Saturday, February 15, 2014

Lelaki Penadah Hujan

(cerpen : romance)
Anak-anak kecil itu berlarian mengejar bola ke sana ke mari. Ada juga yang bermain boneka, atau pun balon udara. Sementara pasangan muda mudi bermesra dengan syahdunya. Tak mau kalah, juga manula yang bernostalgia dengan cucu-cucunya, menari, bernyanyi, dan bercerita. Sepertinya pelangi berserakan membasahi taman itu, hanya saja tidak pada satu titik. Di kursi biru di bawah pohon beringin itu.
Selalu. Tiap petang hendak berkunjung, lelaki itu selalu duduk di kursi taman. Sendiri. Dia hanya terdiam, dan sibuk dengan sejumlah pemikiran yang ada dikepalanya. Seperti orang yang kehilangan akalnya. Melamun. Dengan pandangan yang bertanya. Sesekali dia memperharhatikan orang-orang yang berkunjung di taman itu. Seolah mencari paras wajah yang silih berganti. Mencari di setiap sudut taman. Sepertinya tidak ada wajah yang dia tunggu kedatangannya sedari tadi.
Sesekali ia terpejam. Hidungnya terlihat mengembang tengah menghirup udara senja. ia pun memandang ke langit yang jingga. Mengamati tiap gores warna yang melebur bersama awan biru yang layu. Seakan bertanya kapan dia datang. Tapi, langit pun seakan menjawab, Dia tidak akan pernah datang untuk bersua. Dia pun kembali terdiam. Memandang jauh dalam kekosongan.
Wajahnya tampan, kulitnya pun bersih putih. Begitu mesra walau hanya sekedar dipandang. Banyak perempuan yang suka dulu. Dulu. Tapi... Malang.
Terkadang dia terdiam begitu lama. Sesekali dia membuka mulutnya dan komat-kamit sendiri. Seperti sedang berdialog dengan bayang halusinasi. Bibirnya pelan terbuka dan tertutup, mengulang naskah drama kisah lalu.
Rintik gerimis pun memulai hujan panjang sore itu. Sepasang mata terlihat bahagia menatap langit sendu. Bibirnya membentuk lembah yang indah. Giginya terlihat bersembunyi dibalik bibir merah darah. Nafas yang melalui tenggorokan terdengar dalam.
Matanya pun terpejam pelan. Angin dingin menyelimuti kulit tipisnya. Memberi kabar bahwa alam hendak bercerita kepadanya. Dia pun mulai hiilang. Jiwanya terbang merasuk bersama alam. Sukmanya mulai menyetubuhi gores alam. Jiwanya sudah benar-benar menyatu dengan alam.
Hujan yang turun pun dibiarkan secara sempurna membasahi seluruh tubuhnya. Kaos putihnya yang basah membuat tubuhnya terbingkai dalam genang air hujan. Petir pun memotret wajahnya. Menggelegar memekakan telinga.
Saat semua orang pergi meninggalkan tanah hijau ini, hanya dia yang bertengger di kursi merah itu. Setelah cukup lama, tiba-tiba hujan pun berhenti. Bukan. Petir masih menyambar, suara hujan yang menghentak pun masih memberi irama. Angin pun mengabarkan bahwa hujan masih akan terus berterjunan. Lantas, kenapa air tak memberi kejut pada tubuhnya?
Dia pun membuka matanya pelan. Ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dibalik matanya. Seseosok hawa berdiri di depannya. Matanya yang basah mencoba mengidentifikasi perempuan yang membawa payung berwarna biru. Data-data yang diperoleh membuat pupil matanya bereaksi cepat. Seperti ada kilatan yang menyulut matanya.
Ya, dia cantik. Rambutnya panjang mengombak. Matanya sayu. Kulitnya begitu putih dan bersih.
“Terimakasih,” ucapnya setelah perempuan itu memberikan payung.
“Kenapa kamu nggak berteduh?” Dia bertanya dengan wajah polosnya.
“Mm.. nggak apa-apa.” Pria itu enggan memberi jawaban kenapa dia hujan-hujanan.
Perempuan itu nampak khawatir, “Kamu nggak takut kalau demam.”
Dia tersenyum dan menggeleng pelan. “aku bersahabat dengan hujan.”
Tiba-tiba dia mengulurkan tangannya, “Ani.” Perempuan itu melambungkan namanya ditengah hujan deras. Lelaki itu tidak merespon, dia malah kembali memejamkan matanya. mungkin dia tak mendengarnya. “Boleh aku duduk?” Pinta Ani dengan suara yang lebih keras dari sebelumya.
Tanpa memperoleh ijin, Ani pun duduk disamping lelaki itu. “Kamu kenapa ikut hujan-hujanan di sini. Nanti kamu sakit.” Ujar lelaki itu melihat tingkah Ani membuang payung yang dipakainya tadi, dan duduk dismpingnya sambil menikmati hujan. “Sekarang kamu jadi basah kan?”
“Kenapa kamu mengkhawatirkanku?” tanya perempuan itu dengan tubuh yang basah kuyup. “Aku juga ingin bersahabat dengan hujan. Kamu mau mengenalkanku dengan hujan kan?”
Lelaki itu terdiam, matanya tajam menatap perempuan asing yang baru bertemu dengannya itu. Seperti hendak membaca makna dibalik mimik wajahnya. Ani malah tersenyum dan mengulang lagi mengenalkan diri “Aku Ani, A. N. I.” Iya mengejanya seakan-akan Lelaaki di depannya itu tak bisa mendengar dengan jelas. ”Ani.”
Lelaki itu pun membalas senyum itu dengan lekukan bibirnya yang tipis, “Aku Rendi.”
Pertemuan sore itu membuka pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Esok berganti hari, kemarin tinggal kenangan. Hari terus berputar-putar mencari sebuah akhir dari cerita mereka. Mereka pun mengukir kisah dalam bias waktu yang terus berjalan.
Beberpa kali mereka menghabiskan hari-harinya untuk sekedar ngobrol bareng, jalan-jalan, atau nonton film. Walaupun hubungan mereka belum jelas, tapi mereka terlihat sangat mesra. Walaupun sebenarnya tidak ada yang tahu, apakah kemesraan yang nampak di luar semesra di dalam lubuk hati mereka. Tak ada yang tahu.

