Tuesday, February 25, 2014

Sahabat Lama

Kemeja bermerk Nevada membalut tubuh hitamku. Kusemprot pengharum klasik pada kain itu. Aromanya memanjakankan indra penciumanku.  Dengan sisir merah, kurapikan rambut hitamku. Kulirik jam yang melingkar ditanganku. Masih pagi. Kusegerakan menyantap sarapan pagiku, segelas air susu dan roti isi keju yang dioles selai nanas.
Hari ini aku ingin berkunjung ke suatu tempat. Tempat yang aku dan teman-teman kecilku menyebutnya sebagai surga. Aku pergi ke sana untuk menemui sahabat lamaku. Sahabat kecilku.
Kidung Stay yang dinyanyikan Rihana menemani perjalananku. Aku rasa aku butuh hiburan untuk menemani perjalanan yang cukup jauh ini. Aku termasuk orang yang suka dengan hiburan. Biasanya dengan menonton film hollywod kesukaanku di bioskop. 
Ingatanku mulai merambah kenangan masa kecilku. Saat aku berlari tanpa mengenal lelah. Saat aku belum mengenal apa itu kesibukan. Saat aku masih hanya mengenal rasa bahagia. Ingatan itu masih kental dalam otakku. Oh, Surgaku.
Tidak terasa lamunanku memangkas lama perjalananku. Satu jam membawaku berada tepat di depan sebuah gang. Sepertinya mobilku tidak sanggup memasuki gang kecil itu. Aku pun berjalan mengikuti jalan setapak. Jalanan yang becek membuat sepatu nikeku kotor. Tak masalah. Aku bisa melaundrynya nanti.
Mataku langsung tertuju pada sebuah kebun yang dipenuhi pohon mangga, pisang, dan bunga sepatu.  Di sudutnya ada sebuah tanah lapang yang menjadi tempat favoritku bermian bola, kadang juga bermain gobak sodor, bermain kelerang, petak umpet, lompat tali, dan pelbagai permainan anak lain. Aku masih ingat semua permainan itu, bahkan sampai tata cara dan aturan mainnya. 
Lihat! Anak-anak itu berlarian dengan senyum terbaiknya. Sebuah tawa yang sudah lama tidak kujumpai.
Kulihat tetangga-tetangga lamaku menyapaku. Memberikan senyum terhangatnya kepadaku. Ada yang tengah menyapu halaman rumahnya, ada yang tengah menyirami tanamannya, ada yang tengah sibuk dengan ayam dan burung daranya. Aku tak ingin berlama-lama dengan mereka. Aku ada urusan yang lebih penting dengan sahabat lamaku.
Pada sebuah tempat mataku tertambat. Sebuah tempat yang cukup luas dan ramai. Aku ingat waktu aku juga berada di tempat ini dengan canting di tanganku. Aku selalu suka bagian meniup ujung canting yang telah terisi cairan malam panas. Kugoreskan canting pada kain putih itu dengan motif batik bercorak bunga, ikan, merpati, kadang juga ular naga. Lalu diberi warna, diberi isen-isen, dicelup, dan dilorot. Aku masih ingat betul proses membuat batik tulis. Masih sama, tempat pembatikan ini dipenuhi pegawainya yang rata-rata anak remaja.
Disebelahnya ada sebuah pendopo tua yang terbuat dari kayu jati dengan atap jerami. Di sana dikerumuni banyak anak-anak. Sebuah layar putih satu kali dua meter membentang. Seorang kakek tua berkumis lebat itu memainkan wayang kulitnya. Mbah Surip namanya. Dia sering melakonkan Rama Shinta dalam setiap penampilannya. Terkadang juga lakon pandhawa lima. Tangannya terlihat lincah memainkan wayang tersebut. Begitu juga dengan mulutnya yang berkomat-kamit mengisi suara lakon dalam pewayangan.
Terkadang pendopo itu juga dijadikan tempat pertunjukan seni seperti tari ronggeng, jaipong, dan tari piring. Terkadang juga pertunjukan kuda lumping. Tempat ini menjadi tempat favorit bagi warga di kala malam berkunjung.
Terlalu banyak kenangan manis di sini. Di tempat ini, inilah jati diriku. Inilah surgaku, kebahagian.
Di ujung gang ini kakiku terpatri. Mataku membelalak. Sebuah rumah kecil dengan bunga melati dan bougenvil menghiasi pelatarannya. Sebuah meja bundar dengan tiga kursi yang menemaninya di beranda rumah itu. Tepat di atas pintu, tertera nama pimilik rumah itu. Tak sabar rasanya bertemu sahabat lamaku. Pintunya yang tidak tertutup membuatku langsung masuk begitu saja, seperti dulu.
“Ke mana saja Kau selama ini?” Suara itu muncul dari seorang yang wajahnya tersamarkan oleh sinar matahari. Dia berdiri memandangku. Aku yakin, pasti dia.
“Halo Sahabat kecilku..”
“Diam..!” Pria itu menyentakku. Aku pun dibuat kaget olehnya. “Ke mana saja kau selama ini? Saat semua orang membutuhkanmu.. Kau di mana?” Dia teriak. Menuntut kepadaku. Memaksaku untuk menjawabnya.
“Hei. Ada apa denganmu? Aku baru saja datang dari jauh.”
“Aku kira Kau sudah lupa dengan tempat ini.”
“Aku tidak lupa. Aku hanya sibuk ....”
“Sibuk katamu? Kau sibuk dengan dunia barumu. Kau membiarkan orang-orang baru itu menghancurkan surga kita. Meruntuhkan budaya kita. Bahkan Kau membantu menghancurkan tempat ini. Kau melupkan kami. Keluargamu! ”
“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.” Aku berusaha memperjelas.
“Lihat dirimu? Kau bukan dirimu yang lama? Kau yang sekaranag adalah orang lain.”
“Ini Aku.” Aku berusaha mempertegas diriku.
“Bohong!!” Dia mendorong meja makan dan menjatuhkan piring dan gelas.
Semua menjadi semakin tegang. Tapi aku masih saja bingung dengan tingkahnya.
“Dengar.. Dengarkan baik-baik.” Nada suaranya melemah, tapi mendalam. Emosinya pun sedikit mereda. “Kau biarkan budaya luar masuk begitu saja. Kau biarkan milik kita hilang begitu saja digerus kenistaan. Kau tidak peduli dengan budaya bangsa kita. Kau lebih suka dengan dunia barumu.”
“Aku peduli. Aku peduli dengan budaya bangsaku. Bangsa kita. Jati diri kita.”
Tiba-tiba dia berlari mendekatiku dengan sebuah belati di tangan kirinya. “Bohong..!!” Dia berteriak. Dingin belati itu terasa di pipiku. Aku semakin tegang. “Ini semua salahmu!!”
“Kenapa Kau menuduhku?” Suaraku terisak ketakutan.
“Menuduhmu, katamu?” belati itu terasa semakin dingin. “Di siniliah tempatmu dilahirkan. Di sinilah Kau berkembang. Di sinilah Kau tertawa. Di sini nenek moyang kita menitipkan ribuan warisan budaya kepada kita.” Matanya semakin tajam memelototiku. Nafasnya hangat terasa di keningku. “Kalau bukan Kau yang menjaga tempat ini. Mempertahankan surga ini. Menjaga kebudayaan ini? Siapa lagi?”
Aku. Aku mulai mengerti mengapa dia marah kepadaku. Tapi, “Tapi, lihatlah! Bukankah tempat ini masih sama seperti dulu. Kau bisa melihatnya.”
“Kau buta. Bahkan kau tak sadar kalau surgamu, budayamu, telah direnggut orang lain. Matamu dihalusinasikan oleh sihir mereka. Kau terlalu nyenyak dinina-bobokkan mereka.”
Kata terakhir itu membuatku segera berlari ke luar rumah itu untuk menunjukkan bahwa semua yang dikatakannya itu salah. “Lihaaaat..!”
Lihat? Apa yang harus kulihat? Di mana semua itu? Di mana permainan tradisional? Di mana senyum ramah warga? DI mana tawa riang anak-anak itu? Di mana Mbah Surip dan boneka wayangnya? Di mana batik tulis itu? Di mana pendopo?  Di mana tari-tarian itu? Di mana? Di mana sekarang aku berdiri?
Kugosok mataku berulang-ulang untuk memastikan semua yang ada di depanku. Yang ada hanya gedung-gedung tinggi, mall, bioskop luar negeri, restoran western, tempat karaoke dan game online, distro, dan boutique. Di sebelahnya ada ayam goreng dari Kentucky, roti dari italia, daging asap dari timur tengah. Ada juga sebuah papan besar bergambar artis boyband dari korea, cover film dari holliwood, cover buku terjemahan dari inggris.
Di mana? Kenapa semua bisa jadi begini. Begitu juga dengan rumah itu. Rumah sahabat lamaku. Di mana pria dengan belati di tangannya itu? Yang ada hanya tumpukan sampah yang baunya menyengat hidung. Busuk.
Aku butuh jawaban. Aku butuh jawaban atas semua pertanyaanku ini. Siapa yang tahu kemana perginya surgaku?
Perempuan dengan rambut diikat yang mengenakan daster merah itu tengah menyapu halaman. Kudekati perempuan yang terlihat seperti pembantu rumah tangga itu.
“Ibu, Ibu tahu ke mana surgaku yang tadi di sini?”
Perempuan itu berhenti menyapu. Matanya menyelinap menatapku kosong, “Surgamu? Bukankah itu surgamu? Kenapa Kau tanyakan kepadaku?”
*tamat

Monday, February 17, 2014

Mbah Jo

Pahlawan. Aku sering mendengar kata itu waktu sekolah dasar dulu. Seseorang yang dikenang karena jasanya dalam membela negara. Darah dan keringatnya didedikasikan hanya teruntuk mengabdi pada negara. Aku sering mendengar nama-nama seperti Patimura, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Ki Hajar Dewantara, dan masih banyak lagi, yang muncul dalam pelbagai kisah heroik yang disajikan oleh guru sekolah dasarku dengan penuh emosional.

Berbicara soal guru, aku jadi teringat beberapa tahun silam. Di mana seseorang guru juga digembar-gemborkan sebagai pahlawan. Hal semacam itu membumbung tinggi di telinga masyarakat. Bahkan dikukuhkan dalam sebuah lagu yang bertajuk pahlawan tanpa tanda jasa. Bisa jadi benar jika hal itu terjadi pada era pasca kemerdekaan. Sayang, sepertinya sekarang itu semua sudah tidak berlaku. Terlalu menafikkan kiranya jika guru yang sekarang disetarakan dengan guru tempo dulu. Loyalitas dan kredibilitas mereka tidak bisa disama-ratakan. Sangat kontras. Aku tak perlu bercerita panjang lebar bukan mengapa demikian?

Atau bahkan pahlawan sebenarnya adalah lakon yang selalu muncul dalam dunia layar kaca. Yang selalu membela dan menolong orang-orang yang lemah dan kesusahan. Seperti spiderman, superman, batman, atau berderet superhero yang lain. Bisa jadi.

Entah, pahlawan seperti apa yang benar-benar pantas disanjung sebagai pahlawan. Aku kira pahlawan tidak akan mau disebut pahlawan. Di dunia yang semakin individualis ini. Di dunia yang miskin kepedulian ini.

“Nglamun Mas?” suara berat itu memecah dunia fantasiku. Aku terhenyak dan tersenyum padanya. Seyum maluku. Orang tersebut membalas senyumku, “Nglamunin apa to? Kamu belum punya istri?”

“Boro-boro punya istri mbah, kepikiran buat nikah saja belum ada.” Jawabku agak malu-malu.

“Loh, nunggu apa lagi? Usia sudah matang. Pekerjaan juga sudah mapan. Bukannya rosul menganjurkan kepada kita untuk menyegerakan menikah. Kesempurnaan iman manusia, separuhnya dari pernikahan. Kualitas ibadah kita akan meningkat berkali-kali lipat. Rosul mengatakan demikian.”

Aku hanya mengangguk. Kami pun saling berpandangan dan berujung tawa. Kami kembali fokus membersihkan kamar mandi dan tempat wudhu mushalla di sudut sebuah desa. Mushala yang belum pernah kujamah sebelumnya. Namun, memberiku candu untuk selalu mencumbunya. Karena orang tua itu.

Pertemuan-pertemuan kami ini berawal dari sebuah sentuhan hati. Yang membuatku ingin bertemu lagi dengannya. Lagi, dan lagi. Sebuah kesan pertama yang membuat wajah tuanya selalu terlukis dalam bayangku.

Kala itu, rasa letih menggelayut tubuhku. Berat ransel menggantung di punggungku menambah beban perjalananku. Di ujung batas lelahku, mataku tertambat pada sebuah mushala kecil yang nampak sederhana. Segera kuletakkan tas ranselku dan kurebahkan tubuhku di sana. Lantainya terasa dingin menyentuh menembus kulit tipisku. Rasa lelah yang sangat, membawaku terbang pada perbatasan dunia mimpi.

