Wednesday, October 1, 2014

http://blog.tetapsemangat.net/2014/09/sebaris-tawa-penebar-cahaya-2/#comment-547

Silakan dibaca

Friday, September 19, 2014

Sepatu Cinderela Nakula



Malam itu adalah seperti malam biasa. Sama halnya dengan malam yang kemarin, atau kemarinnya lagi. Seperti biasa, manusia-manusia itu berbaris rapih. Mengikuti seremonial malam apel di asrama itu. Sungguh malam itu berjalan biasa. seperti hari-hari biasanya. Penuh penghayatan.
Namun semua itu berubah, saat seseorang menyebut-nyebut namaku. Memanggilku dan meletakkanku pada kursi panas. Panas sekali. Mereka semua memandang tajam. Sementara aku mengecil dan semakin kerdil dengan mata-mata dibelakang tengkuk ku yang terus menodong.

Aku sendiri semakin bingung. Adakah terselip kesalahan yang sampai aku sendiri tak sadar akan itu. Adakah coretan yang membuatku berada pada kursi panas ini. Ah, sungguh panas sekali. Jantungku semakin kencang saja berpacu. Bulir keringat mulai mengumpal, melelh di kening dan leherku.
"Apa saja yang Kau lakukan hari ini?"
"Apakah bisa Kau banggakan?"
Bertubi-tubi pertanyaan sulit ditembakkan ke arahku.
sedang aku hanya diam. Tak bisa menjawab akan pertanyaan mematikan itu. Megap-megap.

Sebuah kotak hitam berbaju kain sarung disodorkan lurah padaku. "Ini amanah"
Kubuka perlahan-lahan, dan ternyata.. Meledak!! Sungguh hatiku meledak-ledak, seperti gunung dengan lahar yang meletup-letup. Seketika mulut tak mampu digoyang, diam. Tak sanggup lagi merangkai kata.

Sebuah sepatu hitam mengkilat. Lebih hitam dari kulitku. Dikenakannya pada kakiku yang kurus itu. Persis adegan-adegan cinderela yang sering orang tua ceritakan pada anak-anaknya.
Semoga kaki ini bisa membersamai sepatu itu dalam jalan yang diridhoi Allah. membawa sepatu itu dalam memperjuangkan Agama Allah, juga tanah air tercinta ini.

Sungguh aku tak pandai bersilat lidah, aku hanya merasa pedalamanku teramat sejuk akan kata cinta yang tak pernah terucap, tapi nyata akan makna. Semoga aku bisa membalas semua kebaikan dan ketulusan teman-teman sekalian. Dengan tanganku, dengan kakiku.

SUngguh betapa JAHATnya kalian yang tiada hentinya menarik ulur hati ini. Tiada KEJAHATAN yang bisa kulakukan untuk membalas semua itu.
Sungguh, aku mengambil banyak pelajaran di rumah oranye ini. Aku belajar menganai arti kata sederhana, "keluarga".

Yah, keluarga tidak selalu harus terpaut darah. Melainkan terpaut akan hati. Semoga doa yang terselip dalam sepatu cinderella ini benar-benar tiada yang meleset. Karena Allah Maha Melihat lagi Maha Mengetahui.

Terucap cinta dariku.
butiran debu yang berjuang menjadi intan.