Sepertinya kisah bertepuk sebelah tangan itu tidak hanya terjadi pada lirik-lirik lagu yang disenandungkan remaja-remaja jaman sekarang. Begitu pun dengan kisah drama mereka. Terlihat jelas dari gelagatnya, hati Rendi tak pernah menganggap kemurnian kasih Ani. Semua hanya terlihat seperti melukis dengan tinta hitam pada kanvas hitam. Tidak membekas sama sekali di kotak hatinya.
“Kamu tahu, aku sudah mengamatimu sejak lama,” gadis yang periang itu mulai bercerita.
Di kafe dekat taman itu, mereka berdua duduk dalam obrolan sederhana. Pernak-pernik yang penuh warna, dengan berbagai propertis populer khas anak muda. seroang pelayan datang dengan membawa pesanan mereka. “Makasih mas.”
 “Aku heran melihatmu, tiap sore Kamu pasti duduk di kursi itu dan diam begitu saja. Sebenarnya apa yang kamu lakukan?” perempuan itu mulai mengorek infromasi dari Rendi. Tapi Rendi enggan memulai bicara, ia malah mengambil roti bakar dan mulai mengunyahnya. Ani pun turut serta memakan menu yang tergeletak di depan matanya.
“Kamu suka roti bakar?” tanya Ani lagi yang tiada lelahnya mencoba mengambil perhatian dari lelaki yang disukainya itu. Rendi hanya mengangguk dingin.
Perempuan itu pun tak mau kalah dengan sikap acuh lelaki di depannya itu. Ia terus berusaha memancing perhatian dari Rendi, umpan berganti umpan, ia mencoba terus dengan tulus yang ia berikan. Namun, Rendi hanya memberikan sebatas respon yang mengambang. Membuat hati Ani melilit tak karuan. Mungkin memang begitu wataknya, Ani berusaha mendinginkan hatinya.
“Aku suka sama kamu loh.” Tak disangka, kata itu muncul begitu saja dari mulut Ani. Rendi pun terkejut beberapa saat, namun dia berhasil mengendalikan dirinya.
“Kenapa kamu suka sama aku? Apa yang kamu suka dari aku?”
“Kamu itu aneh, baik, misterius, aku suka itu.” Ani memaparkan jawabannya dengan sekasama, Rendi pun mengamati bibir Ani yang terbuka dan tertutup, mengamati mata yang mendektekan sebuah kisah. “ya, aku suka aja.”
Tak berhenti di situ, Rendi mengamati lagi rambutnya yang hitam mengkilat, pipinya yang bulat berisi, alisnya yang tipis, hidungnya yang menjulur, giginya putih tertata rapi bersembunyi dibalik senyumnya, telinganya yang masing-masing digantungi anting emas itu. Bahkan paras wajah, hingga hangat nafasnya. Seakan semua berbicara, memberi kabar pada Rendi tentang satu hal. Satu hal.
“Kamu kenapa? Ada yang salah dengan wajahku?” tanya Ani merasa risau dengan sikap Rendi yang tiba-tiba melihat dengan sedimikian rupa. Rendi pun menggeleng, beringsut seperti maling yang kepergok sedang beraksi. “Kamu memang aneh, haha” tawa ani pun mengambang di udara.
Tiba-tiba sosok lelaki yang terlihat aneh di depan Ani hilang begitu saja. dia kabur berlari meninggalkannya dalam tanda tanya. Seakan melihat hantu yang sangat menakutkan. Tidak, bahkan lebih mengerikan dari itu.
