Saturday, December 5, 2015

Lumpuhnya Sang Penakluk Lelaki


 Pernahkah kita bertanya-tanya tentang siapa yang paling bertanggungjawab atas sebuah kekacauan yang ada di sekitar kita. Coba lihatlah dengan jiwa yang tenang dan jernih. Bisa jadi orang yang peling bertanggung jawab adalah diri kita sendiri. Tapi hati-hati, jangan sampai kita merasa terbebani dengan tanggungjawab yang kita pikir adalah milik kita. Seperti yang telah difikirkan oleh Rasus. Setelah perjalanan panjang hidupnya yang diwarnai dengan segala macam pergelutan hati dan pengkhidmatan hidup. Ia akhirnya menyadari bahwa dialah yang paling bertanggungjawab atas kemelaratan, kecabulan, dan kebodohan Dukuh Paruk. Dukuh yang dianggappnya sebagai ibu kandungnya sendiri yang telah belasan tahun membesarkannya.
Inilah Novel Dukuh Paruk. Sebuah cerita yang diangkat dari sebuah dukuh terpencil yang mandiri dengan segala kebodohannya. Ahmad Tohari berhasil menciptakan sebuah dukuh yang benar-benar miskin, dan bangga dengan kemiskinannya. Cabul, dan itulah yang membuat mereka bangga. Bodoh, sudah menjadi bagian dari jatidirinya.
Boleh jadi novel ini sudah beredar di jajaran karya sastra lain sejak era ’80-an. Namun keelokan bahasanya, keserasian kata dalam mengilustariksan tiap-tiap adegan benar-benar hidup. Pembaca akan merasa berada dan terlibat langsung dalam buku yang sudah dicetak ke delapan kali ini. Setiap kalimatnya benar-benar serat akan makna. Bukan hanya sekadar pemanis atau pengimbuh kalimat.
Dengan latar konflik yang melibatkan kejadian G 30 S PKI ini. Ahmad Tohari menyentil sebuah kekacauan akibat kejadian itu. Secara ilustrasi beliau mengkritik pemerintah yang bersikap tidak manusiawi terhadap masyarakat Indonesia yang terlibat dalam pemberontakan atau pun yang diduga terlibat, seperti warga dukuh paruk yang ikut keciduk meskipun mereka tidak tahu apa-apa tentang pemberontakan.
Dalam bagian akhir dijelaskan bahwa Srintil, pemeran utama dari novel tersebut benar-benar tercabik-cabik jiwanya dalam dalam tahanan. Bahkan Rasus, warga dukuh paruk yang diangkat sebagai tentara juga mengalami konflik batin saat harus mengbredel nyawa manusia dengan senjata api.

Di bagian akhir disampaikan pesan samawi yang begitu jelas. Rasus, merasa dirinya bertanggung jawab untuk mencerdaskan masyarakat Dukuh Paruk. Ia ingin menggantikan pemujian terhadap sesuatu yang berkaitan dengan berahi, cabul, beralih kepada pengangungan Yang Patut Diagungkan. Ia merasa bahwa kecabulan, kebodohan, segala penyakit yang timbul adalah kesalahannya, karena dia membiarkannya begitu. Dalam kontemplasinya, Rasus merasa sudah menjadi kewajiabnyya untuk mencerdaskan ibu kandungnya. Mengajak Dukuh paruk pada kehakikatan hidup.

