Tuesday, April 29, 2014

MAWAR 13


Meskipun aku selalu sendiri, tapi aku tidak pernah merasa sendiri. Karena kalian mewarnaiku dengan tingkah-tingkah lucu kalian. Terkadang menyenangkan, terkadang membanggakan, seringkali menjijikkan.
Kau tidak pernah benar-benar tahu tentang rahasia seseorang. Barang kali kau hanya melihat apel merah sangatlah segar dan manis, namun bisa jadi dalamnya masam. Bahkan mungkin sekali mangga yang gelap, keriput dan terlihat membusuk, dalamnya enak sekali. Berhati-hatilah dengan pikiran pikiran pendekmu yang bisa membuat jiwamu kerdil dalam menilai sesuatu. Karena kau tidak selalu tahu, dan aku ditakdirkan untuk selalu tahu. Tapi ingat, aku bukan Tuhan. Aku sama seperti kalian, hanya ‘sedikit’ berbeda.
TIga tahun terakhir ini aku sedang tertarik dengan salah satu temanku. Bukan, Bukan teman tepatnya. Aku mengenalinya, tapi dia tidak pernah mengenaliku. Dan Aku pun tidak pernah berharap dia mengenaliku. Namanya Dini. Aku mendengar semenjak pertama kali dia datang dengan wajahnya yang amat lugu, cantik, dan menarik.
Pada malam itu, aku melihat dia datang dengan pakaian yang amat indah, seindah wajahnya. Kain tipis bercorak bunga itu meliuk mengikuti bentuk tubuhnya yang padat. Pakaian yang dikenakannya sempurna membuat mata lelaki mana pun tak mampu berkedip.
Di depan cermin yang besar itu, gadis itu mewarnai bibirnya dengan gincu merah muda. Meratakannya sampai ke sudut-sudutnya. Menebalkan alisnya, dan menghias wajahnya dengan blash on ungu. Parfum pun membuat aroma menyeruap dalam tubuhnya. Ia pun menyisir rambut panjagnya dengan amat hati-hati. Seakan hari itu adalah hari yang sangat penting baginya.
Sempurna. Gadis dua puluh tahun itu terlihat amat sangat cantik. Tak bosan kiranya berlama-lama memandangi wajahnya. Seperti berada di taman bunga di musim semi. Begitu Sempurna.
Hari ini adalah hari yang amat sempurna, karena hari ini adalah ...
Tiba-tiba sebuah tangan mendarat di pundaknya. Tangan laki-laki yang nampak di sudut pandangannya membuat kaget, ia menoleh dan didapatinya lelaki berusia tiba puluh tahunan.  Mirip seseorang tapi asing. tidak ada dalam memorinya. Dia mencoba mengingat-ingat tapi kosong. Wajahnya terlihat tampan rupawan, perawakannya pun juga bidang. Enak di pandang.
Dini pun menatap pria itu lamat-lamat. Hormat, agak takut, dan lama-lama menjadi takut. Pria itu nampak dingin. Sepertinya benar-benar paham kalau perempuan di depannya ini belum pengalaman. Seperti ingin memberi kesan pertama yang tak terlupakan. Lelaki itu pun duduk di sebelah Dini. Dini pun terlihat grogi, keringat dingin mengembun di kening dan leher.
“Namamu Dini?” Lelaki berkumis tipis itu membuka lembar percakapan dengan amatiran yang kaku itu. Dini tidak menjawab. Semakin takut dan gugup. Ia menelan ludah dan hanya mengangguk sekenanya.
“Aku sempat bertanya-tanya pada Romilah tentang mu.” Dini pun menatap lelaki itu meyakinkan, “Tenanglah, kamu tak perlu takut denganku. Kita akan menjadi teman yang baik.”
Kali ini Dini menunduk lebih jelas dengan kata “Iya Tuan,” dengan nada yang amat lirih, hampir tak terdengar. Lelaki itu pun mengangkat kepalanya dan menatapnya, “Panggil saja Reza.”
Tanpa basa-basi. Lelaki yang menyebut dirinya sebagai Reza pun memulai level yang lebih lanjut. Dibelai-belai pipinya dengan lembut dan penuh kehangatan. Begitu pula dengan rambutnya yang nampak mengombak. Reza pun mendekatkan bibirnya pada perempuan itu. Tapi salah, Dini mengelak dan ragu. Dia masih gugup dan terlihat amat amatiran.
Reza pun hanya tersenyum, seakan memberi kode, kamu pasti bisa melakukan tugas ini dengan baik. Dan yang kedua kalinya, Dini pun melemahkan tubuhnya, berpasrah menikmati alur kisah panjang malam itu. Kisah yang membuat harta berharganya ditelan harimau yang kelaparan. Dan apa yang terjadi malam itu, terjadilah.
