Tuesday, March 11, 2014

Sebut Saja Gadis

@reejaaah
 
Menunggu bukanlah hal yang lebih baik dari melihat acara televisi yang membosankan, atau bahkan tidak lebih baik dari menghitung integral laplace berpangkat dan sederet hitungan yang menjengkelkan. Lebih baik semua terlukis gamblang dalam kanvas, meskipun itu harus menyisa belonteng yang mengganjal dalam pandang. Karena menunggu adalah hal yang selalu menghadirkan duga-sangka yang menguras tenaga, jiwa apa lagi.

Namaku...  nanti, Aku belum ingin siapa pun tahu siapa namaku, aku tak suka popularitas. Cukup kenang aku dengan ‘gadis’. Akan aku beri tahu nanti. Nanti.

Dan aku ingin bercerita sedikit tentang kisahku padamu, hanya pada Engkau. Jangan beritahu pada yang lain. Ini rahasia. Begini ceritanya :

Jelas, waktu libur adalah waktu yang menyenagkan bagiku. Aku bisa menghabiskan panjang waktuku untuk mengelilingi kota persinggahan ini. Apalagi mahasiswa sepertiku perlu rasanya sesekali dalam sepekan memanjakan syaraf-syaraf yang mulai menegang.

Sepakat, pagi dini hari aku dan sepuluh orang yang memiliki hobi jalan-jalan sepertiku menjadikan pantai  sebagai pemuas hasrat . Tujuh perempuan cantik, dan sisanya bodyguard kami. Butuh perjalanan satu jam setengah untuk bisa menginjakkan kaki pada permadani berbatas laut itu.

Seperti biasa, pria hitam itu yang selalu bersamaku. Kleo namanya. Tempat di mana keluh kesahku selalu berpendar. Tempat di mana aku boleh mengadu, bercerita, mengembik, merengek, menangis, mengaduh. Selalu ada hangat saat aku terjebak dingin, selalu ada sinar ketika gelap merundungku. Dia memang orang yang baik. Teramat baik malah.
***
Kau boleh memanggilku Kleo, Bodeng,  Iman, atau terserah Kau hendak memanggilku dengan sebutan apa.  Mahasiswa semester akhir di sebuah universitas yang tidak terkenal di sudut kota Jogja.
Hari-hariku kuiisi dengan melukis, melukis, dan ... Bagiku  melukis adalah jiwaku. Membiarkan jiwaku melebur bersama cat yang menari dalam kanvas. Menumpahkan berjuta warna hidup yang tiada kiranya. Melalui lukisan, aku mewartakan kebahagian, cinta, keindahan. Hanya itu. Aku tak suka menggores mendung atau pun luka. Itu sama halnya menyemai hama pada banyak orang.

Dia? Si ‘gadis itu’? Baik. Dia teman dekatku. Aku tidak tahu banyak tentang dia. Yang aku ingat dia sering merengek tentang teman-temannya yang menjengkelkan ketika harus mengerjakan makalah,  mereka hanya berpangku tangan, katanya.  Atau teman laki-lakinya yang berulang kali menyatakan cinta padanya, namun dia tak ada tertarik secuil pun. Atau mendengar ocehan panjang tentang buku-buku tere liye yang dikoleksinya, dia selalu memaksaku untuk membacanya juga Ya, dia cantik. Lebih-lebih hatinya.

Namun, ada yang aneh dengannya seminggu terakhir ini. Ia jadi suka ngambek sekenanya, suka marah, kadang cemberut sendiri. Sering kali juga tak mau kuajak bicara. Tak tahu aku jalan pikirannya. Marah-marah tak jelas. Aku tak begitu paham ulat apa yang telah menelusup dalam jantungnya. Mungkin PMS, pikirku mencoba meredam praduga jahatku.
***
Marah? Aku tak pernah melejitkan amarahku di depannya. Hanya aku sedang merasa tidak ada yang perlu dibicaraan apa pun itu dengannya. Aku hanya sedang merasa dia teramat menyebalkan. Tapi biarlah. Tak perlu dia tahu aku sedang kesal sama dia.