Thursday, October 1, 2015

Setengah Tiang



“Tarik saja terus.”
“Nanti talinya putus, Pak.”
“Sudah, paksa saja.”
“Sudah saya coba.” Kata Ojan yang tengah berusaha mengerek bendera dengan sekuat tenaga. “Sepertinya ada yang menyendat,” Tambahnya sambil mendongak ke atas memandangi sang merah putih yang masih nangkring setengah tiang.
***
Sejak jauh-jauh hari orang-orang di kampung bergotong royong. Mereka berbondong-bondong mengecat jalan, mengecat pos Kamling, dan membuat gapura-gapura bertulisan ‘DIRGAHAYU 17-08-45’. Ibu-ibu dan kaum wanita membuat nasi kuning yang dibuat kerucut dengan aneka lauk, seperti tempe kering, perkedel, telur dadar, timun, daun kemangi, ayam dan cabai merah yang dihias apik menggoda lidah. Sedangkan anak-anak ramai mengikuti lomba makan kerupuk, balap karung, manjat jambe, sendok kelereng, dan lainnya. Mereka bilang itulah cara mereka mengingatkan akan kemenangan. Kemenangan akan para leluhur atas para penjajah yang telah meretas habis negeri ini. Mereka bilang demikian.
“Indonesia sudah genap Tujuh puluh tahun merdeka bukan?”
“Untuk ukuran sebuah negara, itu masih terbilang muda. Masih bayi.”
“Bayi katamu? Itu hanya alibi atas persoalan bangsa yang begitu ruwet.”
“Memang Indonesia sudah merdeka?” katanya sambil memberi kode tanda petik pada kata merdeka.
“Pertanyaanmu memang selalu susah dijawab.”
“Tapi, bukankah memang masih terlalu muda untuk sepadan dengan negara-negara di Eropa.”
Ndak usah muluk-muluk disepadankan dengan Eropa. Lihatlah yang paling dekat dengan kita. Sebut saja Malaysia. Tidak bisa dipungkiri. Meskipun aku sendiri sulit menerima, namun kenyataannya Malaysia sudah jauh lebih maju dari kita. Padahal Malaysia lebih muda daripada kita.”
“Iya juga. Tapi …” Pemuda itu tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
“Kita doakan saja negara kita ini.”
“Doa saja tidak cukup.”
“Daripada yang tidak pernah sekalipun mendoakannya. Malah mencemooh.” Ujarnya sambil mengusap peluh, “Aku terkadang bingung dengan orang-orang semacam ini. Mereka tidur di tanah ini, makan hasil tanah ini, berbahasa juga Bahasa Indonesia. Namun selalu mencibir negeri ini. Mengolok-olok tiada henti.”
“Itu urusan masing-masing, Jan.”
“Ini masalah fundamen, Kar. Selamanya Indonesia tidak akan ke mana-mana kalau mental orang-orangnya seperti ini.” Ujar Ojan kesal dengan objek yang diperbincangkan.
Ojan dan Afkar kembali melanjutkan gladi bersih untuk persiapan upacara besok. Bendera berhasil diturunkan. Mereka segera melipatnya.
***
Seragam tampak gagah membalut tubuh para petugas. Semua sudah siap di lapangan. pemimpin pasukan, pemimpin upacara, paduan suara, dan posisi lainnya, termasuk juga Ojan dan Afkar yang bertugas mengibarkan bendera. Mereka semua sudah cukup latihan untuk upacara kali ini.
Beratus pasang kaki sudah tertata rapih memenuhi lapangan. Laki-perempuan berbaris sesuai dengan dengan ketinggian. Masyarakat sipil, guru, pelajar, pegawai negeri, semua berbaris untuk memperingati hari yang sakral ini. Termasuk juga Walikota, yang akan menyampaikan amanatnya nanti. Bebenrapa media masa lokal berdatangan untuk mencari bahan pengisi berita.
Setelah pemimpin pasukan menyiapkan pasukan, pemimpin upacara memasuki lapangan upacara. Satu demi satu rangkaian acara berjalan dengan lancar. Bahkan cukup khidmat. Tak ada terdengar satu percakapan pun keluar dari peserta upacara pagi ini. Bahkan dari kalangan pelajar pun.
Ojan, Afkar, dan juga Arsin pun sudah siap untuk gilirannya. Afkar melirik kedua temannya sebagai kode untuk segera siap.
“Gerak!”
Mereka pun berjalan tegak dan rapih. Kakinya perlahan mengombak dan menghentak seirama. Terlihat indah dan harmonis. Mereka berjalan pelan menuju tengah lapangan. Menuju tiang yang berdiri tegak menantang langit. Setelah haluan mereka berhenti dua meter tepat di depan tiang.
“Santai Kar. Sesuai dengan latihan.” Ojan berbisik.
Arsin, sebagai pemegang bendera berdiri tegak memegangi Sang Merah putih. Sementara Afkar dan Ojan mulai mengikat tali bendera pada tambang pengeret bendera.