Ani pun mengejarnya. Dia berusaha mengikuti bayangan Rendi yang begitu cepat tertelan. Sia-sia dia menghilang.
Sungguh gambar yang menyisakan tanda tanya besar. Tak pernah Rendi seperti ini sebelumnya. Apa dia terkajut aku mengatakan cinta, Apa dia masih cinta dengan kekasihnya, Apa dia? ‘ Berjuta pertanyaan menggenangi kesadarannya. Namun tak satu pun yang bisa terjawab. Di sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa hati ani masih terperangkap dalam sosok Rendi.
Sejak kejadian itu, Ani tak pernah bersua lagi dengannya. Ada sedikit rasa bersalah yang melingkar di relungnya, tapi dia benar-benar tidak tahu sebab apa Rendi tak lagi muncul. Bahkan di kursi biru di bawah pohon beringin tempat biasa Lelaki usia dua puluhan menikmati hujan.
Mendung pun kembali meradang. Awan yang sedari tadi biru, seketika lenyap kelunturan awan hitam. Rasa-rasanya sudah tak kuat menahan beban air yang telah menggumpal itu.
Benar saja, Langit pun menangis melihat kegundahan hati Ani. Percik air melahap rerumputan yang kering. Melumat keramaian jalan yang memekakan telinga.
Ani pun terduduk lemas, merasakan tiap tetes air yang menusuki kulit ari. Angin yang tertiup pun mengatupkan kedua matanya, membelai tiap helai rambutnya, Bahkan menggores kulit kepalanya.  Semua itu membuat hatinya yang memar, sejuk seketika.
Aroma tanah yang mengudara menggelitik otak dan kesadarannya, menyamarkan luka yang menganga. Menyelipkan selimut yang membelit kehangatan.
Semua sungguh terasa nyaman.
Hujan yang semakin deras pun semakin membuat ia terlarut di dalamnya.
Aneh. Tiba-tiba hujan pun berhenti. Bukan. Petir masih menyambar, suara hujan yang menghentak pun masih memberi irama pada detak jantung. Angin pun mengabarkan bahwa hujan masih akan terus menyerang. Lantas, kenapa air tak memberi kejut pada tubuhnya?
Ani pun merasa terusik ketenangannya, ia pun membuka matanya dan...
“Rendi?” Ani kaget tidak kepalang, sesosok laki-laki yang sangat ia sukai, yang sudah sekian lama menghilang tak ada kabarnya, yang juga tidak pernah disangka kedatangannya?
Dengan payung yang ia gunakan itu untuk memayungi mereka berdua. “Rendi?” paras wajah laki-laki itu menolak diri dipanggil dengan sebutan itu. “Namaku Reza.” ia pun tersenyum manis.
“Kamu nggak takut sakit?”
Ani pun masih menganga dengan sosok yang dia pikir adalah Rendi, “Kamu bukan ...” ia pun mengurungkan kalimat yang hendak keluar begitu saja. Dia malah memilih kembali menutup matanya dan membiarkan laki-laki yang menyebut dirinya dengan nama 'Reza' itu.
“Aku nggak akan sakit.” Ani pun tersenyum dalam pejamnya, “Karena aku bersahabat dengan hujan.”


Pekalongan, Januari 2014

1 comment: