Sunday, January 26, 2014

Menjemput Pagi



Sepertinya tanganku terasa sangat berat. Bahkan untuk mengedipkan mata pun aku tak sanggup. Bahkan aku tak tahu apakah air mataku telah menetes. Hanya dingin yang menusuk tajam menembus kulit tipisku. Tubuhku tergeletak kaku pada permadani yang diimpor dari timur tengah sana. Aku sudah benar-benar merasa lelah, bahkan aku hampir tak merasakan kelelahan itu. Di ujung nafasku yang berujung pada akhir kefanaan.
Entah kenapa aku pernah bermimpi menjadi aku yang sekarang.  Kala itu aku hanya berfikir profesiku ini adalah sesuatu yang sangat tinggi. Sesuatu yang sangat disanjung banyak orang di tempatku tinggal. Sesuatu yang membuat semua tetangga menjadi iri setengah mati. Tapi entah bagian mananya yang membuat tetanggaku menyanjungnya. Entah apa yang membuat tetanggaku benar-benar ingin menjadi orang sepertiku. Seperti diriku yang sekarang.
Namaku Siti. Lahir di sebuah desa yang masih jauh dengan asap yang mengepul jalanan. Jauh pula dengan beton yang disihir menjadi bangunan pencakar langit. Hanya ada sawah dan kebun jagung yang menaburi luasnya mata memandang. Tak ada aungan motor ataupun mobil yang memecah kehangatan pagi, hanya ada suara kerbau yang terbangun dari lelapnya.
Sejak kelahiranku, aku mendengar kata itu. Kata yang sering sekali diucapkan oleh Ibuku saat menggendongku, atau saat berusaha menidurkanku. Seakan-akan aku telah diberi label bahwa aku akan menjadi demikian kelak. Ibuku sangat senang sekali dengan kelahiran anak keduanya yang perempuan setelah anak pertamanya terlahir laki-laki. Bahkan di masa sekolah dasarku, dengan bangganya ibuku memberi tahu kepada semua tetangga bahwa aku akan menjadi TKI. Aku harus menjadi TKI.
Lihat! Tak ada rumah yang terlihat layak di kampungku. Rata-rata semua bangunan terbuat dari bambu.. Hanya ada beberapa bangunan yang berdinding batako. Tidak ada pekerjaan lain selain bertani, mengembala kerbau, dan mencari ikan di sungai. Bahkan lebih banyak yang berdiri, berjalan, dan berlari tanpa arah, alias pengangguran yang luntang lantung tak tahu arah.
Di ujung kampung itu ada sebuah rumah yang cukup mewah. Bahkan sangat mewah di mata kami. Bangunan dengan dua lantai menjulang. Dengan dinding berwarna kuning yang sangat mencolok. Di depannya dihiasi pekarangan bunga anggrek dan bougenvil yang menambah sedap pemandangan. Rumah itu dihuni hanya oleh tiga orang. Sepasang suami istri yang sudah ditubuhi uban di bagian kepalanya. Ditambah satu cucu laki-laki mereka, yang suka mengajak teman sebayanya bermain mobil-mobilan, pistol-pistolan, robot-robotan, dan berbagai mainan yang ia peroleh dari neneknya. Sayangnya bocah kecil itu belum pernah melihat ibunya sejak usianya enam bulan. Kata orang-orang Ibu bocah kecil itu menjadi TKI di Malaysia. Tidak ada yang tahu dengan keberadaan bapaknya. Orang-orang sangat menyegani keluarga tersebut. Entah, mereka menganggap keluarga tersebut sangat terpandang gara-gara profesinya sebagai TKI.
Padahal semua orang tahu, sebelum anak perempuannya jadi TKI. Sepasang tua itu hanya bekerja sebagai pengumpul eceng gondok di pinggir kali. Tapi, semua berubah setelah kepergian anak perempuan mereka ke Malaysia.