Tapi, kenapa juga aku harus gusar dengan dia. Toh dia juga tidak melakukan sesuatu yang merugikanku. Melukai pun tiada. Dia seperti biasanya. Tapi entah, rasanya dia begitu terasa menyebalkan akhir-akhir ini. Tapi.. tapi.. tapi akan lebih terasa ganjal jika tak ada bayangannya.
Ah.. Tuhan.. Aku tak tahu jalan pikiranku sendiri. Pergulatan hati macam ini membuat irama jantungku tak menentu. Cukupkanlah Tuhan.

Apa lagi dia ada di sampingku sekarang. Duduk di atas pasir putih di bawah mentari yang mulai merangkak naik. Di sangsikan laut biru.  di gerus suara gelombang ombak yang berlarian menghampiri. Ombaknya yang pecah membasahi kaki, merayu untuk lekas didatangi. Kecipak air terdengar merayu.

Sementara kami duduk, sementara yang lain sudah asyik bermanjakan tawa dan riang lima belas meter tepat di depan kami. Teriakan, cekikikan, tawa, berpendar dalam ombak yang bergulung.

Mungkin aku mencintainya? Aku rasa tidak, sudah lama sekali aku tak merasakan hal itu. Tapi mungkin juga iya. Aku sudah lupa dengan gemuruh tanah yang longsor, api yang membakar hutan, atau pun serdadu yang saling beradu dalam peperangan. Dan sekarang tepat terjadi pada dadaku.

Ah, Kleo. Kenapa keberadaanmu di sampingku seraasa duduk pada permadani dari sutra, berhias pernik kristal dan batu safir pada singgahsana. Terlihat pelangi berayun pada taman yang penuh tawa riang malaikat kecil. Surga yang hanya aku dan engkaulah penghuninya.

Oh Tuhan, batapa bodohnya. Aku baru menyadarinya. Aku baru terbangun dari kemarau yang amat sangat lama. Ah, Lagi-lagi aku terjerat dalam dunia yang memabukkan. Apalah itu, tapi orang biasa menyebutnya dengan cinta. Cinta?
***

Bahkan sekarang pun, dia mulai menjengkelkan. Merengek meminta ini itu, seperti bocah yang meminta balon pada biyungnya. Setelah dituruti, lanjut meminta boneka, mainan, jajan, dan tiada habisanya kalau dituruti. Dan kalau tidak dituruti, amarahnya menyulut, ngambek, bersungut. Sungguh menyebalkan.

Ada apa dengan gadis ini. Makin hari kedewasaannya melemah, semakin kekanakan. Bahkan sekarang, di pantai ini, dia tidak mau mengobrol denganku. Hanya karena aku tak mau bermain air, menggendongya dan menyeburkannya ke pantai. Bagiamana bisa? Aku sedang tak enak badan. Bahkkan aku sudah menolaknya dengan pelan, bahkan aku menawarkannya untuk naik delman saja.
Sungguh benar-benar aku tak mengerti jalan pikirannya. Sepanjang perjalanan pulang pun tidak berubah, wajahnya dilipat sekucel-kucelnya. Kusut tak berbentuk. Tak ada obrolan pendek pun dalam perjalanan itu. Rona merah masih mendempul di wajahnya. Saat kulirik wajahnya, semakin gigih olehnya melipat-kusut wajahnya. Tapi tetap saja terlihat manis, lebih manis malahan.

Ah, sungguh gadis ini. Aku jadi merasa tidak enak, membuat hari-harinya dirundung durja. Tak ada upayaku diindahkannya. Usahaku untuk menghiburnya pun berbuah sia-sia.
Sesekali terlihat senyum kecilnya, jelas senyum yang penuh reakasaya. Dan itu membuatku semakin tak kuat daya. Ada apa dengan dia?
***

Aku hanya butuh perhatian dari dia. Rasanya ganjal hari tanpa perhatian dari nya. Tapi percuma, mata hatinya masih lelap tertidur. Tak bisa merabai dadaku. Sungguh laki-laki itu tak peka sedikit pun. Aku kesel.

Mungkin lebih baik tak perlu membuat perbincangan dulu dengannya, itu akan terasa menyakitkan jika dia tetap saja tidak pernah peka. Tapi kenyataannya, dia memang tidak pernah peka dengan hatiku.

Sungguh Kleo, jangan buat aku menunggu terlalu lama.
***

Seminggu aku tak bertemu dia. Sesekalinya bertemu, dia malah berusaha menghindar. Atau jika terpaksa bertemu, tidak banyak bicara. Hanya menjawab jika aku bertanya, sisanya hanya tanda tanya. Seminggu sejak liburan ke pantai itu sikapnya semakin aneh saja. Aku tak habis-habisnya perpikir, hanya karena aku menolaknya bermain itu kah dia sampai jadi seperti ini.