Wednesday, July 23, 2014

KAMIS PERTAMA



(lanjutan dari cerpen HARI INI HARI RABU)
Sungguh. Bukan karena fisik aku menjauhinya. Bukan karena wajahnya aku mengacuhkannya. Bukan pula karena harta aku menghindarinya. Aku suka. Aku suka Lanang. Tapi, tapi ada yang mengganjal pada hatiku. Dan aku pun kesulitan untuk mencari tahu apa itu.
Bukannya sombong, tapi beginilah diriku. Kebetutlan sekali Tuhan menitipkan padaku paras yang amat cantik. Tubuhku dibalut dengan kulit khas jawa yang kuning lasngsat, lembut lagi halus. Rambut pekat hitam yang menggulung ombak menjadi mahkota dikepalaku. Ditambah lagi kecerdasanku yang menyetarai Einsten. Bukannya melebih-lebihkan, tapi beginilah adanya aku. Gelar mahasiswa berprestasi pun kusabet. Bahkan sering diundang pada berbagai acara sebagai pembicara utama. Tuhanlah yang berlebih-lebihan memberikan nikmatnya padaku. Apa bisa kukata? Hanya syukur yang sanggup terucap.
Tiada bisa dibantah. Kesempurnaan hakikatnya adalah milik Tuhan bukan? Banyak yang berfikir bahwa aku bahagia dengan segala ‘pernik’ yang melekat padaku. Banyak yang berfikir betapa beruntungnya menjadi sepertiku. Banyak yang bercita dan berkejaran untuk menjadi sepertiku. Tidak sedikit pula laki-laki yang mencintaiku? Tapi untuk apa?
Ada yang cacat pada diriku. Dan kau perlu tahu.
Sudah puluhan macam jenis laki-laki yang tertarik padaku, mengajakku kencan, mengajak jalan, dari yang berparas tampan, sedang, hingga pas-pasan. Dari yang beruang, sampai yang berutang. Tak ada satu pun yang membuatku tertarik. Mungkinkah hatiku terlalu keras? Apakah aku seorang lesbian? Bodoh..!! Aku pun tak pernah tertarik dengan perempuan. Apakah hatiku benar-benar mati rasa?  Atau memang perasaanku tidak mampu menangkap sinyal yang dipancarkan oleh orang lain.
Dan kau tahu? Aku tidak bisa merasakan bahagia seutuhnya. Dunia ini terasa hambar dengan segala pesolek di dalamnya. Seperti ada syaraf yang pincang dan tidak bisa mentransfer kebahagian dilingkunganku hingga menembus tepat di jantungku. Dan aku harus bagaimana?
Lanang. Laki-laki yang sempat mebuat pikiranku lelah dibuat olehnya. Lelah dengan segala tingkah konyolnya, tingkah ekstrimnya, dan tingkahnya yang selalu menyisakan tanda tanya. Kau tahu? Aku tidak pernah bisa melupakan pertemuan lucu itu.
“Hai kamu?” suara cemprengnya lebih buruk dari kuda yang tertawa. “Nama kamu siapa?” Aku yang sedang jogging di bouluvard merasa terganggu dengan kedatangannya yang tiba-tiba dan sungguh menyebalkan. Aku pun terhenti. Kuusap keringat yang bercucuran pada wajah dan leherku. Kutampakkan wajah yang angkuh dan tidak bersahabat. Wajahnya yang pas-pasan membuatku ingin segera enyah dari hadapannya.
Setangkai mawar merah pun melesat di depan ku. Aromanya yang khas menelusup hidungku. “Kamu mau nggak jadi pacarku?” Demi Tuhan! Makhluk apakah yang sedang menguji diriku ini. Bantulah hamba minggat dari makhluk ini. Buat aku pingsan Tuhan. Aku pun ketus melihatnya, al hasil dia malah tersenyum. Aku pun menghindar dan kabur darinya.
Begitulah kesan bodoh yang membuat hidupku sedikit berbeda. Yang awalnya abu-abu kini mulai muncul bercak pelangi. Entah bagaimana ceritanya kita bisa dipertemukan dalam ruangan. Waktu itu aku diundang sebagai pengisi di acara talkshow salah satu kegiatan mahasiswa di kampus, dan kebetulan atau kesialan, Lananglah moderatornya.
“Maaf mbak Jasmine, sudah lama menunggu?” seorang yang sudah lama kutunggu pun datang dengan tanpa rasa bersalah atas keterlambatannya.
“Iya, mas. Nggak masalah.” Dan ketika aku melihat wajahnya yang menurutku jelek itu membuat nafasku seketika berat.  “Kamu..!!”
“Iya Mbak? Udah ingat saya?” dia pun duduk sambil menyalamiku. Kujabat tangannya yang terulur. Aku pun masih bingung dan kaget dengan kedatangannya,
“Kok kamu bisa di sini?”
“Iya Mbak, demi mendapatkan cinta mbak Jasmine, saya rela ngejar-ngejar mbak hingga ke ujung dunia pun.” Mulutnya pun mulai berkowar tak tahu malu. “Gimana mbak dengan tawaran  saya tiga hari lalu? Mau jadi pacar saya?”
Aku pun mulai naik darah, rasa-rasanya ingin menumbat mulut bocornya yang seenaknya berkata.  Senyum palsu pun kupaksakan menenggealamkan wajahku yang mulai berkerut emosi. “Nggak harus dijawab sekarang kok mbak Jasmine.  Kita bahas materi talk show aja.”  Dia pun nyengir seperti kuda.