Lagi-lagi aku hanya melihat, aku mendengar, dan aku meraba apa yang ada di balik hati kedua laki-perempuan itu.
***
Dan waktu tak akan berhenti untuk menunggu apa pun. Dia akan terus menggiring takdir menuju pada jalurnya. Begitu pula dengan nasib gadis yang sedang duduk itu. Sebulan sudah perempuan mungil itu nampak lebih percaya diri dalam tiap aksinya. Hampir tiap dua-tiga hari sekali tamu favoritnya selalu datang berkunjung. Ia selalu memprioritaskan tamu utamanya itu dibanding dengan tamu-tamu yang lain. Dia selalu memepersiapkan segala sesuatunya sesuai dengan kesukaan Reza. Dari mulai parfum, Sprai, pakaian, lilin, buah, sampai camilan kecil pun sengaja dipilih sesuai kesukaan Reza. Mungkin dia mulai jatuh cinta. Mungkin, mungkin juga tidak.
Setahun sudah Dini memainkan perannya di atas ranjang dengan amat memuaskan. Hampir setiap laki-laki yang selesai bermain dengannya akan merasa bahagia, puas, dan kelelahan. Dan hubungan mereka pun semakin dekat, Reza dan Dini. Mereka tidak hanya sekedar teman pemuas malam, tapi Reza pun sepertinya mulai menikmati gatar yang berirama dalam dadanya. Begitu pula dengan Dini. Reza kerap sekali menceritakan tentang kisah kecilnya, kehidupannya, dan apa pun yang ingin ia ceritakan. Sama halnya dengan Dini, dia menceritakan saat masih bersama teman-temannya bermain petak umpet, masak-masakan, rumah-rumahan, dan berbagai keceriaan yang lain. Tapi mereka berdua belum pernah menceritakan kenapa mereka berdua berada di tempat ini.
“Kamu kenapa menangis?” Tiba-tiba suara itu mengagetkan Dini yang tengah tersedu sedan. Ia pun mencoba menghapus air matanya, mencoba tersenyum seakan sedang tidak terjadi apa-apa. Tapi percuma, belaian lelaki itu semakin menambah debit air matanya. Ia semakin tak kuasa mengendalikan emosinya. Bahu Reza pun kebas oleh air mata Dini. Tidak biasanya Reza datang berkunjung siang bolong begini.
Ketika hati mulai tenang Reza memulai kembali perbincangan itu, “Ceritakan saja, barangkali hatimu akan lebih lapang.”
“Bapak meninggal mas. Tadi pagi.”
Dini pun memulai kisahnya dengan kisah-kisah sederhana, ayah, ibu, adik, semua menjadi tokoh utama dalam ceritanya. “Bapak stroke. Tejo, Yuni, adik- adik saya terancam putus sekolah mas. Ibu saya tidak bisa berbuat banyak, untuk makan saja dia dapat dengan menghutang sana-sini. Bagaimana pula dengan biaya perawatan Bapak. Saya melihat ibu sering melamun tiap saat, entah apa yang dilamunkannya. Menatap kekosongan. Saya rasa Ibu sangat tertekan, banyak pikiran mas. Dan aku, apa yang bisa aku lakukan? Aku hanya buruh di kampung, tidak banyak yang saya dapat untuk itu mas. Hanya tiga puluh ribu per minggu.” Dini pun berhenti sejenak dan menatap lelaki yang ada di depannya, “Dan akhirnya saya ...”
“memutuskan untuk ini.” Reza pun menarik kesimpulan. Dini mengangguk lemah, merasa tidak berdaya sama sekali.
“Kamu tak perlu menyesal dengan apa yang telah kamu putuskan Din. Kau tidak lebih buruk dari mereka yang merasa benar dan suci. Kau tidak lebih buruk dari mereka-mereka yang buta dengan orang-orang sepertimu.” Reza menarik nafas untuk kata-kata berikutnya, “Aku mengenal kamu sejauh ini Din, aku tahu hatimu tidak lebih buruk dari orang-orang di luar sana. Mereka hanya memandangmu sebelah mata tanpa pernah mereka sadari mereka lebih hina dari pada kamu.”
“Kenapa Mas berkata demikian, Mas juga datang ketempat kotor ini.”