Jangankan membalas sms, mengangkat telepon dari ku pun ogah-ogahan.

Ayolah, Gadis ini pandai benar buatku berputar-putar kepalang. Khawatir tak karuan. Tak pernah sebelumnya makan siangku jadi kacau rasanya. Tidur ku pun tak selelap malam-malam sebelumnya. Aneh sekali, aku mengkhawatirkannya, lebih. Lebih dari biasa-biasanya.
...
...
Aku tahu..!! Aku tahu apa yang harus aku lakukan

***
Tetap saja, sama halnya sia-sia. Dia tidak mengindahkan sedikit pun keadaanku. Mengkhawatirkanku pun tidak. Aku jadi semakin kesal, tapi disisi lain, aku malah semakin merindu peluk manjanya. Aku makin mencintainya.

Aromanya seakan hadir saat kuhirup udara senja. perawakannya seperti muncul ketika kututup mata, hendak memberi peluk terhangatnya. Suaranya berngiang ketika sepi datang. Ah, Kleo. Kau benar-benar tega. Tega membuat ku mengkekang rasa ini, rasa-rasanya aku tak kuat lagi membendung. Ingin segera kuledakkan.

Hampir tiap malamku, dia menyempatkan hadir hanya untuk menyanyi untukku, memberi bunga untukku, membacakan sajak cinta untukku, mendongengkan cerita untukku. Ya, sayang. Dia hanya hadir dalam “malam” ku.

Mungkin iya, aku berlebihan. Mendiamkannya tidak menyelesaikan masalah, tidak membuat dia peduli padaku. Namun sebaliknya. Dia semakin menjauh saja denganku.

Seminggu terakhir, aku tak melihatnya di kampus. Mungkin karena tingkahku. Saat berjumpa, selalu ada walau hanya sekedar menyapa atau melempar senyum. Senyum yang selalu kubalas dengan kecut. Betapa bodohnya diriku.

Ada apa gerangan dengan pangeran impianku, yang biasanya membawa pelangi di setiap kejap mataku, yang selalu mengiring tawa dalam jenuhku,yang selalu melukiskan keindahan dalam kanvas hatiku.

Ah, sungguh menyakitkan saat gambar-gambar indah masa lalu itu merengkuh dalam rindu. Segera. Aku harus datang ke tempatnya. Aku harus meluapkannya. Harus. Sekarang. Sekarang.
***

Selesai sudah, hanya ini yang bisa kulakukan. Lelah rasanya setelah beberapa hari menguras pikiran, tenaga, emosi, cinta, dan meluapkannya dalam ‘kado’ kecil ini. Tapi tidak, aku sangat puas, semua terbayar dengan kebahagiaan yang entah terasa begitu meledak-ledak. Apalagi membayangkan memberikannya pada gadis itu.

Kenapa juga aku mesti berfikir seperti itu? Ya. Tidak salah lagi. Biarlah biarlah waktu berpilin dalam dunia fatamorgana. Aku tak mau menenggelamkan hatiku yang tengah berpijar ini.
***

Tepat di depan pintu kosnya kakiku terhenti. Berpikir satu-dua detik berusaha memantapkan kembali. Lebih mantap dari tadi. Lebih mantap dari satu detik yang lalu. Bayang laki-laki itu makin muncul begitu saja, sekali-dua membukakan pintu dari dalam. Beberapa kejap bayangan kemungkinan terburuk pun terbias. Tidak. Semua akan baik-baik saja.

Tangan yang mengepal pun urung mengetuk pada dinding pintu saat terlihat Kleo tertidur dengan pulasnya dari pintu yang sedikit terbuka. Aku pun masuk tanpa permisi, seakan rumah milik sendiri.

Lagi-lagi langkahku terpatri. Ada yang aneh dengan ruangan ini. Tiba-tiba tubuhku seperti terbang mengapung, aroma surga menyengat melumpuhkan kesadaranku. Mata ini terpana, tertuju pada sebuah kanvas yang tak kosong lagi.