“Minum Nak?” Tiba-tiba terdengar suara. Aku segera bangun dari posisi tidurku dan mencari dari mana sumber suara itu. Seseorang dengan tubuh kurus dengan kulit mengeriput. Tubuhnya yang hitam legam terbungkus kain putih bersih. Baunya wangi, aku suka baunya. Matanya yang cekung memandang dalam ke arahku. Di tangannya segelas air putih disodorkan padaku. Kebetulan sekali. Aku pun langsung meminumnya. ”Terimakasih.”

Percakapan kecil pun muncul memulai kedekatan kami. Ia banyak bertanya, dan dia juga lebih banyak bercerita. Namanya Mbah Jo. Orang-orang memanggilnya demikian. Sebenarnya usianya belum begitu tua. Hanya saja memang secara fisik nampak tidak muda. Mungkin karena lelaki ini hidup sendiri. Istri dan anaknya meninggal saat proses persalinan dulu. Semoga khusnul khotimah.

Dia terlihat tegar dalam tiap sikapnya. Seperti tidak ada beban saja. Dia juga sering cerita mengenai ilmu agama, mengenai kisah-kisah rasul, mengenai pengalaman hidupnya selama nyantri di pondok pesantren dulu. Aku sangat antusias saat dia mulai bercerita. Suaranya terdengar begitu menenangkan dan membuatku betah berlama-lama bercerita bersamanya.

Sejak pertemuan pertama itu, aku menjadi sering datang untuk menjumpainya. Mengobrol apa pun dengannya. Melupakan kesibukan yang tidak ada habisnya dan membiarkan waktu yang berjalan begitu cepat. Begitu pula dengan pertemuan kedua, ketiga dan seterusnya.

Seperti tidak ada lelahnya. Dari mulai fajar menyingsing hingga senja berbenar, ia setia menemani mushala kecil itu. Biasanya dia membersihkan lantai dengan kain pel setelah  matahari mulai menyapa. Dilanjutkan dengan membersihkan pekarangan kecil di depan mushala itu. Terdapat pohon mangga dan rambutan yang selalu merontokkan daunnya yang telah layu. Tempat itu selalu bersih saat aku datang  menjumpainya untuk shalat dhuha.  Tak jarang saat aku menjumpainya, dia tengah memangku AlQuran dan dibacanya dalam alunan.. Kadang juga kitab-kitab bertuliskan arab tanpa satu pun harokat yang menghiasi huruf tersebut. Entah kitab apa.

Setelah selesai berjamaah ashar, dia mengajar madrasah di mushala tersebut. Pelajaran macam fiqih, hadits rosul, akhlaq, sejarah rosul, diterangkannya satu per satu di depan anak-anak desa tersebut. Dengan penampilan yang bervariasi, anak-anak mengikuti pelajaran dengan antusias. Tidak sedikit di antara mereka yang bergurau dan bercerita sendiri dengan temannya. Mbah Jo tetap sabar.

Mengaji Al-Quran dilakukan setelah shalat maghrib. Satu per satu anak-anak membaca ayat demi ayat dalam Al-Quran. Ada yang sudah lancar membaca Al-Quran, ada yang hanya bisa membaca juz Amma, ada juga yang baru memulai mengenal huruf hijaiyah. Terkadang aku juga ikut membantu mengajar dengan bekal ilmu tajwidku waktu MTs dulu, tetapi itu cuma sekali dua kali. Mbah Jo selalu sabar membimbing anak-anak itu, huruf demi huruf, kalimat demi kalimat diterangnya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.

Semua itu dilakukannya setiap hari. Itulah Mbah Jo.

Pada sebuah pertemuan yang lenggang. Setelah kami menyelesaikan menyapu pekarangan. Tidak seperti biasanya. Kali ini dia lebih banyak diam dari pada bercerita atau sekedar menasihati. Begitu pula dengan wajahnya, tidak secerah dan sebahagia hari-hari biasanya.

Aku tidak berani menanyakan bagaimana kabar suasana hatinya yang terlihat membiru. Aku duduk di serambi mushalla, bersanding pada tubuhnya yang mulai merapuh.

Pikirku pun mulai mereka-reka sebab apa pria tua ini begitu muram. Apa mungkin masalah keluarga? Bukan, dia tidak punya keluarga. Lagi pula dia sudah terbiasa dengan kesendiriannya. Barang kali masalah ekonomi? Iya, mungkin uang mingguan dari anak-anak yang mengaji kurang mencukupi kebutuhannya. Iya, pasti karena itu.

Kuberanikan diri untuk memecah diam ini dengan sebuah pertanyaan. “Sudah makan mbah?” Mbah Jo terdiam. Pandangannya kosong. “Mbah?”

Dia menggeleng.

“Ayo makan Mbah? Saya traktir deh di warung Mbak Siti apa Mbak Romlah?”

Dia menggeleng lagi. Aku semakin khawatir. Aku pun semakin gusar dengan keadaan yang seperti ini.

“Apa uang ngaji dari anak-anak kurang? Tidak mencukupi kebutuhan Mbah?”

Lagi-lagi dia tetap kukuh dengan diamnya. Tapi kali ini berbeda. Dia tidak menggeleng, melainkan menatap ke arahku, menembus bola mataku. Dia tersenyum. “Kau tahu?” dia mulai berbicara. “Tujuan manusia diciptakan oleh Allah di bumi ini?”

Dia menanti jawabanku. Aku tahu. Tapi aku sedikit ragu. Dan seandainya aku yakin dengan jawabanku pun aku  tidak ingin terlihat sudah tahu di depan mbah Jo.

“Allah menciptakan manusia itu supaya beribadah. Sesederhana itu. Mbah ini udah tua, nggak punya tanggungan lagi. Jadi mbah ingin beribadah dengan sungguh-sungguh di akhir usia mbah. Benar-benar mengabdi hanya kepada Allah.”

“iya mbah.” Aku mengangguk. Aku merasa malu. Aku merasa pertanyaanku itu tidak patut kupertanyakan.

“Allah itu maha adil. Mbah tidak menerima bayaran atas niat tulus mbah membantu anak-anak itu mengaji. Menuju jalan yang diridhoi Allah. Mbah melakukan itu semua karena Allah. Tak mengharap apa pun. Allah sudah mengatur rejeki Mbah.” Ia menngambil nafas panjang. Pandanganya kembali pada kekosongan.

“Seperti kamu ini. Kamu itu orang hebat.” Dia menepuk pundakku, “Kamu mau-maunya meninggalkan kehidupan mewahmu di kota sana. Demi mengobati orang-orang sakit di pelosook sini.”

Aku tidak menyangka Mbah Jo memujiku. Mengagumi gerakku. “Kalau kamu menjadi dokter yang tulus. Ikhlas. Mengobati orang sakit itu hanya karena Allah. Kamu akan menemukan kebahagian yang sebenarnya. Kebahagian yang bukan dilihat dari jumlah uang kita, status sosial kita, kedudukan kita. Melainkan kebahagiaan yang hakiki. Allah pasti akan menggantinya dengan surga di akhirat kelak.” Dia pun tersenyum pada ku dan meninggalkan ku duduk sendiri. Air wudhu membasahi kulit wajahnya dan membawanya pada nada-nada Al-Quran.