Dirigen juga sudah menyiapkan posisinya. Wajahnya percaya diri menatap para peserta untuk memimpin lagu Indonesia raya. Jemarinya lentik mengambil aba-aba.
“Hiduplah Indonesia Raya.” Ujarnya mengawali lagu Indonesia raya. Tangannya perlahan mulai meliak liuk naik turun dengan ketukan empat per empat.
Indonesia tanah airku … Tanah tumpah darahku…” Semua peserta menyanyikan lagu Indonesia raya dengan khidmat.
Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku.” Ojan dan Afkar perlahan terus mengerek bendera ke atas. Pelan. Pelan. Sesuai rencana, kata Ojan pada Afkar melalui tatatapannya.
Suasana heroik yang begitu kental mengudara di tengah-tengah panasnya lapangan. Semua mata tertambat pada bendera yang perlahan merangkak menuju singgahsana tertinggi. Angin membuat bendera menari dengan gagahnya.
Namun seketika angin tiba-tiba terasa dingin. Dingin menggigilkan. Terlebih bagi Afkar dan Ojan. Afkar menelan ludah. Dengan cepat keringat membintik di kulit dua petugas bendera ini. Tangan mereka terasa berat tiba-tiba. Tambang yang mereka tarik tersendat tepat saat bendera berkibar setengah tiang.
Mereka berdua saling bersitatap, ditambah Arsin yang juga ikut kebingungan. Sementara lagu masih dikumandangkan.
“Marilah kita berseru Indonesia bersatu.” Suara pun perlahan menjadi sumbang. Ada yang terdiam karena ikut khawatir karena bendera tiba-tiba berhenti di tengah. Ada yang meolotot, ada yang cemberut, ada yang terus menyanyi dengan lantang. Namun lebih banyak yang ikut khawatir melihat bendera yang tersendat setengah tiang.
Sementara Afkar dan Ojan masih bersitatap tegang. Saling mengkode apa yang harus dilakukan. Namun dua-duanya sama-sama tidak tahu harus bagaimana. Mereka berusaha menarik tali pengeret lebih keras lagi.
Pak Endru, pelatih khusus tim pengibar bendera itu, berlari ke arah tiga pengibar bendera. Mereka sempat bersitegang waktu itu. Pak Endru memaksa Ojan untuk menarik pengeret dengan sekuat tenaga. Namun tidak ada hasil.
“Indonesia raya merdeka merdeka tanahku negeriku yang kucinta.”
Seseorang lagi ikut datang ke tengah lapangan. Seorang anggota TNI AD dengan badan atletisnya berusaha membantu menarik tali yang dipegang Ojan. Dengan tenaganya yang super, laki-laki berlengan besar itu tidak cukup membuat bendera merangkak naik. Bahkan tak sesenti pun.
“Coba periksa. Mungkin ada bagian yang terselip atau apa.”
“Sudah. Lagunya sudah mau selesai, bendera diikat saja seadanya.”
“Tidak bisa. Tidak boleh diikat setengah tiang. Itu bisa merusak kesakralan upacara ini. Ini hari kemerdekaan bukan waktunya berkabung. Tidak mungkin dibiarkan setengah tiang.”
“Terus bagaimana? Sebentar lagi lagu selesai. Tidak enak juga dilihat orang.”
“Lebih tidak enak kalau bendera berkibar setengah tiang.”
“Sebenarnya ada apa ini. Saya rasa tidak ada masalah dengan bendera, tiang, pengerek, juga katrolnya.”
Melihat itu, dirigen dan para peserta upacara tanpa dikomando ikut memperlambat tempo lagu. “Indonesia raya merdeka merdeka hiduplah Indonesia raya.
Pak Endru dan TNI itu masih bersitegang dan berusaha menarik-narik tali tersebut. Sementara Ojan, Afkar, dan Arsin hanya nyengir getir. Bercampuran emosi gaduh berderu dalam dadanya.
“Sudah. Sudah. Lagu sudah hampir selesai. Ikat saja.”
“Sial.” Kata Afkar dengan cukup keras ditengah ketegangan. “Lihat di ujung tiang itu.”
Hampir serempak mereka menoleh ke atas. “Ada apa? Aku tidak melihat apa pun?”
“Tidak ada apa-apa.”
“Aku juga tidak melihat apa pun.”
“Pantas saja tidak bisa dikerek lagi.” Tambah Afkar semakin mantap dengan semua kejadian janggal ini.
“Ada apa, Kar?”
“Kalian tidak melihatnya?” Tanya Afkar keheranan. Sedang yang lain hanya melongo dan menggeleng. “Lihatlah! Bendera negara lain tengah berkibar di puncak tiang dengan gagahnya. Mana mungkin merah putih bisa dikerek hingga ke puncak?”
“Sungguh. Kau memang jago melucu, Nak.” Ujar TNI ketus.
“Aku tidak melucu.”
Lagu Indonesia raya pun selesai dinyanyikan. “Hiduplah Indonesia raya.”
Tamat