Seraoang malaikat? Aku rasa bukan. Tapi lihatlah.. Dia cantik sekali, Sungguh menawan hati. Tiap gores warna yang terkuas seakan bercerita tantang surga, tentang cinta.
Sungguh, rasanya merugi ketika harus menutup mata barang sedetik pun. Wajah itu, cantik sekali. Demi tuhan.
Siapa gerangan wajah dalam foto itu?
***

Sungguh keajaiban memang datang untuk mereka yang tengah dirundung cinta. Saat mataku pelan menghilangkan kekaburannya dari tidurku. Terlihat gadis menawan itu berdiri tepat di depanku. Aku berfikir itu hanya sketsa yang aku lukis tadi, aku kira dia hanya kesemuan. Tapi aku salah, dia nyata. Dengan segala kemewahan cinta, dengan segala keanggunan, dengan segalanya. Dia hadir memberikan hadiah terindah.

Aku masih ragu, sedikit ragu. Tapi dia memang nyata.

“Aini..” mulut kecilku berucap kelu.
***

Aku pun menoleh,

Hanya menoleh, dan.... Kosong.

Aku tak ingat lagi aku harus apa, aku harus bagaimana. Aku pun lupa dengan tujuan utamaku.

Hening. Kami berdua mematung.

Hening lagi. Lama. Hening. Lama lagi.

Diam, tanpa suara. Tapi, kami berbicara, melalui mata, melalui rasa.
***

Benarlah, jangan sampai kau ceritakan kisahku ini pada siapa pun. Aku tidak ingin mereka mengerti kisahku. Biarlah mereka mengenal cinta melalui jalan mereka sendiri, melalui kisah mereka sendiri. Karena itu akan lebih indah, jauh lebih indah dari pada yang banyak orang bicarakan.
Satu hal. Kau tak harus melakukan kesalahan yang sama denganku. Janganlah membuat dia terlalu lama menunggu. Itu menyebalkan.

Terimakasih dariku, Kau sudah menyempatkan waktumu untuk mendengar ceritaku. Kau boleh memanggilku Kleo, Bodeng,  Iman, atau terserah Kau hendak memanggilku dengan sebutan apa.

#tamat
Yogyakarta, Maret 2014

Wednesday, March 5, 2014

Padam (a poem)

Malam...

Ketika malam melarutkan riang,
Ketika pekat menenggelamkan dendang,

Malam..
udaranya berbisik kelam,
Memberi kabar akan datangnya sebuah kematian

Kaki kecilku membawaku pada kesunyian
jejaknya kacau, terlukis pada kanvas kehidupan

Mulai tak karuan, semakin tak karuan. Tak karuan.
Tak ada lagi cinta atau sebuah percik kasih sayang

Malam..
benar membuatnya redup.
Sungguh semakin redup

Semakin parah, semakin guncah
Tak ada darah, tak lagi nanah
tapi terus semakin resah.

Malam..
Mengguncangkan konrtruksi jiwa,
langkahku, semakin lemah, semakin keju.

koyak, retak, bimbang, dan ....

Seperti terjebak di kandang macan
hanya mengeja detik bergulir
menunggu lilin ini benar-benar padam


Maret 2014
Jembatan Budaya
FIB-UGM

Sunday, March 2, 2014

Terlalu Indah

(cerpen, romance, life)

Entah kenapa air mata itu tak mau membuncah, rasanya seperti bisul yang besar, merah merekah, tapi tak kunjung pecah. Tertahan menyakitkan. Atau mungkin matanya sudah jengah harus berjibaku dengan air mata. Atau mungkin otaknya sudah cukup lelah, terlampau lelah dengan gores hidup yang suka memberi kejutan menyakitkan, Lantas enggan mewartakan sinyal pada kelenjar air matanya. Atau mungkin kelenjar air matanya sedang dilanda musim kemarau berkepanjangan. Hm,, entahlah.

