(cerpen : romance)
Anak-anak kecil itu
berlarian mengejar bola ke sana ke mari. Ada juga yang bermain boneka, atau pun
balon udara. Sementara pasangan muda mudi bermesra dengan syahdunya. Tak mau
kalah, juga manula yang bernostalgia dengan cucu-cucunya, menari, bernyanyi,
dan bercerita. Sepertinya pelangi berserakan membasahi taman itu, hanya saja
tidak pada satu titik. Di kursi biru di bawah pohon beringin itu.
Selalu. Tiap petang hendak
berkunjung, lelaki itu selalu duduk di kursi taman. Sendiri. Dia hanya terdiam,
dan sibuk dengan sejumlah pemikiran yang ada dikepalanya. Seperti orang yang
kehilangan akalnya. Melamun. Dengan pandangan yang bertanya. Sesekali dia
memperharhatikan orang-orang yang berkunjung di taman itu. Seolah mencari paras
wajah yang silih berganti. Mencari di setiap sudut taman. Sepertinya tidak ada
wajah yang dia tunggu kedatangannya sedari tadi.
Sesekali ia terpejam.
Hidungnya terlihat mengembang tengah menghirup udara senja. ia pun memandang ke
langit yang jingga. Mengamati tiap gores warna yang melebur bersama awan biru
yang layu. Seakan bertanya kapan dia datang. Tapi, langit pun seakan menjawab,
Dia tidak akan pernah datang untuk bersua. Dia pun kembali terdiam. Memandang
jauh dalam kekosongan.
Wajahnya tampan, kulitnya
pun bersih putih. Begitu mesra walau hanya sekedar dipandang. Banyak perempuan
yang suka dulu. Dulu. Tapi... Malang.
Terkadang dia terdiam
begitu lama. Sesekali dia membuka mulutnya dan komat-kamit sendiri. Seperti
sedang berdialog dengan bayang halusinasi. Bibirnya pelan terbuka dan tertutup,
mengulang naskah drama kisah lalu.
Rintik gerimis pun memulai
hujan panjang sore itu. Sepasang mata terlihat bahagia menatap langit sendu.
Bibirnya membentuk lembah yang indah. Giginya terlihat bersembunyi dibalik
bibir merah darah. Nafas yang melalui tenggorokan terdengar dalam.
Matanya pun terpejam pelan.
Angin dingin menyelimuti kulit tipisnya. Memberi kabar bahwa alam hendak
bercerita kepadanya. Dia pun mulai hiilang. Jiwanya terbang merasuk bersama
alam. Sukmanya mulai menyetubuhi gores alam. Jiwanya sudah benar-benar menyatu
dengan alam.
Hujan yang turun pun
dibiarkan secara sempurna membasahi seluruh tubuhnya. Kaos putihnya yang basah
membuat tubuhnya terbingkai dalam genang air hujan. Petir pun memotret
wajahnya. Menggelegar memekakan telinga.
Saat semua orang pergi
meninggalkan tanah hijau ini, hanya dia yang bertengger di kursi merah itu.
Setelah cukup lama, tiba-tiba hujan pun berhenti. Bukan. Petir masih menyambar,
suara hujan yang menghentak pun masih memberi irama. Angin pun mengabarkan
bahwa hujan masih akan terus berterjunan. Lantas, kenapa air tak memberi kejut
pada tubuhnya?
Dia pun membuka matanya
pelan. Ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dibalik matanya. Seseosok
hawa berdiri di depannya. Matanya yang basah mencoba mengidentifikasi perempuan
yang membawa payung berwarna biru. Data-data yang diperoleh membuat pupil
matanya bereaksi cepat. Seperti ada kilatan yang menyulut matanya.
Ya, dia cantik. Rambutnya
panjang mengombak. Matanya sayu. Kulitnya begitu putih dan bersih.
“Terimakasih,” ucapnya
setelah perempuan itu memberikan payung.
“Kenapa kamu nggak
berteduh?” Dia bertanya dengan wajah polosnya.
“Mm.. nggak apa-apa.” Pria
itu enggan memberi jawaban kenapa dia hujan-hujanan.
Perempuan itu nampak khawatir,
“Kamu nggak takut kalau demam.”
Dia tersenyum dan
menggeleng pelan. “aku bersahabat dengan hujan.”
Tiba-tiba dia mengulurkan
tangannya, “Ani.” Perempuan itu melambungkan namanya ditengah hujan deras.