Kata-kata terakhir itu masih terngiang menyejukkan. Membangun. Dan sedikit menyinggung. Kenapa aku merasa tersinggung? Iya, kenapa aku tersinggung? Mungkinkah tujuanku bukan karena Allah. Karena materi. Karena status sosial. Karena... Aku masih merasa itu semua adalah cerminanku. Itulah aku.

Jadi. Apakah aku harus terinspirasi dari dia? Ikhlas karena Allah?

Pikiranku kembali mengulik pada sosok tua itu. Yang tengah duduk dengan sarung palekat dan baju yang serba putih. Ditambah songkok dan sorban. Seseorang yang memberi banyak perubahan dalam kehidupanku.

Aku kira dia hidup dari itu, ternyata... Bagaimana dia bisa begitu? Bagaimana dia mencukupi kebutuhannya dengan keadaannya yang demikian? Uang dari mana? Ya Allah. Pikiranku tak sanggup menyentuh jawaban dari semua pertanyaan itu. Mungkin karena hatiku masih sangat kotor. Masih sangat jauh dari keikhlasan.

Tiaba-tiba lamunanku kembali pada lamunan beberapa hari yang lalu. Pahlawan. Jadi dalam wujud semacam inikah Allah meniupkan ruh seorang pahlawan? Pantaskah kata pahlawan itu disematkan pada dadanya? Layakkah dia dipanggil sebagai pahlawan? Lagi-lagi aku tidak mampu untuk menjawab pertanyaan itu. Terlalu banyak pertanyaan yang memenuhi ruang hampaku.

Pahlawan itu...

Dua Cangkir Teh



(cerpen) 
“Ron, Barang-barangnya udah masuk semua?”
“Udah-udah, semuanya udah lengkap,” jawab Roni, “kita langsung berangkat aja.”
Roni, Safi, dan Alfon berangkat menuju ke daerah Gunung Bromo, tepatnya di Desa Kertowono. Mereka mendapat tugas dari dosen mereka untuk melakukan sebuah penelitian tentang sukmber daya alam di daerah gunung tersebut. Sambil membawa tugas, mereka juga menjadikan kesempatan ini sebagai hiburan dan rekreasi setelah dua minggu terakhir ini mereka menghadapi ujian akhir semester.
Dari kejauhan telah nampak birunya Gunung Bromo yang menyejukkan mata berdiri kokoh menatap langit. Terlihat mata yang berbinar diantara Roni dan kawan-kawannya yang hendak menju ke tempat itu. Setelah satu jam perjalanan, mereka pun sampai di desa Kertowono. Mereka disuguhi panorama indah yang membuat mata mereka berkaca-kaca. Nampak pepohonan menghiasi ciptaan tuhan yang besar itu, di tambah dengan awan putih yang menyelimutinya. selain itu, kebun teh, jagung, dan berbagai sayuran yang ada menambah indahnya gunung tersebut.
Dari kejauhan nampak Bu ikem dan Pak Broto berdiri di depan rumah menunggu kedatangan mereka.
“Selamat datang, silakan masuk, Pasti udah podo kesel iki,” sambut Pak Broto, “ Ayo masuk, tehnya diminum. Ini asli teh Gunung Bromo lo..”
“Iyo.. Ayo podo masuk,” sambut Bu Ikem pula.
Mereka bersalaman dengan Pak Broto dan juga Bu Ikem dengan wajah yang ekspresif sambil memeperkenalkan diri mereka msing-masing. Namun berbeda dengan yang lain, saat Alfon bersalaman dengan Bu Ikem, nampak wajahnya memerah sendu, matanya berkaca-kaca, dan dihiasi rasa haru.
“Ada apa Bu?” tanya Alfon, “Ada yang salah dengan saya?”
“Oh, ndak ada apa-apa. Ibu cuman.. Ibu mau ke dalam dulu.” jawab Bu Ikem sambil berjalan ke dalam kamarnya. Prilakunya yang aneh meninggalkan tanda tanya di benak Alfon. Alfon yang sedang bingung pun duduk di kursi yang tesedia.
“Sebentar, Bapak tinggal dulu ya. Kalian nikmati saja tehnya,” ujar Pak Broto sambil meninggalkan ruang tamu.”
Di dalam kamar terdengar Pak Broto dan Bu Ikem sedang bercakap di kamar.
“Ini cuman kebetulan Bu, ojo mikir yang aneh-aneh.”
“Endak Pak, Ibu cuman merasa seperti ketemu lagi karo Amin. Ibu pingin meluk dia.”
“Sabar Bu, iki cuman kebetulan.”
“Wajahe iku lo Pak, carane matur, semuane Pak pokoke,” kata Bu Ikem sambil menangis.
“Ada apa to Bu, Pak,” ujar anak perempuan Pak Broto yang tiba-tiba muncul.
“Ndak papa, Ibu cuman kecapekan,” jawab Pak Broto, “sana temuin tamune.”
Saat Alin tiba di ruang tamu ia seketika terkejut.
“Hah..!! Kak Amin..!”
Semua orang yang berada di ruang tamu pun terkejut dengan tingkah laku Alin.
“Ada apa Dik.?” tanya Alfon.
“Emm..” Alin menggeleng-gelengkan kapalanya. Dia pun duduk di sofa sambil terus menatap Alfon dengan penuh misteri. “Kak saya Alin, anak Pak Broto dan Bu Ikem,” ujarnya dengan nada yang gugup dan mencurigakan.
“Alin, cantik ya. Kenalin gua Roni.”
“Saya Alfon, ini Safi.”
“Makasih Kak. Gimana tehnya kak?”
“Ouh, enak banget Lin, mantap,” ujar Roni.
“Makasih Kak. Emm.. Kalian belum pada mandi kan? mau saya antar ke sungai? sungainya indah lho.”
“Sungai, wah asik tuh. Tapi nggak usah dianterlah, entar biar kami tanya-tanya,” ujar Roni lagi.
“Kita keluarin barang-barang kita dulu,” ujar Safi.
“Biarin Kak, biar saya saja.”
Mereka bertiga berjalan menelusuri desa tersebut, pepohonan, sayuran, di tantangnya dengan rasa bahagia. Dengan mata melotot dan mulut mengenga nampak sungai yang bersih dan jernih yang dihiasi dengan bebatuan gunung alam dan air terjun kecil yang cuku memikat hati. Tanpa berpikir panjang mereka melepas baju mereka dan ‘Byuurr’. Nampak senyum indah yang penuh dengan kebahagiaan tersorot di sungai tersebut.
“Saf, foto dong,” teriak Roni.
“Oke.”