Lihat bola mata yang mengisi rongga kepala laki-laki itu. Persis seperti yang digambarkan. Bulat hitam seperti kelereng. Memandangi kehampaan langit yang tiada batas itu. Menatap kekosongan. Entah apa yang sedang berkecamuk di balik kepalanya.
Bersandar pada dinding, tubuhnya tergolek lemas. Atap gedung yang cukup tinggi itu mampu memangkas kepadatan kota dari sudut mata. Hanya langit biru yang mulai gelap membentuk sketsa apik sore itu. di tambah gurat oranye yang membuat mata enggan untuk mengatup. Tenang. Melarutkan pekat yang megumpul pada pedalaman jiwa. Meskipun hanya sesaat. Tapi itu cukup mengobati batin yang penuh koreng.  Sungguh tak ada pohon, bangunan, baliho, atau reklame. Yang ada hanya ke-tak hingga-an pandang. Luas. Bersih. Menyejukkan.
Andai saja bisa menumpahkan kecamuk dalam dada. Mungkin aku akan seketika terbang. Laki-laki itu masih terlihat lemas. Kepalanya mendongak ke atas, mengharap pelangi datang mengguyur tubuh rapuhnya. Dia tersenyum. Entah senyum tulus, atau senyum yang segaja dibuat sedemikian rupa sehingga terlihat benar-benar tulus. Sesekali menelan ludah. Hatinya terus mendekte, Masih mungkinkah semua ini bisa dibenahi. Ah, itu terlalu muluk-muluk. Berlebihan. Aku tak mau terjebak dengan janji dan harapan semu yang aku buat sendiri. Tanpa ada jaminan. Aku harus memendam percik harapan dan janji itu. Tak perlu.
Nafasnya dalam terdengar tertekan. Nafas yang tertahan. Harusnya lebih  dari ini, Harusnya  lebih kejam dari pada ini. Tuhan masih teramat baik padaku. Masih teramat sangat. Desir angin sore membelai rambut hitamnya. Menyalami tiap pori pada kulit tipisnya. Dingin. Mendung semakin menjadi, Langit yang manja seperti berubah murka. Kilatan cahaya terlukis indah di kanvas tak berujung itu. Seperti akar serabut. Menakjubkan.
Mungkin juga Tuhan tak mau mendengar aduanku, rengekku. Mungkin Tuhan tengah tertidur? Apa Dia kelelahan mendengar sumpah-serapah, aduan, hujatan, dan demo dari orang-orang SEPERTIKU? Makin kacau pikiranku. Mungkin Dia tengah mengutuk dosa yang telah ku perbuat. Tapi bukankah Tuhan yang menentukan peran sertaku di dunia ini? Entahlah. Aku tak paham.
Menyesal? Pasti. Tak luput remuk jiwaku ketika terukir manis masa-masa itu. Hati ini meringis kecut. Tapi, Tapi biarlah cermin itu berpendar. Biarlah. Biarlah terus pergi menjauh tertiup angin.
Tiba-tiba dia tersenyum, nyengir. Giginya yang tidak rata nampak bersembunyi dari dua bibir itu. Kenapa aku bisa melakukan hal sebodoh itu. Bahkan sampai sekarang pun aku tak habis-habisnya berfikir. Atas dasar apa? Karena apa? Apa aku keranjinngan? Apa salah DIA? Pecuma. Sampai sekarang pun aku tak bisa menjawab itu.
Pandangannya melemah, padam. Disaut suara petir yang menggelegar. Namun itu semua tak terdengar oleh sensor telinganya. Ia terlalu sibuk dengan DIA. DIA? Siapa DIA?
***
Panggil saja Aufi, Dia lebih nyaman dipanggil Aufi ketimbang dengan sebutan-sebutan lain, Zafa atau Aliza. Perempuan 23 tahun. Periang. Pekerja keras. Mahasiswa semester akhir di universitas kenamaan di Ibu kota. Satu jurusan denganku, Sastra Indonesia. Kulitnya hitam mengkilat, selalu mencolok pada setiap tempat. Tak masalah, hatinya teramat kontras dengan kulitnya yang pekat. Tak pernah menolak ketika kupintai tolong. Tak pernah punya alasan ketika kuajak keluar. Tak pernah mengeluh ketika ku meminta bantuan tugas-tugas kuliahku. Malah dengan berbesar hati.