Lelaki itu tidak merespon, dia malah kembali memejamkan matanya. mungkin dia
tak mendengarnya. “Boleh aku duduk?” Pinta Ani dengan suara yang lebih keras
dari sebelumya.
Tanpa memperoleh ijin, Ani
pun duduk disamping lelaki itu. “Kamu kenapa ikut hujan-hujanan di sini. Nanti
kamu sakit.” Ujar lelaki itu melihat tingkah Ani membuang payung yang
dipakainya tadi, dan duduk dismpingnya sambil menikmati hujan. “Sekarang kamu
jadi basah kan?”
“Kenapa kamu
mengkhawatirkanku?” tanya perempuan itu dengan tubuh yang basah kuyup. “Aku
juga ingin bersahabat dengan hujan. Kamu mau mengenalkanku dengan hujan kan?”
Lelaki itu terdiam, matanya
tajam menatap perempuan asing yang baru bertemu dengannya itu. Seperti hendak
membaca makna dibalik mimik wajahnya. Ani malah tersenyum dan mengulang lagi
mengenalkan diri “Aku Ani, A. N. I.” Iya mengejanya seakan-akan Lelaaki di
depannya itu tak bisa mendengar dengan jelas. ”Ani.”
Lelaki itu pun membalas
senyum itu dengan lekukan bibirnya yang tipis, “Aku Rendi.”
Pertemuan sore itu membuka
pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Esok berganti hari, kemarin tinggal
kenangan. Hari terus berputar-putar mencari sebuah akhir dari cerita mereka.
Mereka pun mengukir kisah dalam bias waktu yang terus berjalan.
Beberpa kali mereka
menghabiskan hari-harinya untuk sekedar ngobrol bareng, jalan-jalan, atau
nonton film. Walaupun hubungan mereka belum jelas, tapi mereka terlihat sangat
mesra. Walaupun sebenarnya tidak ada yang tahu, apakah kemesraan yang nampak di
luar semesra di dalam lubuk hati mereka. Tak ada yang tahu.
Sepertinya kisah bertepuk
sebelah tangan itu tidak hanya terjadi pada lirik-lirik lagu yang
disenandungkan remaja-remaja jaman sekarang. Begitu pun dengan kisah drama
mereka. Terlihat jelas dari gelagatnya, hati Rendi tak pernah menganggap
kemurnian kasih Ani. Semua hanya terlihat seperti melukis dengan tinta hitam
pada kanvas hitam. Tidak membekas sama sekali di kotak hatinya.
“Kamu tahu, aku sudah
mengamatimu sejak lama,” gadis yang periang itu mulai bercerita.
Di kafe dekat taman itu,
mereka berdua duduk dalam obrolan sederhana. Pernak-pernik yang penuh warna,
dengan berbagai propertis populer khas anak muda. seroang pelayan datang dengan
membawa pesanan mereka. “Makasih mas.”
“Aku heran melihatmu, tiap sore Kamu pasti
duduk di kursi itu dan diam begitu saja. Sebenarnya apa yang kamu lakukan?”
perempuan itu mulai mengorek infromasi dari Rendi. Tapi Rendi enggan memulai
bicara, ia malah mengambil roti bakar dan mulai mengunyahnya. Ani pun turut
serta memakan menu yang tergeletak di depan matanya.
“Kamu suka roti bakar?”
tanya Ani lagi yang tiada lelahnya mencoba mengambil perhatian dari lelaki yang
disukainya itu. Rendi hanya mengangguk dingin.
Perempuan itu pun tak mau
kalah dengan sikap acuh lelaki di depannya itu. Ia terus berusaha memancing
perhatian dari Rendi, umpan berganti umpan, ia mencoba terus dengan tulus yang
ia berikan. Namun, Rendi hanya memberikan sebatas respon yang mengambang.
Membuat hati Ani melilit tak karuan. Mungkin memang begitu wataknya, Ani
berusaha mendinginkan hatinya.
“Aku suka sama kamu loh.”
Tak disangka, kata itu muncul begitu saja dari mulut Ani. Rendi pun terkejut
beberapa saat, namun dia berhasil mengendalikan dirinya.
“Kenapa kamu suka sama aku?
Apa yang kamu suka dari aku?”
“Kamu itu aneh, baik,
misterius, aku suka itu.” Ani memaparkan jawabannya dengan sekasama, Rendi pun
mengamati bibir Ani yang terbuka dan tertutup, mengamati mata yang mendektekan
sebuah kisah. “ya, aku suka aja.”