Karena keluarga itulah, sejak kecil aku didekte untuk menjadi seorang TKI. Kala itu, bocah usia lima belas tahun sepertiku hanya menurut saja apa yang diarahkan orang tuaku. Bahkan dulu aku juga punya sedikit keinginan untuk menjadi TKI, diluar hatiku yang sebenarnya ingin melanjutkan sekolah di tingkat SLTP. Tapi, sekali lagi aku hanya anak kecil yang hanya bisa menyusu pada ibuku.
Tidak beda dengan keluargaku, semua orang menginginkan anaknya untuk menjadi TKI macam perempuan yang sukses membangun rumah gedong itu. Apalagi kondisi masyarakat di tempatku yang masih primitif ini.
Aku ingat, pada akhir tahun itu. Aku, Lastri, Yunah, Ningrum, Ningsih, dan Painem dibawa ke kota dengan mobil terbuka. Kami sangat tertarik sekali di bawa ke tengah kota yang kami sendiri belum pernah menjumpa sebelumnya. Terlalu banyak hal yang membuatku bertanya kala itu. Tapi kubiarkan tanya itu menggantung di anganku. Kami disuruh memakai pakaian terbaik kami. Kami juga berdandan dengan penampilan tercantik kami. Kami semua mematuhi mulut orang tua itu.
Di tempat itu, Aku ditanyai beberapa pertanyaan. Aku hanya menjawab sekenanya. Kamera pun mengabadikan  wajah saya yang berambut keriting ini. Mereka pun menyodorkan secarik kertas dan meminta kami untuk melengkapinya. Gadis sekecilku tak tahu banyak mengenai hal semacam itu.
Hari itu pun tiba, Orang tuaku mengantarkanku di stasiun kota. Dengan air mata yang membendung di kantung matanya, mereka meninggalkanku dalam perjalananku ke Jakarta. Untungnya aku tak sendiri, ada sahabatku yang bisa jadi teman di saat rasa takut dan khawatir menghujam.
Ternyata kebersamaan kami hanya bertahan beberapa hari setelah mendaratnya pesawat yang kami tumpangi mendarat pada sebuah bandara. Aku menjadi merasa ketakutan. Berdiri di tempat yang belum pernah kujamah sebelumnya. Bersua dengan orang yang tak pernah kutahu karakterya. Perasaanku seketika berpijar, tak tentu sifat dan warnanya. Aku berusaha untuk menentang fikiranku, karena aku datang jauh-jauh ke sini karena orang tuaku. Untuk kehidupan yang lebih layak. Aku ingin melihat senyum itu mengembang dengan sempurna di balik wajah kedua orang tuaki. Karena aku adalah seorang TKI. Aku adalah Tenaga Kerja Indonesia.
Lembaran baru pun kubuka. Pada sebuah rumah berlantai dua yang sangat megah, aku mulai hari-hari ku sebagai ‘Babu’. Sebut saja demikian. Rumah itu hanya dihuni oleh sepasang suami istri yang sudah cukup lama usianya. Namun mereka belum mempunyai momongan. Pertemuan pertama yang sangat mengesankan, mereka menyambutku dan menunjukkan kamar tidur untukku. Kamar yang jauh lebih bersih, lebih indah, dan lebih bagus dari kamarku.
Menyapu sudah bukan masalah bagiku. Apalagi mencuci, untungnya ada mesin yang membantu meringankan pekerjaanku. Untunglah aku sering main ke rumah Mbak Nilam, tetanggaku yang menjadi inspirasiku sebagai TKI itu. Di sana terdapat Rice Cooker, Mesin Cuci, dan Kulkas.  Sedikit banyak, aku telah memahami cara menggunakannya.
Aku pikir semua telah beres dan aku bisa beristirahat.Ternyata tidak. Suara teriakan perempuan itu memecah kesadaranku. Entah sebab apa, dia marah-marah padaku.
“What did you do with my dress? You broke it?” amarah perempuan itu dengan gaun merahnya yang kusut.
Sungguh. Aku tidak tahu apa yang dia katakan. Aku masih paham saat dia berbicara dengan bahasa melayu. Tapi kalau bahasa yang satu ini aku benar-benar angkat tangan.