Hanya semudah itu, ikatan itu terjalin, terpilin, menjadi benang pelangi. Pelangi yang aku sendiri pun tak pernah melihat sebelumnya. Tak pernah kuduga pula jalinan itu terkembang dengan eloknya. Sampai, sampai hari di mana pelangi itu berubah menjadi sumbu yang tersulut api. Meledakkan kedua belah sisi. Hangus-Gosong.
“Asu..!!” Teriakan laki-laki gemuk memecah tenang. Aufi yang tengah tertidur, terbangun seketika. Matanya yang masih merah di kucek oleh tangannya. Rambutnya berantakan acak-kadut.
“Ngapain Kamu Met? Berisik tau..” Aufi terbangun menatap tingkah laki-laki gendut itu yang tidak sewajarnya. “Nggak tahu apa gua lagi mimpi indah.” Matanya melirik mengadu pada pada laki-laki gemuk itu.
Lalu menyelidik, tiba-tiba tubuhnya terkesiap. Matanya melotot penuh tanya-curiga. Berganti rasa takut. Suasana menjadi tegang. Mengerikan.
Laki-laki gendut itu sadar. Seratus persen dalam kesadarannya. Tapi entah. Sebuah belati tergenggam erat pada tangannya. Ditudingkan menghunus pada muka Aufi. Aufi pun meloncat menghindar dari belati yang bergerak sembarang, seperti anak jaelangkung yang bergerak sesukanya. Melesat menakutkan.
“Apa-apaan Kamu Met?” Aufi teriak ketakutan, “Kamu mabuk? Kamu kerasukan setan?”
Laki-laki itu bergeming. Seperti tak memperdulikan Aufi yang ketakutan. Bahkan semakin keranjingan. Menyeramkan. Aufi tersudut di pojok kamar sementara laki-laki gendut itu berdiri satu meter di depannya. Seperti harimau yang terkesiap menerkam mangsanya. Matanya tajam, tersenyum sinis.
“Met..!! Gila kamu..!! Sadar..!! Istighfar..!! ” Aufi pun semakin panik berteriak tak karuan. Sial. Tak ada yang mendengar pertandingan menyeramkan itu. Jam kuliah seperti ini, kos-kosan seakan tak bertuan.
Laki-laki itu pun meloncat. Roar..!! Aufi tersungkur, terjerembab telentang. Tubuhnya tak bisa bergerak. Tubuh gendut laki-laki itu mengunci ruang geraknya. Wajah Aufi seketika pucat pasi. Merelakan tubuhnya untuk kemungkinan-kemungkian terburuk. Pasrah menatap wajah laki-laki itu dengan sejuta tanda tanya. Kau kenapa kawan? Apa salahku? Kau kenapa?
Dia, Laki-laki gendut itu, menghunuskan belatinya pada bahu kiri Ali.
“Aaarghh..” Aufi teriak sebisanya melepaskan rasa takutnya.
Meleset..!! tangan Aufi menangkis sigap sehingga belatinya menyobek kulit tipis pada lengan kanannya. Darah pun mengalir. Memancar. Seketika itu pula laki-laki gendut itu terdiam. Seperti kaget bukan kepalang melihat darah yang memancar itu. Bola matanya berputar-putar dan .... “Brukk..!!” Tubuh bongsornya tergeletak pada tubuh Aufi. Suasana seketika redup. Seakan waktu terhenti. Lenggang. Disusul kicau burung pipit yang seakan-akan turut prihatin.
 Aufi masih terlalu bingung dengan fenomena yang datang penuh kejut itu. Ia menyingkirkan tubuh berat yang tanpa daya itu. Menatapnya lamat-lamat. Wajahnya redup, namun berubah mengerikan. Masih dengan sejuta tanda tanya. Ada apa dengan kawanku ini?
***
Seminggu sudah terlewat. Laki-laki gendut itu tengah duduk di sebuah ruang 4 x 5 meter, ditemani seorang pria bertubuh besar dengan kumisnya yang berantakan. Benar sekali. Kantor polisi.
Ternyata saat kejadian mengerikan itu berlangsung, Ibu kos melihatnya. Dengan paniknya, segera dia panggil kantor polisi terdekat. Dan hari-hari tegang pun dimulai. Aufi, Ibu kos, dan Laki-laki gendut itu dimintai keterangan. Sedetail-detailnya.
“Aku... A..” Laki-laki gendut itu tersendat-sendat mengakui kenyataan yang benar ia sendiri lakukan. Lidahnya kelu, ”Demi Tuhan Pak. Aku tak mungkin membunuh Aufi, sahabatku. Bahkan berfikir untuk menyakitinya pun aku tak pernah.” Laki-laki gendut itu menjawab satu demi satu pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan. Menjelaskan apa yang dia tahu. Menceritakan apa yang dikehendaki pria berkumis berantakan itu. “Tapi demi Tuhan, aku tak akan mau. Demi Tuuhan Pak.. Aku nggak ada niatan pun buat membunuh.”