Obrolan pun melelehkan kebekuanku. Ternyata memang dia agak gila, nggak punya malu, dan memang suka bercanda. Jadi kusimpulkan secara dangkal bahwa dia hanya bercanda mengenai tingkah dan kata-kata konyol yang membuat darahku terpompa.
Namanya Lanang, seorang editor di salah satu surat kabar di Yogyakarta. Banyak sedikit, cerita pengalaman hidupnya memenuhi ruang imajinasiku. Bagitu juga denganku, dia antusias sekali dengan setiap sketsa yang kususun dalam kata-kata. Aku rasa tidak masalah ketika menjadikannya temanku. Lucu dan menyenangkan.
Pendek cerita, kita jadi sering ngobrol bareng, makan bareng, sesekali juga jogging bareng dikala ada jadwal senggang yang sama. Dan waktu itu aku lupa dengan kondisi hatiku yang kemarin sedang tertidur. Dia terabaikan.
Dua bulan. Bukanlah waktu yang lama untuk mengenal, tidak juga terlalu cepat untuk mengetahui. Tapi bagaimana dengan satu hal yang mengguncang?
“Jasmine, Kamu mau kan bertunangan denganku?” Toba-tiba lanang bertekuk di depanku. Lucu. Hampir setiap hari Lanang menyatakan kalimat basi itu dihadapanku. Hanya saja ini berbeda, tunangan‘. Aku pun hanya bisa tersenyum, menghormati usahanya untuk membuatku tersenyum.
“Haha, gimana proyek kamu kemarin Nang?” aku mencoba mengalihkan. Namun ternyata salah, wajahnya tegang menyorot pada mataku. “Nang..?” Aku mencoba memastikan Laki-laki ini hanya sedang bercanda. Aku pun mencoba membalas tatapan matanya. Benar. Kali ini dia serius. Dia mengeluarkan cincin dari sakunya. Memegang tanganku yang lemas karena semua kejutan ini.
Apa? Dia serius? Dia serius dengan semua ini?
“Aku benar-benar telah menetapkan hati ini pada satu nama. Kau Jasmine. Sejak mata ini tepat jatuh pada matamu.”
Kutangkis cincin yang berada tepat diujung jari manisku. Menggelinding. Begitu juga butir air mataku yang tiba-tiba menggelinding dari cangkangnya tanpa aku sadari. Kenapa aku menangis? “Maaf Nang. Aku belum bisa.” Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dia tersenyum.
Hari ini hari Rabu. Sebuah rumah sakit jiwa di magelang yang berdiri megah itu menjadi tempat kunjungaku pagi ini. Ditemani seorang Tante Anisa, kami hendak menjenguk sahabatku Shelly. Sudah lima tahun dia mendekap di pondok itu. Tiga tahun lalu dia adalah gadis cantik juga cerdas. Dia adalah sahabtku. Dan karena sesuatu yang disebut CINTA-lah yang membuatnya menjadi demikian. Tiga tahun lalu dia mencintai seorang laki-laki bernama Fiksi, sahabatku juga. Mereka saling mencinta, tapi tak ada yang berani membuka pintu terlebih dahulu, hingga Fiksi, menutup pintunya untuk selama-lamanya. Dia meninggal di hari pertunangannya. Dia sudah mempersiapkan dengan matang kejutan pertunangannya itu. Aku pun membantu sedikit menyiapkan karangan bunga untuk Shelly kala itu. Hingga pada akhirnya kami menunggu hingga malam telah pergi. Sampai kabar kematianlah yang kami dengar. Bagitulah akhir dari cinta yang dikandung sahabatku, Shelly.
Lantas bagaimana denganku? Aku sendiri belum paham betul dengan cinta. Sepanjang perjalanan aku hanya melamun, sibuk dengan pedalamanku yang terus menderu. Mempertanyakan kesungguhan rasa yang ada dibaliknya. Bagaimana bisa? Aku belum mengenal cinta sebelumnya? Bagaimana aku bisa mengindikasi apa itu cinta? Yang aku tahu, hatiku terasa sesak dan penuh dengan teaterikal kemarin malam.
Sampai di sana, Shelly pun datang dengan seorang suster. Dia nampak pucat dan kurus, mungkin susah makan. Matanya bergerak mencari lelaki yang membuatnya seperti ini. Sungguh tak kuat hati melihat sahabatku ini terpenjara dalam dunianya yang penuh fatamorgana. Shelly pun mengamuk karena orang yang diharap kedatangannya tak juga dijumpa. Aku pun memeluk erat tubuhnya yang mulai tak terkendali. Air mataku mengalir tak terbendung lagi. Seakan lupa dengan Lanang dan segala rayuan gombalnya. Dalam hitungan satu-dua-tiga-empat perempuan ini lumpuh dalam pelukanku, setelah jarum tertusuk padanya. Ada perasaan hangat yang hadir dalam dadaku. Mengenalkan sebuah rasa yang amat besar dan mendalam. CINTA. Sama dengan apa yang kurasakan terhadap Lanang.  Jadi inikah yang namanya cinta?
Sebuah pesan singkat tertulis di layar ponselku. Lanang.
Maaf atas kelancanganku.
Perkenankanlah diriku untuk mendapat maaf darimu.
 Ada sesuatu yang harus aku sampaikan.
Kalau tidak keberatan, kutunggu di taman pelangi, kamis, jam tujuh malam.