Tanpa aku sadari, telapak tangan putih itu telah mendarat di pipiku. Menyisakan jejak merah yang membuatku mendesah kesakitan. Dia pun meninggalkanku begitu saja.
Aku masih saja bingung dengan apa yang dia lakuakan. Aku pikir aku tidak melakukan satu kesalahan pun, dan aku pikir semuanya kulakukan dengan benar.
Ternyata hari itu adalah awal dari kisah pahitku. Esok, esok, dan esoknya lagi kejadian semacam itu tak bisa terelakkan. Semuanya berjalan begitu saja.
--
Darah mengalir keluar dari mulutku. Aku tidak pernah menyangka akhirnya menjadi seperti ini. Pada sebuah permadani yang diimpor langsung dari timur tengah. Aku bahkan tidak mengira kisah ini tak seindah buah bibir orang-orang dikampungku. Aku hanya gadis kecil yang tak pernah melihat ke arah matahari terbit. Yang aku tahu, aku datang jauh-jauh ke negeri orang hanya untuk menjemput pagi. Hanya itu.

Yogyakarta
Agustucs, 2013

Aku Siapa?



Senja. Angin sore menelusup masuk menyusuri rongga hidungku. Pohon mangga yang berdiri tegak di depan teras rumahku membiarkan beberapa daunnya berterbangan. Daunnya jatuh dan menyetubuhi tanah yang basah setelah gerimis siang tadi.
Seperti biasanya, tiap sore aku selalu menghabiskan waktuku untuk menyambut malam. Aku sangat suka melihat matahari yang terbenam. Aromanya, goresan warnanya yang menghiasi langit, nuansanya, keramaiannya, membuatku betah menyambut malam. Senja.
Tepat di depan rumah, Jalan Kartini membentang. Tidak jauh dari sini terdapat alun-alun kota yang selalu menjadi tempat bersua kawula muda. Ada yang sekedar jalan-jalan dengan teman atau keluarga, tapi paling banyak memang pasangan muda yang memadu tali asmara. Di pinggirnya dibanjiri penjual makanan yang berbaris rapi menyajikan menu-menu yang menggugah selera. Tidak pernah sepi malam-malam di alun-alun itu. Hanya hujan  berbadai saja yang membuatnya berbeda.
Malam ini malam minggu. Sudah bisa dipastikan tempat itu akan dipenuhi jiwa-jiwa yang haus akan hiburan. Apalagi langit cerah menyapa mereka sore ini.
Begitu juga dengan trotoar di depan rumahku. Penjual nasi goreng itu sudah mulai mempersiapkan lapaknya. Bau bumbunya yang khas mengusik hidungku. Terlihat menggoda, tapi menyisakan rasa ingin muntah. Lidahku jadi kaku untuk memakan makanan kotor semacam itu. Demi Tuhan aku tak sudi membiarkan sesuap pun makanan itu melewati kerongkonganku. Kau tahu? Penjualnya orang miskin. Susah. Lihat pakaiannya. Baju rongsokan yang diperoleh dari sisa partai pada masa kampanye. Jadi semakin jijik. Lihat warnanya! Hitam pekat penuh daki, berminyak, bau. Bagaimana aku bisa memakan masakannya? Membayangkannya pun aku tak sudi.
Apalagi sisa makanan yang dibuang di selokan begitu saja. Menyisakan bekas yang sangat menjijikkan. Aroma yang tercipta tidak pernah bisa kulupakan. Itu sangat menyiksa otakku.
Harusnya mereka sadar. Mereka jualan di trotoar itu melanggar aturan. Orang seperti mereka memang tidak tahu untung. Bodoh.