Friday, September 11, 2015

Lentera di balik Jendela - Episode 1 - Perkenalkan

Namanya Reza. Bocah kecil bertubuh kurus itu lahir dari desa yang sederhana di sudut kota Pekalongan. Pekerjaan yang dilakukan tiap harinya hanyalah dua hal. Bermain dan bermain. Tidak ada kata lain yang ia kenal selain bermain. Bahkan dia hampir tak mengenal katan makan. Sampai tubuhnya terlihat kurus kerontang.

Bocah kecil ini tampak sama dengan bocah seumurannya. Tidak cukup berbeda dengan yang lain. Hanya saja dia terlihat seperti bocah yang kekurangan makan. Seperti orang tuanya tak pernah memberi makan. Seperti kurang gizi. Bukan berlebihan, namun memang ini kenyatannya. Dan lagi, bocah kecil ini dikarunia tubuh yang mungil.

"Reza..." teriak salah temannya dadi luar.
"Rezanya masih belajar. Nanti abis isya ya mainnya." Teriak Ibunya Reza dalam bahasa jawa, dari dalam.
Sementara Reza melirik temannya yang sudah mulai berlarian di depan rumah. Matanya mengintip dibalik jendela kaca. Sementara Ibunya duduk didepannya menenmaninya belajar.
"Setelah sholat isya, Reza bisa bermain." Reza menata bibirnya cemberut. Tak ada pilihan selain menurut perintah ibunya. Kalau masalah belajar, Ibu Reza bukanlah hal yang mudah bertoleransi dengannya. Meskipun dahaga untuk berlari dan berteriak bersama rekannya sudah begitu kuat, namun Reza harus kuat-kuat menahannya.

"Kamu lama sekali, Za." Ujar Zainal polos pada Reza.
"Aku baru boleh keluar setelah isya." jawabnya menyesal karena terlamabat bertemu dengan teman-temannya.
"Ayolah kita main 'rok kring'1", ujar Agus menambahkan. Yang lain nampak menunduk semangat dan menimpali atau pun membubuhi sorai setuju.

Kisah saat dia dibully.
Menceritakan siapa reza.
Menceritakan bagaiamana lingkungan mendidiknya. Bagaiamana keluarga mendidiknya.
Bagaiaman dia memulai mimpinya.

Apakah kita harus jatuh cinta? #DiskusiMalam

Hello Geng..

Kalian pernah diskusi tentang cewek.. atau tentang cowok (buat para kaum hawa).. Tentunya pernah kan.. Nah, sekarang ane mo cerita tantang doi. diskusi tantang apa itu cinta? Apakah benar itu cinta atau hanya nafsu?

Diskusi malam episode 1. ane kasih judul. #apakah kita harus jatuh cinta?

Oke. Diskusi yang menyanangkan adalah diskusi yang tidak direncanakan, mengalir bagai aliran sungai dan mengelok mengikuti irama pikiran kemana pun perginya. Let get started!!

Malem itu kita bertiga merasa lapar. Karena kegiatan ane yang cukup padat kamis kemarin, jadi harus membutuhkan porsi lebih untuk menunjang asupan gizi ane.
Destinasi malem ini adalah tempat makan pinggir jalan. Spesifiknya di jalan kaliurang, depan F. Geografi. Namanpya lupa, pokoknya makanan jepang gitulah..