Kamis malam ini berbeda dengan kamis lainnya. Meskipun belum yakin betul dengan perasaanku, tapi laki-laki bernama Lanang berhasil mencoret-coret lembar hidupku dengan berbagai warna tinta. Gadis seusiaku merasakan jatuh cinta yang pertama kalinya. Seperti ABG telat saja. Tak apalah, aku rasa aku sudah siap dengan apa yang akan dikatakan Lanang. Lamaran itu, aku rasa sudah Jari manisku siap menjadi tempat bersemayam untuk cintanya. Ya. AKU SIAP.
Lima menit sudah menanti, Lanang datang dengan perempuan yang cukup cantik.
“Kenapa dia tidak kau ajak ke sini?” dengan polosnya kutanyakan pertanyaan itu.
“Ah, tidak masalah hanya sebenatar saja.”
“Ajaklah adikmu ke sini, kenalkan denganku.” Lanang hanya tersenyum padaku. “Biarkan dia di sama saja.”
“Ada sesuatu yang ingin kamu katakan Nang? Maaf soal yang kemarin.”
“Tidak masalah, aku menghormati keputusanmu. Karena memang cinta tidak pernah bisa dipaksakan.” Ada kata-kata yang mengusik kecepatan detak jantungku. “Kau memang tidak pernah bisa mencintaiku.” Lanang pun memfonis perasaanku dengan seenaknya. Namun dia tak memberiku kesempatan untuk membuka mulutku. “Maaf atas semua kebodohanku yang pernah mencintaimu.”
Degup jantungku semakin kencang saja, semakin berat saja syaraf untuk membuka mulut ini. “Dan kau tak perlu khawatir. Aku tidak akan pernah lagi memintamu untuk menjadi pacarku.”
Nafasku terasa berat. Nyawaku seperti hendak melayang. Aku berusaha fokus, tapi gagal. “Bulan depan aku menikah.”
Petir..!! Halilintar..!! Ledakan bom..!! Semua jatuh tepat pada inti jantungku. Meledak membuat syaraf air mataku... Tidak!! Aku harus menahannya. “dengan dia, Namanya Anita.”
“hahaha,, Bagaimana Jas? Kau senang kan? Akhirnya ada juga yang mau dengan orang jelek sepertiku.” Aku masih saja mematung melihat matanya yang berkaca-kaca bahagia. “Sebagai sahabatku, kau harus bahagia Jas. Iya kan?”
“Hahahaha.. ” tawa pun meledak menyembunyikan nanar yang membara. “Aku senang sekali.” Entah bagaimana wajahku, aku tak bisa membayangkan.
“Mungkin terlalu cepat. Bukan berarti aku main-main denganmu kemarin. Itu beneran. Tapi aku juga tak bisa memungkiri. Setelah tiga bulan kau menolakku, anita datang dengan segenggam cintanya yang genap dan tulus. Dia temanku sejak SMA. Lagian wanita sesempurna dirimu memang tidak akan pernah mencintai laki-laki bodoh sepertiku.”
“Tapi terimakasih, ada banyak cerita yang telah terekam dalam bingkai kisah hidupku Jas.”
Rasanya berat sekali melebarkan senyum yang tulus dari bibir yang membiru ini. Aku harus memaksanya untuk tersenyum.
Kaki-kaki manusia itu perlahan menjauh dari pandanganku. Dunia menjadi kelabu, tanpa warna, tanpa suara, tanpa aroma. Air mata itu akhirnya sukses meluncur pada pipiku. Deras.
Biarkan saja, jarum-jarum ini merajam jantungku. Aku tak ingin menahannya, aku tidak ingin menyusul Shelly dalam dunianya. Cukup dia saja yang menjadi korban kegaanasan cinta. I must be strong.
Hari ini adalah hari kamis, hari pertamaku mengenali apa itu cinta, dan hari pertama pula mengenali apa itu sakit hati. Tidak masalah, Setidaknya dia berhasil. Berhasil membangunkan perasaanku yang selama ini tertidur.