Pernah suatu malam penjual itu—dia bernama... Ah, aku lupa. Bahkan tidak penting bagiku mengetahui namanya— memberikan sepiring nasi goreng yang masih hangat secara gratis. Hampir saja aku menolaknya. Tapi aku ingat dengan jabatanku, aku tidak ingin terlihat kasar di depan mereka. Kehormatanku. Wajah miskinnya membuatku iba—untuk beberapa kejap. Kukeluarkan uang lima puluhan dari dompet dan kuberikan padanya. Bodohnya dia menolak. Dia sok jual mahal. Seperti sudah kaya saja tak mau menerima uang dariku. Aku paksa dia untuk menerima, tapi dia malah lari dengan senyum sok kayanya, dan membiarkan uang itu jatuh ditelan gelap malam. Sial..! Sombong sekali dia. Terbakar rasanya hatiku diinjak-injak olehnya. Kubuang nasi goreng itu dan kuinjak-injak bersama uang itu. Aku semakin membenci orang miskin itu. Miskin, urakan, nista, penjilat, pembual, lagi munafik.
Pikiranku mendadak jadi penat memikirkan orang itu. Aku ingin berjalan-jalan dipekaranganku yang cukup luas ini. Menikmati mawar dan bougenvil kesayanganku. Kubaui aromanya, dan kusentuh ragam warna dengan jeli mataku, hingga otakku segar kembali. Terimakasih Tuhan aku kembali segar.
Pandanganku tercuri pada sebuah gubuk kecil berukuran 3 kali 2 meter. Gubuk itu, tempat biasa Pak Min... bukan, Pak.. Entah, aku juga lupa siapa nama tukang kebunku. Gubuk itu selalu dijadikan tempat persediaan pupuk, dan tanah untuk membuat dan menanam bunga-bunga kesayangaku. Lelaki tua separuh abad itu juga terkadang melepas lelah untuk tidur di tempat itu. Dia juga miskin. Tapi setidaknya dia tidak lebih buruk dari tukang nasi goreng tadi. Lebih bersih, aroma tubuhnya tidak menusuk kesadaranku, dan tidaklah suka membangkang. Aku suka memberi bonus di akhir bulan. Supaya kehormatanku dan kepercayaan mereka terhadapku tetap terjaga.
Garis-garis gubuk itu membawaku terbang pada kejadian malam itu.
Kala bulan telah bertengger dalam kegelapan malam. Angin malam yang tak kunjung datang membuat kaum muda menjadi semakin ramai saja. Rumahku yang tidak jauh dari alun-alun pun juga jadi imbasnya. Keramaian terlihat dari teras rumahku. Pekaranganku yang luas terlihat seperti rumah tak berpenghuni. Penerangan yang sedang rusak menambah kegelapan pandangan.
Suara riuh pelan muncul dari gubuk itu. Dari kejauhan kusorotkan penerang ke arah gubuk itu. Gerlap lampu alun-alun masih berpenjar mengalahkan senterku. Sepi. Tapi semakin keras saja suaranya. Rasa penasaranku dibuatnya semakin menggebu. Apakah kucing tengah berkelahi di sana? Atau ada pencuri di sana? Atau bahkan hantu? Aku rasa bukan. Langkahku agak gemetar dalam langkah pertama. Tapi aku bisa menguasai diriku beberapa langkah lainnya.
Pintu itu tertutup. Tapi suara yang dari jauh nampak tidak begitu jelas, sekarang sudah benar-benar nyata. Aku sudah bisa memastikan siapa yang berasa di dalamnya. Tanpa ragu kudobrak pintu dari anyaman bambu itu dengn kakiku. Suara pintu tersebut mengagetkan dua orang yang ada di dalamnya. Seorang laki-laki dan perampuan usia belasan tahun. Laki-laki dengan wajah memerah tanpa celana mendadak celingukan. Yang satunya, perempuan tengah telentang di tumpukan jerami dengan tanpa sehelai kain pun melekat di tubuh putihnya. Aku seketika meneriakinya, mengatainya, mengunjing mereka, dan menyambar mereka dengan apa pun yang berada di dekatku. Mereka seketika kaget, bingung,  takut, dan malu. Semua membaur menjadi satu. Laki-laki dengan wajah yang cukup tampan lari begitu saja setelah menemukan celananya tanpa mengenakannya terlebih dahulu. Sedangkan yang perempuan hanya duduk di sudut ruang dengan menutupi wajahnya dengan pakaiannya.