Sejuk angin menyelimuti matahari yang mulai muncul. Hari kedua penelitiannya, Alfon dan teman-teman sudah siap menjelajahi kebun teh. Dari mulai buku, laptop, plastik, dan berbagai alat telah disiapkan.
“Bu, kami pamit dulu ya,” ujar Safi.
“Iya, hati-hati.”
Saat mereka bertiga hendak berangkat tiba-tiba Alfon terjatuh.
“Amin..!!” teriak Bu Ikem sambil berlari.
“Fon..!” Safi terkejut sambil memangku kepala Alfon.
“Fon, elu kenapa bro? Fon?” tanya Roni pada Alfon yang tidak sadarkan diri.
“Amin, Amin, kamu kenopo le? Amin..”
Saat Bu Ikem memegang tangannya tiba-tiba dia terbangun.
“Eh.. Ada apa?” tanyannya kebingnan.
“Kamu ndak popo to Min? Kamu baru aja pingsan le,” jawab Bu Ikem.
Safi dan Roni melanjutkan perjalanannya meskipun tanpa Alfon. Di perjalanannya mereka berbincang tentang Bu Ikem yang memanggil Alfon dengan sebutan Amin. Mereka saling menebak sebab apa Bu Ikem berlaku demikian. Di lain tempat, Alfon sedang duduk bersandar di teras sambil ditemani Bu Ikem. Wajah Bu Ikem nampak sendu kelabu dan matanya pun mendung gerimis.
“Ibu kenapa Bu? Ada yang sakit?”
“Endak,” jawabnya mengusap air mata.
“Sebenarnya ada apa Bu? Kenapa Ibu tadi memanggilku dengan nama Amin, siapa Amin itu Bu?”
“Dia bukan siapa-siapa.”
“Ayolah Bu, cerita saja. Meskipun baru kemarin saya mengenal Ibu tapi saya tahu, ada yang disembunyiin dari Ibu.”
“Sebenarnya Alin duwe Mas,”
Awalnya Bu Ikem masih ragu untuk menceritakan masalahnya kepada Alfon, tapi akhirnya dia menceritakan juga.
Kejadian itu dua tahun yang lalu saat dokter menyatakan bahwa Amin mengalami diabetes mellitus, dia tidak henti-hentinya merasakan sakit.
“Kemarin jari kelingking, sekarang apalagi yang di potong Bu?” kata Amin, ”dapet uang dari mana Bu? ngepet?”
“Sabar Le, ndak oleh ngomong koyo ngono. Ntar biar Bapak jual kebun teh buat oprasi pemotongan kaki kamu.”
“Tak usah Pak, ntar percuma saja. Kemarin kelingking, hasilnya sama saja kan? malah sekarang kaki, sekalian aja di pancung kepalaku.”
“Hush, mature. Ora Ilok le.. Serahken semuane karo Gusthi Allah.”
“Bapak, kalo kebun tehe dijual, Alin sekolahe piye? Pokoknya Amin ndak mau oprasi lagi.”
Amin pun masuk ke kamarnya dan mengurung diri. Di dalam kamarnya ia merintih kesakitan. Teriak, tangis, isak, semua bercampur jadi satu. Semua keluarga menghawatirkan Amin. Beberapa saat kemudian tidak terdengar suara apapun dari kamarnya. Keluarga yang khawatir segera mendobrak pintu tersebut dan tergeletak Amin di lantai tanpa daya. Nampak kaki kanannya berkucuran darah setelah ia memotong kakinya sendiri secara paksa dengan menggunakan clurit.
Tanpa berpikir panjang Pak Broto membawa Amin ke rumah sakit, tapi hal itu terlambat. Saat Amin mengamputasi kaki kanannya secara paksa terjadi kegegalan fatal yang mengakibatkan darah mengalir cepat, dan ia pun kekurangan darah hingga akhirnya tidak bisa diselamatan.
“Maafkan saya Bu? Saya..” ujar Alfon.
“Sudah, Ndak ada yang perlu dimaafin.”
“Terus, apa hubungannya saya sama Amin Bu?”
Tanpa menjawab pertanyaannya, Bu Ikem memeluk Alfon erat sambil menangis seakan ada rasa yang terpendam. Alfon juga terdiam dalam kehangatan cinta yang timbul dalam kebahagiaan.
“Sebenarnya ada apa Bu?”
“Sebenarnya…” saat Bu Ikem hendak menjelaskan, datanglah Pak Broto yang baru saja berkebun.
“Nak Alfon, gimana? Udah baikan?”
“Alhamdulillah Pak.”