Tak berhenti di situ, Rendi
mengamati lagi rambutnya yang hitam mengkilat, pipinya yang bulat berisi,
alisnya yang tipis, hidungnya yang menjulur, giginya putih tertata rapi
bersembunyi dibalik senyumnya, telinganya yang masing-masing digantungi anting
emas itu. Bahkan paras wajah, hingga hangat nafasnya. Seakan semua berbicara,
memberi kabar pada Rendi tentang satu hal. Satu hal.
“Kamu kenapa? Ada yang
salah dengan wajahku?” tanya Ani merasa risau dengan sikap Rendi yang tiba-tiba
melihat dengan sedimikian rupa. Rendi pun menggeleng, beringsut seperti maling
yang kepergok sedang beraksi. “Kamu memang aneh, haha” tawa ani pun mengambang
di udara.
Tiba-tiba sosok lelaki yang
terlihat aneh di depan Ani hilang begitu saja. dia kabur berlari
meninggalkannya dalam tanda tanya. Seakan melihat hantu yang sangat menakutkan.
Tidak, bahkan lebih mengerikan dari itu.
Ani pun mengejarnya. Dia
berusaha mengikuti bayangan Rendi yang begitu cepat tertelan. Sia-sia dia
menghilang.
Sungguh gambar yang
menyisakan tanda tanya besar. Tak pernah Rendi seperti ini sebelumnya. Apa dia
terkajut aku mengatakan cinta, Apa dia masih cinta dengan kekasihnya, Apa dia?
‘ Berjuta pertanyaan menggenangi kesadarannya. Namun tak satu pun yang bisa
terjawab. Di sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa hati ani masih terperangkap
dalam sosok Rendi.
Sejak kejadian itu, Ani tak
pernah bersua lagi dengannya. Ada sedikit rasa bersalah yang melingkar di
relungnya, tapi dia benar-benar tidak tahu sebab apa Rendi tak lagi muncul.
Bahkan di kursi biru di bawah pohon beringin tempat biasa Lelaki usia dua
puluhan menikmati hujan.
Mendung pun kembali
meradang. Awan yang sedari tadi biru, seketika lenyap kelunturan awan hitam.
Rasa-rasanya sudah tak kuat menahan beban air yang telah menggumpal itu.
Benar saja, Langit pun
menangis melihat kegundahan hati Ani. Percik air melahap rerumputan yang
kering. Melumat keramaian jalan yang memekakan telinga.
Ani pun terduduk lemas,
merasakan tiap tetes air yang menusuki kulit ari. Angin yang tertiup pun
mengatupkan kedua matanya, membelai tiap helai rambutnya, Bahkan menggores
kulit kepalanya. Semua itu membuat
hatinya yang memar, sejuk seketika.
Aroma tanah yang mengudara
menggelitik otak dan kesadarannya, menyamarkan luka yang menganga. Menyelipkan
selimut yang membelit kehangatan.
Semua sungguh terasa
nyaman.
Hujan yang semakin deras
pun semakin membuat ia terlarut di dalamnya.
Aneh. Tiba-tiba hujan pun
berhenti. Bukan. Petir masih menyambar, suara hujan yang menghentak pun masih
memberi irama pada detak jantung. Angin pun mengabarkan bahwa hujan masih akan
terus menyerang. Lantas, kenapa air tak memberi kejut pada tubuhnya?
Ani pun merasa terusik
ketenangannya, ia pun membuka matanya dan...
“Rendi?” Ani kaget tidak
kepalang, sesosok laki-laki yang sangat ia sukai, yang sudah sekian lama
menghilang tak ada kabarnya, yang juga tidak pernah disangka kedatangannya?
Dengan payung yang ia gunakan
itu untuk memayungi mereka berdua. “Rendi?” paras wajah laki-laki itu menolak
diri dipanggil dengan sebutan itu. “Namaku Reza.” ia pun tersenyum manis.
“Kamu nggak takut sakit?”
Ani pun masih menganga
dengan sosok yang dia pikir adalah Rendi, “Kamu bukan ...” ia pun mengurungkan
kalimat yang hendak keluar begitu saja. Dia malah memilih kembali menutup
matanya dan membiarkan laki-laki yang menyebut dirinya dengan nama 'Reza' itu.
“Aku nggak akan sakit.” Ani
pun tersenyum dalam pejamnya, “Karena aku bersahabat dengan hujan.”
Pekalongan, Januari 2014
keren met
ReplyDelete