“Dasar manusia tidak beradab! Manusia Jalang! Laknat! Kau menodai singgah sanaku. Kau tidak tahu di rumah siapa kamu melakukan hal menjijikkan ini. Kau tidak tahu siapa aku?”
Perempuan itu malah menangis. Matanya yang membendung air mata mengemis belas kasihku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya tidak ingin kehormatanku, martabatku, terlindas oleh perbuatan iblis kecil ini.
“Kenakan pakaianmu! Lekas pergi dari sini! Jangan sampai ada wartawan memergoki istanaku kau jadikan tempat mesum. Atau kamu akan tahu sendiri akibatnya.”
Perempuan itu tergopoh menggunakan pakaiannya yang serba minim itu. Perempuan itu menyempatkan kegugupannya untuk melirik matanya ke arahku. Aku tak acuh. Ia pun segera lari dengan payudara yang masih ditempa langsung oleh angin malam. Ia menggunakan bajunya sambil berlari terseok.
Kenangan malam itu membuatku sadar. Bahwa semua manusia memang jalang. Manusia miskin, manusia pinggiran, manusia kotor dan biadap memang selalu merepotkan. Mereka tidak tahu diuntung. Tidak tahu terima kasih, tidak tahu malu. Menjijikkan.
Senja semakin jauh berpendar. Musik di alun-alun semakin jauh menggema, mengalahkan suara adzan di surau di ujung gang sana. Lampu sorot mencorong menembus kegelapan malam, membentuk bingkai pada bintang yang bertaburan
Hah..! Tawa remehku menyungging dari gores bibirku. Mereka hanya pandai memanfaatkan orang sepertiku ini. Hah.!! Aku tak sebodoh yang mereka pikirkan. Mereka tidak tahu kalau aku ini adalah...
Karena aku adalah..
Aku adalah...
Kenapa sulit untuk mengatakan bahwa aku adalah... Seperti ada yang mengikat lidahku, menyangga rahangku, meyumbat saluran nafasku, mengunci tiap urat yang menghubungkannya dengan huruf-huruf itu.
“Siapa Kamu?” suara itu mengsik telingaku.
“Siapa Kamu?” Lagi-lagi suara itu menyambar ketenanganku. Suara itu terjadi berulang-ulang, bersaut-sautan, memenuhi rongga kesadaranku. Lambat laun suara itu menjadi semakin jelas dan menjadi satu.
Mataku menyelidik mencari sumber suara macam apa yang berani-beraninya menantangku dengan pertanyaan seperti itu.
Sia-sia. Tak ada seorang pun di batas pandang mataku. Yang ada hanya seokor kucing yang memandangku dengan tatapan yang aneh. Matanya tajam merah mencekam, menyimpan sejuta tanda tanya.
“Bahkan Kamu tidak menganggap keberadaanku.! Siapa Kamu?”
Sepertinya aku sudah gila. Kucing itu berbicara padaku. Pandangannya yang tajam mendesakku untuk mengatakan bahwa, “Aku adalah...”
“Kau tidak tahu siapa dirimu bukan? Bahkan kau tidak tahu apa jenis kelaminmu bukan?”
“Lancang sekali mulutmu itu,” Kucing itu benar-benar membakar hasrat membunuhku. “Kau ingin tahu?” Aku menerima tantangannya. Sebersit pikiran muncul dalam amarahku, Aku benar-benar seperti orang yang tidak waras saja mau-maunya menuruti permintaan kucing itu. Tanpa ragu kubuka celanaku dan keperlihatkan langsung di depan matanya.
“Hahaha, ” Kucing itu tertawa jahat. Tawa yang merendahkan harkat martabatku.
Kuraba tempat itu dengan tanganku. Tapi, tanganku tak menyentuh apa pun. Di mana? Pertanyaan itu menusuk relungku. Dengan rasa khawatir yang sangat amat, kutengok langsung kelaminku itu dengan kedua mataku. Tidak ada? Di mana?
“Hahahaha..” Semakin keras saja tertawanya. “Lihatlah! Bahkan Kau tidak tahu bagaimana rupa wajahmu?”
Wajahku?*
Yogyakarta, Juli 2013