Saat Alfon sudah merasa sehat, pada hari ketiga pun dia mengikuti penelitian bersama Safi dan Roni. Kali ini mereka juga ditemani oleh Alin yang sedang libur sekolah. Alin pun membawa banyak informasi yang belum diketahui oleh mereka bertiga. Jalan yang dilalui penuh dengan liku-liku, jurang, tebing, dan sungai berbatu.
“Kak Alfon nama lengkapnya siapa?” tanya Alin.
“Oh, aku Nuhren Alfon Famusa.”
“Wah, bagus tuh Kak. Em.. istirahat dulu yuk Kak, capek.”
“Boleh.”
“Kak Roni, Kak Safi, istirahat dulu. Makan jajanan titipan Ibu.” teriak Alin kepada Safi dan Roni yang ada di bawah tebing.
“Entar aja, kalian makan dulu aja,” ujar Safi.
Di atas, Alin dan Alfon berbincang-bincang panjang. Hingga tak sadar makanan titipan Bu Ikem telah habis. Hal itu tidak membuat perbincangan mereka terhenti.
“Lin, aku boleh nanya nggak?”
“Boleh kak, mau nanya apa?”
“Kamu kenal Amin?” tanya Alfon dengan nada yang pelan dan serius.
Alin pun terdiam sejenak, “Eh, Amin siapa?” tanyanya pura-pira tidak tahu.
“Amin, masmu. Sebenarnya siapa masmu itu? Apa hubungannya dengan ku?”
“Makud kak Alfon apa sih? Aku ndak tau?”
“Katakan saja Lin, Ibumu telah cerita banyak tentang Amin.”
“Akh, Ibu?” tanyanya meyakinkan diri.
“Iya, Amin, kaki, DM.”
“Maafkan aku Kak, sebenarnya Kak Amin itu wajahnya sama persis dengan Kak Alfon.”
“Haagh...!” teriak Alfon terkejut, “kamu nggak bercanda. Ka.. mu.. serius?”
“Iya Kak, seperti tidak ada beda-bedanya sama sekali.”
“Aku nggak percaya. Mana foto Amin itu..!”
Alin memperlihatkan foto kakaknya kepada Alfon, dan..
“Hh... Aku.. Maafin aku Bu Ikem, Alin, kedatnganku membuat maslah di rumah kalian.”
“Kakak ndak salah.”
Saat itu juga keringat Alfon mengucur deras, wajahnya memerah, dan dia terjatuh pingsan. Dia terjatuh dia tergelincir ke bawah jurang.
“Kak Alfoon...!” teriak Alin.
Roni dan Safi yang ada di bawah segera membawanya turun ke rumah dan segera dibawa ke rumah sakit. Kepalanya terjadi pendarahan hebat setelah mendarat di atas batu. Suasana kalut terjadi di ruang UGD di rumah sakit.
“Ada keluarga korban?” tanya dokter.
“Eh, lagi di jalan Dok, kami temannya.” jawab Safi dengan nada panik.
“Stok darah habis, kami butuh darah secepat mungkin, darah A positif.”
“Ron, persis dengan golongan darahmu.” ujar Safi.
“Eh, Em, Gua.. Gua takut Saf.” rintihnya pelan.
“Alfon diujung pintu kematian Saf, Ayolah..!”
“Eh, Gua takut Saf..!” teriaknya sambil berlari keluar. Saat dia berlari, dia menabrak Bu Ikem yang sedang berada di jalan bersama Pak Broto dan Alin. Roni pun melanjutkan pelariannya sambil ketakutan dan dibelakangnya Safi mengejar Roni.
“Ada apa le kok lari-lari? Alfon gimana?”
“Dia kekurangan darah, A positif,” terang Safi, “tapi, stok dari PMI habis.”
“Aduh, semua ini salah Ibu. Tadinya Ibu ndak usah ceritain itu semua.”
“Ibu ndak salah Bu,” Alin mencoba menenangkan Ibunya.
“Ibu mau ke kamar mandi sebentar.” Bu Ikem berlari ke kamar mandi dengan segera.
Beberapa saat kemudian, saat semua sedang berkumpul di depan ruang UGD, dokter keluar dengan membawa kabar gembira.
“Alhamdulilah, Alfon masih bisa diselamatkan. Namun dia belum sadarkan diri.” terang dokter.
“Alhamdulillah Dok.” syukur Safi, “eh, Dok, dapet darah dari mana?”
“Alhamdulillah tadi ada perempuan separuh baya mendonorkan darahnya.”
“Siapa Dok?” tanya Alin penasaran.
“Maaf, Dia tidak ingin ada yang tau tentang dirinya.”
Setelah beberapa jam menunggu Alfon sadarkan diri. Semua orang masuk ke ruangan, terkecuali kedua orang tua Alfon yang masih diperjalanan dari Bandung. Nampak Alfon tertidur lemas tak mampu menggerakkan anggota tubhnya. Ditemani kabel infus, tabung oksigen, dan obat-obatan, dia tergletak memandang ke depan yang penuh dengan harapan.
“Alfon, gimana keadaane?” tanya Pak Broto.
“Nggak papa Pak, cuman nyeri-nyeri sedikit,” jawabnya dengan suara pelan, “emm.. mana Bu Ikem?”
“Bu Ikem dari tadi ke kamar mandi dan belum kembali,” untai Safi, “coba saya cari dulu.”
Saat Safi membuka pintu tiba-tiba Bu Ikem datang dengan keadaan lemah dan pucat. “Maaf perut Ibu sakit.”
“Ibu nampak pucat Bu,” ujar Alin. “Kenapa tangan Ibu? Kok memerah,” tanya Alin saat melihat siku tangan Bu Ikem bagian dalam.
“Endaaak, Ini cuman digigit nyamuk.”
“Bu, Alfon minta maaf atas kejadian kemarin, saya nggak bermaksud membuat Ibu, Bapak, dan Alin menjadi sedih. Amin, anak yang kuat Bu, tidak seperti ku.”
“Hus, kamu ndak oleh ngomong kaya ngono. Kamu sama Amin sama-sama kuat, sama-sama anak Ibu.”
“Iya Bu.” jawabnya lirih.
Satu bulan sudah Alfon melewati berbagai macam terapi dan pengobatan. Jahitan-jahitan di kepalanya satu per satu menjadi rapi. Selama di rumah sakit keluarga dan sahabat bergantian mengunjunginya, termasuk Roni yang sempat kabur kala itu.
“Fon, gua minta maaf ya? Gua bener-bener takut.”
“Iya, nggak papa. Aku tau kamu paling parno kalo udah liat darah.” ujarnya sambil tersenyum bersama.
Akhir bulan ini, Alfon boleh meninggalkan rumah sakit. Dia berencana untuk mengunjungi keluarga Pak Broto bersama Roni dan Safi. Meskipun sudah sembuh, namun Alfon masih menyimpan pertanyaan besar yang ada pada relung hatinya. Yang membuatnya ingin mengucapkan beribu-ribu terimakasih, dan melakukan segala keinginannya. Yaitu pertanyaan siapa perempuan pemberi darah itu. Namun, sampai saat ini dia belum mengetahui orang tersebut.
“Assalamualaikum,” ucap Roni saat tiba di depan rumah Pak Broto.
“Waalaikumsalam,” jawab Bu Ikem. Saat dia membuka pintu rumahnya dia pun terkejut, “Nak Roni, Alfon, Safi, gimana kabare?”
“Baik Bu.”
“Mari silakan masuk.” Dia pun memanggil suaminya, “Pak, ono anak-anak kita iki, baru datang dari kota.”
“Oh, Iyo, piye kabare le? Udah sembuh?”
“Alhamdulillah Pak.” jawab Alfon.
“Bu, Pak, kita ke sini mau.. apa ya istilahnya, mau pamitan Bu. Ini kami bawa Oleh-oleh dari Kota,” terang Alfon sambil meletakkan oleh-olehnya di meja.
“Kok pamitan, kalian boleh sering-sering main ke sini.”
“Ya, kalo ada waktu luang Bu, kami pasti berkunjung kemari,” untai Safi.
“Pak, kami mau kemas-kemas barang dulu ya,” usul Roni.
Mereka bertiga masuk ke dalam kamar dan mulai packing barang-barang mereka. Saat Alfon hendak mengemas barang-barangnya tiba-tiba di menemukan kertas terselip yang kemudian jatuh di depannya. Dia pun mengmbil kertas itu dan di bacanya.