Reza pun tersambar, tersindir harga dirinya diusik. “Aku punya istri, dan kami belum punya momomngan. Tapi bukan karena masalah itu aku datang padamu tiap malam. Dia tidak pernah mencintaiku, dia tidak pernah menghormatiku sebagai suami. Tak pernah dia memberikan waktunya untuk menemaniku. Tidak. Dia hanya sibuk dengan perhiasan-perhiasannya, dengan teman-temannya, dan entah dengan apa aku tak mau peduli. Dia tidak pernah mencintaiku, dia hanya mencintai hartaku saja.” Emosi pun beranjak tak stabil, “Aku tak kuat. Aku tak bisa berlama-lama se atap dengan manusia macam dia. Dan ... ” dialog pun terhenti untuk kata-kata terakhir, “pengadilan mengesahkan perceraian kami pagi tadi.”
“Maaf mas,” Dini pun memegang tangan reza. Perbincangan siang itu terhenti. Hanya sajak air hujan yang mengiringi siang yang semakin membisu. Dan mereka pun tertidur. Hanya tidur, tidak terjadi apa pun.
Esok pun datang bersua. Ketika sang fajar masih menguasai langit, dua laki-perempuan itu tengah bersiap-siap untuk pergi ke sebuah tempat. Nampaknya ada kesepakatan yang mereka buat semalam. Mobil avanza melaju ke arah timur, sebuah kecamatan terpencil di sudut surabaya. Mereka berencana melakuan takziah atas meninggalnya ayah Dini. Bagaimana aku tahu? Karena aku mendengar percakapan mereka semalam. Tapi entah apa yang dilakukan di sana?
**
Nampaknya perjalanan seminggu yang lalu berjalan lancar, meskipun terlihat ada air mata yang membuncah tapi semua masih dalam kendali. Hari ini terasa berbeda. Aku merasa akan ada kabar gembira.
Seperti biasa, Dini memoles tubuhnya dengan berbagai make up. Blash on, lipstik, foundation, bedak, maskara, eye shadow, dan eye liner. Dengan baju terbaiknya yang membalut tubuh sampurnanya. Menggunakan parfum yang mengikat penciuman. Sempurna seperti gadis yang masih perawan.
Datanglah dari mulut kamar ini seorang laki-laki dengan kemeja hitam, jas putih, dengan dasi kupu-kupu melingkar di lehernya. Dengan setangkai bunga mawar merah tergenggam penuh makna. Ia segera datang mendekat berlutut di depan perempuan itu. Setangkai bunga mengiring kata-kata indah dari mulutnya.
“tapi bidadari pun menunduk malu melihat kecantikan hatimu yang menyejukkan hati yang lain. Tak ada laki-laki yang mampu menahan getaran cinta yang terpancar dari dalam.” Reza pun mengambil sebuah kotak yang ada di sakunya dan mengeluarkannya. “Perkenankanlah lelaki bodoh ini untuk mempersunting perempuan surga di depan mataku ini.”
Kaget. Dini terlihat amat terkejut dengan lamaran Reza. Dia tidak beraksi apa-apa. Dia hanya manatap mata Reza dalam. satu detik, dua detik, tiga detik, hingga dua menit. Dan tidak terjadi apa-apa. Waktu yang amat sangat panjang bagi lelaki yang amat mengharap anggukan atau kata ‘Ya, aku mau mas’  dari mulut perempuan itu.
Apa yang terjadi? Perempuan itu menangis. Keringat dingin berkucuran di mana-mana. Membalikkan pandangannya dari laki-laki yang dicintainya itu. Tapi kenapa? “Kenapa Din? Apa aku terlambat? Apa sudah ada yang melamarmu? Atau aku terlihat buruk di matamu?”
Perempuan itu hanya tergugu dalam tangisnya. Sampai kata-kata yang amat getir pun muncul dari bibirnya. “Saya, saya positif  HIV
Hening. Kamar ini menjadi hening. Rasa-rasanya ada tanah longsor dibalik dada. Kedengaran sampai sini gemuruhnya. Aku merasa sungkan melihat pemandangan ini. Biarlah mereka bersedu sedan meratapi skenario indah oleh Sang Sutradara. Setidaknya mereka punya cinta, bukan hanya sekadar uang dan tubuh. Mungkin keajaiban cinta dapat membuat masalah itu menjadi kabur, syukur-syukur lenyap. Yang jelas ada ketulusan di antara kedua lakii-perempuan itu, tidak seperti orang-orang sebelum mereka. Sungguhlah, dunia ini terlalu sempit jika hanya dilihat dari satu sudut mata saja. Karena memang manuisa lebih dari satu.
Lantas, bagaimana nasibku kini? Biarlah aku dan bayanganku tetap menjadi saksi hidup anak manusia. Di tempat ini. di kamar Mawar 13.
#end