#Pekalongan, Juli 2014S

Friday, July 4, 2014

HARI INI HARI RABU?



Hari  ini hari Rabu. 29 hari sebelum hari yang sangat penting itu datang. Hari yang selama ini menghantuiku. Hari yang membuat tawa dan senyumku tak bisa setulus dulu. Hari itu, hari yang sangat menegangkan bagiku.
Hari ini, tidak banyak yang bisa kulakukan. Hanya memandangi kalender yang menggantung di dinding kamarku. Memastikan tiap detik waktuku yang tersisa hanya untuk menunggui hari itu.
1319 hari yang lalu, Ketika mata ini mendarat tepat pada matamu. Laki-laki yang mengacaukan pikiranku.
Waktu itu satu koper besar dan tas ransel berat kubawa. Sebagai pendatang yang memulai petualangan di kota orang ini merasa asing dengan suasana Jogja. Udaranya, lingkungannya, orang-oragnya, bahasanya, semuanya serba asing bagi manusia pedalaman sepertiku. Namun semua keasingan itu terabaikan ketika kebingunganku dalam mencari alamat rumah, berujung pada pertemuan itu.


“Ada yang bisa dibantu mbak? Sepertinya sedang mencari alamat seseorang?”
“Iya,” aku pun gugup terpesona oleh kesejukan wajahmu, kelembutan suaramu, dan kesantunan 
prilakukmu. Kesan pertama yang mendebarkan. Aku pun gugup menunjukkan sebuah catatan kecil yang bertuliskan alamat kosan.
“Wah, ini sebelahan sama kos saya mbak.” Wajahmu nampak sumringah ketika alamat kosmu bersebelahan dengan alamat kosku. Entah kebetulan, kebetulan yang menyenangkan.