Tapi percuma. Laki-laki gendut itu hanya menjawab “tidak tahu”, menggeleng, bingung, bahkan bertanya-tanya tentang kejadian yang jelas benar adanya.
Tiga hari berikutnya, Laki-laki gendut itu dilarikan ke psikiater.
“Sungguh Bu, jika benar adanya. Aku tidak akan pernah mau melakukan hal itu. Aku tak ingin ditakdirkan menjadi pembunuh jadi-jadian. Bahkan aku mengutuk diriku sendiri yang telah melakukan hal bodoh macam itu. Aku tidak mungkin melakukan itu. Demi tuhan.” Gerutu laki-laki itu meminta perlindungan.
Lima hari laki-laki gendut itu menjalani pemeriksaan, melakukan obrolan-obrolan sederhana dengan psikiater, dipeiksa lagi, diwawancara lagi. Dan begitu seterusnya.
Sampai datang hari di mana Laki-laki gendut itu dibebaskan dari segala tuduhan yang menjeratnya. Ia hanya wajib datang setiap satu bulan sekali selama satu tahun ini pada kantor polisi. Ia bersyukur, namun berujung air mata. Kabar yang menyakitkan itu datang seperti petir di siang bolong. Selembar surat yang digenggamnya lusuh. Membawanya dalam ombang-ambing jiwa. Surat? Surat apa?
Lantas bagaimana dengan Aufi? Berubah, semua berubah. Seminggu pertama setalah kejadian itu, Aufi benar-benar tak mau bicara. Mengunci rapat-rapat mulutnya. Sering kali ia melamun. Tidur pun tak menentu. Bahkan ia tak mau makan selama tiga hari. Ia selalu ketakutan ketika nama laki-laki gendut itu disebut, ketika foto laki-laki gendut itu dilihatnya. Semua itu dibakar oleh ketakutannya yang teramat sangat akan kejadian itu. Trauma.
Dua bulan. Dua bulan waktu berjalan teramat lambat bagi dua insan itu. Setelah sekian lama tak berjumpa, Laki-laki gendut itu memutuskan untuk berkunjung, sekedar menengok karibnya itu. Ingin meminta maaf, ingin bercerita..
Di depan pintu kos itu. Langkah kakinya terhenti. Mereka pun bersitatap. Seper sepuluh detik, seperempat detik, setengah detik, satu detik, dua detik. “Duar..!!” Pintu kamar itu dibantingnya keras-keras. Laki-laki itu tegap berdiri manatap. Seperti dilindas truk jantungnya. Ia lebih ngeri melihat mata Aufi yang masih amat ketakutan. Tapi juga menyimpan belas kasih pada laki-laki itu. Kasihan.
Menyedihkan memang, tapi biarlah. Biarlah.
Lalu siapa aku?
Ya, kau benar sekali. Aku adalah lelaki gendut itu. Tak usah lah kalian mengenalku, apalagi berteman denganku. Aku tak ingin kalian juga terluka seperti sahabatku, Aufi. Bukan, bukan hanya sekedar sahabat. Aku telah jatuh cinta pada perempuan jelita itu, sejak dulu.
***
Masih di atap gedung itu. Sempurna sudah gelap malam membungkus langit sore. Kumandang adzan bersahutan mengundang insan yang terundang. Sepucuk surat tergenggam, tersimpan getir yang amat. Lelaki itu merigis memandangnya. Tawa setanpun meluncur dari kerongkongannya, “Hahahaha..!!”
Mengertilah kiranya jika kau mendapati sebuah penyakit menakutkan yang telah berinang di tubuhmu. Sayangnya ini bukan penyakit fisik yang bisa diremuk begitu saja. Psikiater itu, JIWAKU. Ada yang salah dengan jiwaku. Mungkin akalku sudah tak sanggup lagi perpijar. Mungkin sampai esok, lusa, atau pun nanti. Hingga redup, dan mati.
Aku tak begitu tahu dengan suratan takdir. Tapi aku tahu, Tuhan selalu punya rencana yang lebih indah untuk ku. Sebenar-benarnya. Seadil-adilnya.
Dan hujan pun lengkap membungkus kelam malam itu. Karena hujan, memang akan selalu datang. Ya, hidup itu terlalu indah bukan?


Sudut kota Yogyakarta

Februari 2014