                                                                                                            Probolinggo, 12 Mei 2012
DONOR DARAH
Dengan ini kami beritahukan :
            Nama   : Ikem Nur Jannah
            Umur   : 48 th
            Alamat            : Desa Kertowono 89
telah mendonorkan darahnya pada hari tersebut di RSU Probolinggo.
            Terimakasih atas darah yang telah didonorkan semoga keikhlasan Anda akan menjadi amal yang bermanfaat.
                                                                                                Dokter RSU Probolinggo

                                                                                                dr. Alvian Wigunarto.
Setelah selesai dia membaca tersebut, dia segera berlari ke luar dan berteriak, “Bu Ikem,” Tangannya yang coklat muda seketika melingkar tuangkan dua cangkir teh hangat untuk kita.”
TAMAT

Saturday, February 15, 2014

Lelaki Penadah Hujan

(cerpen : romance)
Anak-anak kecil itu berlarian mengejar bola ke sana ke mari. Ada juga yang bermain boneka, atau pun balon udara. Sementara pasangan muda mudi bermesra dengan syahdunya. Tak mau kalah, juga manula yang bernostalgia dengan cucu-cucunya, menari, bernyanyi, dan bercerita. Sepertinya pelangi berserakan membasahi taman itu, hanya saja tidak pada satu titik. Di kursi biru di bawah pohon beringin itu.
Selalu. Tiap petang hendak berkunjung, lelaki itu selalu duduk di kursi taman. Sendiri. Dia hanya terdiam, dan sibuk dengan sejumlah pemikiran yang ada dikepalanya. Seperti orang yang kehilangan akalnya. Melamun. Dengan pandangan yang bertanya. Sesekali dia memperharhatikan orang-orang yang berkunjung di taman itu. Seolah mencari paras wajah yang silih berganti. Mencari di setiap sudut taman. Sepertinya tidak ada wajah yang dia tunggu kedatangannya sedari tadi.
Sesekali ia terpejam. Hidungnya terlihat mengembang tengah menghirup udara senja. ia pun memandang ke langit yang jingga. Mengamati tiap gores warna yang melebur bersama awan biru yang layu. Seakan bertanya kapan dia datang. Tapi, langit pun seakan menjawab, Dia tidak akan pernah datang untuk bersua. Dia pun kembali terdiam. Memandang jauh dalam kekosongan.
Wajahnya tampan, kulitnya pun bersih putih. Begitu mesra walau hanya sekedar dipandang. Banyak perempuan yang suka dulu. Dulu. Tapi... Malang.
Terkadang dia terdiam begitu lama. Sesekali dia membuka mulutnya dan komat-kamit sendiri. Seperti sedang berdialog dengan bayang halusinasi. Bibirnya pelan terbuka dan tertutup, mengulang naskah drama kisah lalu.
Rintik gerimis pun memulai hujan panjang sore itu. Sepasang mata terlihat bahagia menatap langit sendu. Bibirnya membentuk lembah yang indah. Giginya terlihat bersembunyi dibalik bibir merah darah. Nafas yang melalui tenggorokan terdengar dalam.
Matanya pun terpejam pelan. Angin dingin menyelimuti kulit tipisnya. Memberi kabar bahwa alam hendak bercerita kepadanya. Dia pun mulai hiilang. Jiwanya terbang merasuk bersama alam. Sukmanya mulai menyetubuhi gores alam. Jiwanya sudah benar-benar menyatu dengan alam.
Hujan yang turun pun dibiarkan secara sempurna membasahi seluruh tubuhnya. Kaos putihnya yang basah membuat tubuhnya terbingkai dalam genang air hujan. Petir pun memotret wajahnya. Menggelegar memekakan telinga.
Saat semua orang pergi meninggalkan tanah hijau ini, hanya dia yang bertengger di kursi merah itu. Setelah cukup lama, tiba-tiba hujan pun berhenti. Bukan. Petir masih menyambar, suara hujan yang menghentak pun masih memberi irama. Angin pun mengabarkan bahwa hujan masih akan terus berterjunan. Lantas, kenapa air tak memberi kejut pada tubuhnya?
Dia pun membuka matanya pelan. Ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dibalik matanya. Seseosok hawa berdiri di depannya. Matanya yang basah mencoba mengidentifikasi perempuan yang membawa payung berwarna biru. Data-data yang diperoleh membuat pupil matanya bereaksi cepat. Seperti ada kilatan yang menyulut matanya.
Ya, dia cantik. Rambutnya panjang mengombak. Matanya sayu. Kulitnya begitu putih dan bersih.
“Terimakasih,” ucapnya setelah perempuan itu memberikan payung.
“Kenapa kamu nggak berteduh?” Dia bertanya dengan wajah polosnya.
“Mm.. nggak apa-apa.” Pria itu enggan memberi jawaban kenapa dia hujan-hujanan.
Perempuan itu nampak khawatir, “Kamu nggak takut kalau demam.”
Dia tersenyum dan menggeleng pelan. “aku bersahabat dengan hujan.”
Tiba-tiba dia mengulurkan tangannya, “Ani.” Perempuan itu melambungkan namanya ditengah hujan deras. Lelaki itu tidak merespon, dia malah kembali memejamkan matanya. mungkin dia tak mendengarnya. “Boleh aku duduk?” Pinta Ani dengan suara yang lebih keras dari sebelumya.
Tanpa memperoleh ijin, Ani pun duduk disamping lelaki itu. “Kamu kenapa ikut hujan-hujanan di sini. Nanti kamu sakit.” Ujar lelaki itu melihat tingkah Ani membuang payung yang dipakainya tadi, dan duduk dismpingnya sambil menikmati hujan. “Sekarang kamu jadi basah kan?”
“Kenapa kamu mengkhawatirkanku?” tanya perempuan itu dengan tubuh yang basah kuyup. “Aku juga ingin bersahabat dengan hujan. Kamu mau mengenalkanku dengan hujan kan?”
Lelaki itu terdiam, matanya tajam menatap perempuan asing yang baru bertemu dengannya itu. Seperti hendak membaca makna dibalik mimik wajahnya. Ani malah tersenyum dan mengulang lagi mengenalkan diri “Aku Ani, A. N. I.” Iya mengejanya seakan-akan Lelaaki di depannya itu tak bisa mendengar dengan jelas. ”Ani.”
Lelaki itu pun membalas senyum itu dengan lekukan bibirnya yang tipis, “Aku Rendi.”
Pertemuan sore itu membuka pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Esok berganti hari, kemarin tinggal kenangan. Hari terus berputar-putar mencari sebuah akhir dari cerita mereka. Mereka pun mengukir kisah dalam bias waktu yang terus berjalan.
Beberpa kali mereka menghabiskan hari-harinya untuk sekedar ngobrol bareng, jalan-jalan, atau nonton film. Walaupun hubungan mereka belum jelas, tapi mereka terlihat sangat mesra. Walaupun sebenarnya tidak ada yang tahu, apakah kemesraan yang nampak di luar semesra di dalam lubuk hati mereka. Tak ada yang tahu.