Friday, August 7, 2015

Rindu




Oleh : M. Riza Rahmat Syah
Untuk kesekian kalinya kau hadir lagi dalam mimpiku. Entah yang keberapa kali. Kau terlalu sering menghadiriku dalam tidurku. Entah harus bahagia atau bermuram durja. Aku bisa bertemu lagi setelah hampir tiga tahun aku tak pernah lagi mampu untuk menemuimu. Meskipun hanya dalam mimpi. Mimpi yang terkadang juga membuatku sedih. Karena aku tersadar bahwa kau memang tidak akan pernah bisa kusentuh lagi. Mimpi yang menyadarkanku bahwa kau hanya akan menjadi penghias mmimpiku. Tanpa pernah akan bisa bertemu lagi.
Tiga tahun lalu. Setelah kejadian mengerikan yang membuat pagar-pagar pembatas itu makin hari makin menebal. Jembatan penghubung yang asri. Ditanami pepohonan hijau dengan semerbak bunga mewangi. Seketika runtuh. Saat aku, dengan tanganku sendiri menghancurkan jembatan yang telah kita bangun bersama. Jembatan yang sudah kita rajut sejak sekian lama. Hingga kau benar-benar marah kepadaku. Kau benar-benar enyah saat melihatku hadir. Sehingga aku memutuskan untuk tidak akan pernah lagi menampakkan diri di hadapanmu. Meskipun aku masih amat sangat mengharapkan waktu bisa mengantarkanku pada waktu kita pertama bertemu. Saat kau menyalami tanganku. Saat aku membawakn ranselmu. Saat pertama kau mengajak makan malam bersamaku. Sungguh pigura-pigura itu masih begitu kental membekas di keningku.
“Hai, bagaimana kabarmu?”
“Aku rasa kita bisa berdamai.”
“Kau sungguh telah memaafkanku?”
“Aku rasa kau juga manusia.”
Lantas kau megulurkan tanganmu. Aku pun ragu untuk menyambutmu. “Kau kenapa?” katamu.
Dengan mantap aku pun menyambut tanganmu. Seketika semua menjadi ringan. Rasa rindu yang menggunung membuncah membentuk taman surga dengan bunga yang bermekaran. Rasa-rasanya aku sungguh bahagia hari ini.
Lantas kau memutarkan lagi lagu kesukaanmu. Lagu yang menjadi kesukaan kita berdua. Rambutmu teruarai tersapu angin. Dengan aroma yang sama persis dengan saat kita bertemu.
Ya, esok harinya aku tersadar itu hanya sebuah mimpi. Mimpi yang membuatku sesak di pagi hari. Membuat hariku terasa tidak enak. Karena hari-hariku harus terhiasi oleh baying-bayang mimpi malam tadi.
Kenapa kau begitu tega memainkanku dengan kehadiranmu dalam mimpi-mimpiku. Kenapa kau tega mengoyak perasaanku yang seketika gonjang-ganjing saat kau hadir dalam mimpi. Mimpi itu seakan harapan palsu. Memberikan suasana dan gambaran yang sangat indah dan apik. Namun dengan mudahnya kau pergi meninggalkan luka di kala sadarku.
Atau mungkin aku yang masih terlalu berhadap denganmu. Sehingga kau selalu menampakkan diri dalam mimpiku. Namun aku ingat kejadian waktu itu, saat kau benar-benar marah padaku. Saat tangan itu dengan lihainya menyerang wajahku. Saat sorot kebencian di matamu yang terhujam ke arahku. Saat nafas itu terdengar menggebu saat kau memukuliku. Kau benar-benar gadis yang berhasil dengan sempurna melumpuhkan hatiku.
Seringkali terbesit dalam pikirku. Adakah di sana kau rindu padaku, meski hanya sekedar ulasan kisah kita tempo lalu. Adakah kau juga mengalami rindu yang hebat seperti yang kuderita. Sehingga menjadi pesakitan sepertiku hanya karena makhluk bernama rindu. Atau jangan-jangan kau juga memimpikanku?