---



Hari ini hari Rabu. 22 hari lagi adalah hari itu. Hari yang aku pun tak tahu apakah aku sanggup melewati hari itu. Aku hanya takut dengan kemungkinan terburuk.
Hari ini aku masih saja duduk pada permadani ini. Tidak bisa kemana-mana dan tidak berhasrat untuk ke mana-mana. Hanya memandangi langit yang terbungkus dinding kamar, menghirup aroma udara yang terperangkap oleh ruangan. Sejengkal pun aku tak berani melangkah. Aku terlalu mengkhawatirkan hari itu.
752 hari yang lalu. Ketika tawa sudah melebur menjadi bahagia. Kata sudah membentuk kisah dan cerita. Berbagai gambar yang terangkai menjadi sebuah karya nyata. Kisahku dan kisahmu menyatu dalam keajaiban. Ketika senyumanmu adalah nafas bagiku, ketika tawamu adalah suplemen bagiku, ketika kehadiranmu adalah detak jantungku.

Aku ingat ketika kau mengajakku untuk bermain ke Alun-alun kidul. Ketika kita berjalan beriringan layaknya sepasang kekasih. Hanya saja kita tidak bergandengan. Kita dipisahkan oleh jarak yang disebut status teman. Sepanjang perjalanan aku berdoa, Fiksi, ayo nyatakan cintamu padaku. Hanya itu yang bergemuruh kencang dalam dadaku.

Kita pun duduk di tengah-tengah, antara dua pohon beringin besar. Duduk berdampingan seperti sepasang kekasih. Tak ada yang spesial dari obrolan yang kita bicarakan. Yang membuat spesial adalah kamu berada disampingku sekarang. Tak peduli obrolan apapun itu, tak peduli sampai kapan pun itu. Aku hanya ingin menikmati malam itu. Membiarkan jantungku berdebaran menyambut wanita yang sedang jatuh cinta.
Dan waktu itu jiwa ini belum menuntut akan balasan dari cintamu. Aku hanya sedang menikmati euforia cinta yang sedang menggila pada diriku sendiri. Itu sudah lebih dari sekedar indah.
--


Hari ini hari Rabu, 15 hari lagi sebelum hari itu. Ah, lima belas hari merupakan waktu yang sangat cepat untuk menjumpai hari yang menakutkan itu. Rasa-rasanya aku tak pernah siap untuk kehilanganmu.

Apalagi mengingat banyak sketsa yang mengabadikan kisahku denganmu. Yang terekam dalam bingkai keabadian. Semua itu benar terukir indah pada pedalamanku. Menenggelamkanku dalam lautan penuh asmara. Tepatnya 401 hari yang lalu, waktu kita berdua duduk di atap rumah kos-kosanku. Kebetulan pohon mangga menjulang tinggi di depan kosku. Pohonnya yang gemuk dan memang sudah biasa dinaiki itu, membuat perempuan sepertiku berani untuk menghabiskan malam di atap rumah. Lebih-lebih ditemani laki-laki yang mengisi rongga hatiku. Menghabiskan waktu hingga tengah malam hanya untuk memandang langit. Melihat percakapan bintang, bulan, awan dan angin malam yang bersenandung dalam hikmatnya malam. 
kita berdua tidur telentang memandangi malam. Seperti biasanya, aku hanya bisa menikmati irama jantungku yang terus berpacu. Namun, semakin hari rasa lelah pun mulai tumbuh. Hasratku mulai memberontak untuk meminta lebih. Hatiku butuh cermin untuk merefleksikan rasa yang terus berpendar ini. Aku membutuhkan balas cintamu.

“Shel, jika kamu punya satu permintaan yang pasti dikabulkan, apa permintaan itu?” Tiba-tiba Fiksi menanyakan pertanyaan yang membuatku membeku. Seperti terkena sihir yang mematikan.
“Shell?? Kamu nggak kenapa-kenapa kan?”
“Ah, iya Fik. Ngak papa kok,” untungnya keteganganku tak begitu teraba oleh panca indramu. “Aku hanya ingin, semoga Tuhan memberikan sensor kepadamu.” Jemariku menunjuk pada hidungmu, terasa dingin dan halus.

“Apaan sih Shel..?? sensor apaan? malah ketawa pula.” Dia membalas menyentuh hidungku. “Dasar pesek..!”

Tawa pun terpecah di langit-langit malam. Menyisakan tanda tanya dibenakku, Apakah Kamu juga mencintaiku? Lidahku belum siap untuk menanyakan itu padamu.