Sepertinya kisah bertepuk sebelah tangan itu tidak hanya terjadi pada lirik-lirik lagu yang disenandungkan remaja-remaja jaman sekarang. Begitu pun dengan kisah drama mereka. Terlihat jelas dari gelagatnya, hati Rendi tak pernah menganggap kemurnian kasih Ani. Semua hanya terlihat seperti melukis dengan tinta hitam pada kanvas hitam. Tidak membekas sama sekali di kotak hatinya.
“Kamu tahu, aku sudah mengamatimu sejak lama,” gadis yang periang itu mulai bercerita.
Di kafe dekat taman itu, mereka berdua duduk dalam obrolan sederhana. Pernak-pernik yang penuh warna, dengan berbagai propertis populer khas anak muda. seroang pelayan datang dengan membawa pesanan mereka. “Makasih mas.”
 “Aku heran melihatmu, tiap sore Kamu pasti duduk di kursi itu dan diam begitu saja. Sebenarnya apa yang kamu lakukan?” perempuan itu mulai mengorek infromasi dari Rendi. Tapi Rendi enggan memulai bicara, ia malah mengambil roti bakar dan mulai mengunyahnya. Ani pun turut serta memakan menu yang tergeletak di depan matanya.
“Kamu suka roti bakar?” tanya Ani lagi yang tiada lelahnya mencoba mengambil perhatian dari lelaki yang disukainya itu. Rendi hanya mengangguk dingin.
Perempuan itu pun tak mau kalah dengan sikap acuh lelaki di depannya itu. Ia terus berusaha memancing perhatian dari Rendi, umpan berganti umpan, ia mencoba terus dengan tulus yang ia berikan. Namun, Rendi hanya memberikan sebatas respon yang mengambang. Membuat hati Ani melilit tak karuan. Mungkin memang begitu wataknya, Ani berusaha mendinginkan hatinya.
“Aku suka sama kamu loh.” Tak disangka, kata itu muncul begitu saja dari mulut Ani. Rendi pun terkejut beberapa saat, namun dia berhasil mengendalikan dirinya.
“Kenapa kamu suka sama aku? Apa yang kamu suka dari aku?”
“Kamu itu aneh, baik, misterius, aku suka itu.” Ani memaparkan jawabannya dengan sekasama, Rendi pun mengamati bibir Ani yang terbuka dan tertutup, mengamati mata yang mendektekan sebuah kisah. “ya, aku suka aja.”
Tak berhenti di situ, Rendi mengamati lagi rambutnya yang hitam mengkilat, pipinya yang bulat berisi, alisnya yang tipis, hidungnya yang menjulur, giginya putih tertata rapi bersembunyi dibalik senyumnya, telinganya yang masing-masing digantungi anting emas itu. Bahkan paras wajah, hingga hangat nafasnya. Seakan semua berbicara, memberi kabar pada Rendi tentang satu hal. Satu hal.
“Kamu kenapa? Ada yang salah dengan wajahku?” tanya Ani merasa risau dengan sikap Rendi yang tiba-tiba melihat dengan sedimikian rupa. Rendi pun menggeleng, beringsut seperti maling yang kepergok sedang beraksi. “Kamu memang aneh, haha” tawa ani pun mengambang di udara.
Tiba-tiba sosok lelaki yang terlihat aneh di depan Ani hilang begitu saja. dia kabur berlari meninggalkannya dalam tanda tanya. Seakan melihat hantu yang sangat menakutkan. Tidak, bahkan lebih mengerikan dari itu.
Ani pun mengejarnya. Dia berusaha mengikuti bayangan Rendi yang begitu cepat tertelan. Sia-sia dia menghilang.
Sungguh gambar yang menyisakan tanda tanya besar. Tak pernah Rendi seperti ini sebelumnya. Apa dia terkajut aku mengatakan cinta, Apa dia masih cinta dengan kekasihnya, Apa dia? ‘ Berjuta pertanyaan menggenangi kesadarannya. Namun tak satu pun yang bisa terjawab. Di sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa hati ani masih terperangkap dalam sosok Rendi.
Sejak kejadian itu, Ani tak pernah bersua lagi dengannya. Ada sedikit rasa bersalah yang melingkar di relungnya, tapi dia benar-benar tidak tahu sebab apa Rendi tak lagi muncul. Bahkan di kursi biru di bawah pohon beringin tempat biasa Lelaki usia dua puluhan menikmati hujan.
Mendung pun kembali meradang. Awan yang sedari tadi biru, seketika lenyap kelunturan awan hitam. Rasa-rasanya sudah tak kuat menahan beban air yang telah menggumpal itu.
Benar saja, Langit pun menangis melihat kegundahan hati Ani. Percik air melahap rerumputan yang kering. Melumat keramaian jalan yang memekakan telinga.
Ani pun terduduk lemas, merasakan tiap tetes air yang menusuki kulit ari. Angin yang tertiup pun mengatupkan kedua matanya, membelai tiap helai rambutnya, Bahkan menggores kulit kepalanya.  Semua itu membuat hatinya yang memar, sejuk seketika.
Aroma tanah yang mengudara menggelitik otak dan kesadarannya, menyamarkan luka yang menganga. Menyelipkan selimut yang membelit kehangatan.
Semua sungguh terasa nyaman.
Hujan yang semakin deras pun semakin membuat ia terlarut di dalamnya.
Aneh. Tiba-tiba hujan pun berhenti. Bukan. Petir masih menyambar, suara hujan yang menghentak pun masih memberi irama pada detak jantung. Angin pun mengabarkan bahwa hujan masih akan terus menyerang. Lantas, kenapa air tak memberi kejut pada tubuhnya?
Ani pun merasa terusik ketenangannya, ia pun membuka matanya dan...
“Rendi?” Ani kaget tidak kepalang, sesosok laki-laki yang sangat ia sukai, yang sudah sekian lama menghilang tak ada kabarnya, yang juga tidak pernah disangka kedatangannya?
Dengan payung yang ia gunakan itu untuk memayungi mereka berdua. “Rendi?” paras wajah laki-laki itu menolak diri dipanggil dengan sebutan itu. “Namaku Reza.” ia pun tersenyum manis.
“Kamu nggak takut sakit?”
Ani pun masih menganga dengan sosok yang dia pikir adalah Rendi, “Kamu bukan ...” ia pun mengurungkan kalimat yang hendak keluar begitu saja. Dia malah memilih kembali menutup matanya dan membiarkan laki-laki yang menyebut dirinya dengan nama 'Reza' itu.
“Aku nggak akan sakit.” Ani pun tersenyum dalam pejamnya, “Karena aku bersahabat dengan hujan.”


Pekalongan, Januari 2014