Ah, aku rasa berlebihan. Bahkan namaku saja kau sudah tidak menyimpan dalam dokumenmu. Jangankan nama, aku yakin kau sudah benar-benar melupakanku. Meskupun hati kecilku masih berhadap kau memimpikanku. Walau hanya sekadar.
“Sudahlah Ba. Jangan terus-terusan melipat-lipat hatimu. Hari-hari indahmu masih menunggu di depan.”
“Kamu tidak tahu.”
“Tidak tahu apa? Kau yang terlalu mendramatisir urusan cintamu. Hingga Kau terlihat lemah. Seperti manusia pesakitan.”
“Kau tidak pernah tahu.”
“Terserah kau saja, Ba. Aku hanya tidak ingin sahabatku menderita.”
“Terimakasih Bro. Tapi …”
Dua malam setelah itu. Kau berturut-turut hadir dalam janji palsumu. Iming-iming kebahagiaan yang ternyata hanya berujung kekecewaan. Tiga malam berturut-turut kau tidak pernah absen dalam mimpiku. Apakah kau sengaja membuatku menjadi pesakitan. Memupuk rasa rinduku hingga membuatku kehausan.
Tiga malam. Pertama kau menyalamiku. Kedua kau memelukku. Malam ketiga kau mengajakku menyanyikan lagu tentang kita. Nanti malam apa lagi?
***
Sebatang rokok bertengger di jariku. Asapnya mengepul melebur dengan waktu. Aku pun terbatuk. Tersedak dengan asap rokok yang panas di tenggorokan.
“Kau tidak bisa merokok.” Katamu dulu sambil tertawa. Terbahak melihatku yang menderita. “Aku tahu Kau tidak bisa merokok.”
“Aku bisa.” Kataku mencoba meyakinkan. Namun sepertinya aku bukan pembohong yang ulung. Kuhisap lagi rokok yang melingkar di jari dan aku terbatuk lagi. Dia pun terpingkal lebih keras. Bahkan sampai matanya kebas karena tertawa. “Sudah Kiba. Kau tak usah lagi berbohong.”
“Aku tidak pernah memintamu untuk merokok.”
“Aku juga tidak pernah merasa ada yang memaksaku. Sama halnya aku tidak pernah memaksakan diri untuk mencintaimu.”
Kau lantas diam menatapku. Tawamu meluruh menjadi tatapan yang teduh. “Kau berbeda dengan perempuan lainnya.”
“Bukan kau tahu ini hanya mimpi?”
“Iya, aku sadar sekarang ini kau hanyalah mimpi indahku. Aku hanya ingin bertanya. Kenapa kau selalu datang ke dalam mimpiku?”
“itu bukan urursanmu.”
“Itu urusanku. Aku lelah terjebak dengan rindu yang kau hadirkan dalam setiap mimpiku.”
“Aku hadir karena kau yang memilihku untuk hadir, Kiba.”
“Kau bohong.”
“Kenapa bisa bilang aku berbohong. Kau yang telah merusak semua ini. Dan kau pula yang tersayat oleh apa yang Kau buat sendiri.”
“Hentikan..!” Rokok yang kupegang kuinjak, “Aku tahu kau hanya mimpi. Sekarang aku tengah bermimpi. Kumohon pergilah dari mimpiku. Dan jangan pernah kembali. Karena kehadiranmu hanya membuat noda dihatiku semakin membesar.”
“Aku tidak akan pergi dari mimpimu. Karena kau masih menghendakiku berada di sini.”
“Pergi..!!!”
Aku pun teriak. Tepat saat aku terbangun dalam mimpiku. Kamar gelap. Purnama masih bertengger di balik jendela. Dadaku sesak. Keringat kebas.
Aku tidak bisa terus terusan begini. Aku tidak bisa membiarkanmu hadir tiap malam. Aku tidak bisa membiarkan kau menjajah mimpiku. Aku harus segera meledakkan rasa rinduku.
Kaumbil semua buku, catatan, foto, dan segala bentuk kenangan yang bisa memunculkan bayanganmu. Kuambil korek dan minyak tanah. Aku segera berlari ke luar untuk membakarnya. Namun aku terhenti tepat di depan pintu.
Kau berdiri tegak di depan pintu kamarku. Wajahmu dingin memandangku. Perlahan musik kenangan kita menggelitik telingaku.
“Sial..! Aku belum terbangun dari tidurku.”

Pekalongan, Juli 2015