--


Bukankah hari ini hari rabu? 8 hari lagi aku akan menemuinya. Aku sudah lama sekali menunggumu di kamar ini. Hari ini aku tidak begitu tegang dan takut, dibanding beberapa hari yang lalu. Seseorang mengatakan bahawa hari itu kamu akan datang dengan bunga-bunga yang harum, dengan jaz hitam dengan dasi merah. Dengan lagu favorit milik kita yang akan kau lantunkan hanya untukmu. Dengan parfum khasmu, yang membuat bulu roman ku merinding tiap tercium olehku. Dengan gombalanmu yang selalu membuat perutku tergelitik oleh itu. Dan dengan cincin yang siap mengikat kita berdua dalam keabadian. Tapi. Tapi aku takut kehilanganmu.

205 hari yang lalu, kamu masih sama. Seperti membuatku terombang ambing dalam ketidak pastian. Hatiku merasa sesak dengan ketidaknyamanan ini. Aku ingin segera menyakan itu padamu. Tak peduli aku seorang perempuan. Aku hanya ingin memerdekakan perasaan yang terpenjara dalam dadaku. Dan aku pun tak peduli dengan jawabanmu atau reaksimu nanti. Itu masalah nanti.

Pagi itu kau mengajakku bersepeda. Kebetulan yang sangat  menguntungkan bagiku. Aku tak punya sepeda, dan sepeda milik teman kosku pun sedang dipakai semua. Mau tak mau kau pun harus memboncengkanku. Hampir setengah jam kita bersepeda bersama. Berada di belakangmu membuatku merasa tak sabar untuk menggapai jiwa dan cintamu. Hingga perjalanan itu terganggu saat roda depan sepeda tergelincir pada jalan yang bolong. Sepeda pun terguling. Aku yang kaget  pun langsung berusaha mencari pegangan supaya tidak jatuh. Al hasil, kita pun terjatuh. Aku berada tepat di atasmu. Aku amati wajahmu yang amat tampan itu sepersekian detik yang berjalan begitu sangat lama. Matanya yang sejuk memanjakanku dalam tatapannya. hembusan nafasnya terhempas pada hidungku, terasa hangat.  Jantungku pun menderu kencang, mungkin goncangannya terasa olehmu. Benar-benar seperti di sinetron-sinetron.

 Aku pun merasa pasrah jika akhirnya kau memang harus tahu tentang perasaanku, atau aku yang harus mengatakan kepadamu sekarang juga. Fiksi, kau tunggu apalagi. Jangan buatku lebih lama lagi menjadi manusia pesakitan dalam penantian cintamu.

Kejadian itu pun tidak membuat banyak perubahan. Nyatanya, nyaliku sebagai seorang perempuan belum berani melontarkan kata suci dari lidahku ini. Begitu pula dengan mu, kau masih saja tidak mengerti dengan semua perhatianku. Mungkinkah kau tidak mencintaiku? Apa kau hanya ingin mempermainkan hatiku? Pertanyaan-pertanyaan itu sempat muncul pada bagian otakku. Tapi aku segera menghempaskannya, karena aku tahu dan aku yakin. Kau juga mencintaiku. Kau pasti mencintaiku. Kau hanya butuh beberapa waktu lagi untuk meluapkan sesuatu yang bersembunyi di balik dadamu. Yah, mungkin karena aku terlalu mencintaimu.


