatir yang sangat amat, kutengok langsung kelaminku itu dengan
kedua mataku. Tidak ada? Di mana?
“Hahahaha..”
Semakin keras saja tertawanya. “Lihatlah! Bahkan Kau tidak tahu bagaimana rupa
wajahmu?”
Wajahku?*
Yogyakarta,
Juli 2013
No comments:
Post a Comment