--


Rabu terakhir? Sehari sebelum aku bisa bertemu lagi denganmu Fiksi? Lagi? bukankah kita selalu bersama? Lantas selama ini kau di mana? Kenapa kita tidak bersama? Harusnya kita selalu bersama, kan kita tetangga kos. Apa seseorang yang bilang kau akan datang esok itu bohong? Tapi kenapa selama ini aku menungguimu? Bukankah kita harusnya bersama? Aku jadi sedikit pusing.
100 hari yang lalu sahabatku bilang kepadaku. Ia mengerti sesuatu rahasisa besar yang disimpan oleh kau Fik. Tanpa sengaja dia mendengarkanmu berbicara di tempat favorit kita, di atap kosku, bahwa sebenarnya kau mencintaiku. Bahkan kau berencana akan mengajakku bertunangan. Tanpa perlu melalui proses pacaran yang panjang dan kekanak-kanakan. Aku tahu itu, aku tahu itu semua. Aku sangat bahagia hari itu. Rasa-rasanya seperti surga hadir di depan mataku secara tiba-tiba. Aku pun sudah tidak sabar untuk hari itu. Sepertinya kau ingin memberi kejutan padaku. Iya, benar saja akhir-akhir ini dia terlihat tak acuh denganku. Kau sengaja membuatnya demikian agar aku merasa ganjil dengan itu. Akh, kau ini Fik. Aku sudah tahu. Lakukanlah hal termanis yang kau bisa sayang. Aku akan sangat bahagia.
Tapi entah, itu 100 hari yang lalu. Bagaimana dengan hari esok. Terlalu banyak kebahagiaan yang menggantung pada ketidakpastian. Rasa ganjal dan ragu-ragu akan hari esok masih saja menjulang tinggi di dadaku.

--

Hari ini bukan hari rabu. Aku sudah menggunakan pakaian yang kau hadiahkan untukku. Menggunakan parfum favoritmu, walaupun aku tidak begitu suka. Juga membawa boneka yang kau berikan pada hari ulang tahunku. Tak lupa aku bercermin dan menyolek wajahku dengan bedak dan gincu. Seakan-akan ini hari paling spesial dalam hidupku.
Lantas bagaimana dengan perasaanku saat ini? Aku tidak begitu tahu.
Seseorang perempuan berbaju putih mengajakku keluar dari kamarku dan menuntunku ke arah cahaya. Setapak demi setapak kakiku melaju menuju sebuah ruang yang cukup besar dengan satu meja dan beberapa kursi. Kupandangi satu per satu tiap sudut ruangan itu. Terdapat seorang perempuan separuh baya dengan baju putih, dengan stetoskop yang menggantung. Ternyata ibuku juga ada di ruangan tersebut, begitu juga dengan sahabatku Jasmine.

Banyak pertanyaan besar yang bermunculan di kepalaku. Kenapa Ibuku ada si sini? Begitu juga dengan Jasmine? Dan siapa perempuan itu? Kenapa pula Ibuku nampak sedih dan sembab matanya, seperti habis menangis semalaman. Begitu pula Jasmine, bukankah dia sahabatku yang paling crewet? Tapi kenapa dia hanya memandangku dengan tatapan dingin? Seakan aku adalah manusia pesakitan yang minta dikasihani.

Kenapa? Kenapa suasananya jadi seperti ini? Kenapa aku merasa tidak nyaman sekali sekarang, perasaanku semakin kacau, tak terkendali. Di mana? Di mana kau Fiksi? Bukankah harusnya kau datang seperti yang dikatakan perempuan tadi.
“Arrgghhh..!!” Mulutku pun tak mampu menahan sesak di dada. Berkali-kali aku pun teriak keranjingan. Tanganku pun melempar dan menghantam apa pun yang terlihat oleh mataku. Sekilas terlihat oleh sudut mataku, ibuku menangis, bahkan tersedu-sedu. Aku pun semakin bingung, dan jantungku semakin keras berpacu. “Argghh..!!!” Teriakanku pun semakin keras. Jasmine pun bergegas memelukku erat. Aku pun merasa sesak dan tak bisa bergerak, hingga aku pun berontak.

Jedukk..!!

Sikuku mengenai wajah Jasmine. Jasmine pun terlihat kesakitan, tapi menahannya demi membuatku tenang. Entah, aku pun merasa semakin tidak senang dan tidak nyaman dengan kondisi ini. Aku pun semakin menjadi-jadi.

Tiba-tiba, dengan sigapnya perempuan berstetoskop itu menusukku dengan benda tajam. Sepertinya aku pernah mengalami kejadian yang sama persisi seperti ini beberapa waktu yang lalu. Benda tajam ditusukkan ke pantatku. Bukankah itu jarum suntik.  Kenapa? Sepuluh, tiga, tujuh, enam, warna-warni pelangi bertaburan di pelipis mataku.

Redup.

Hitam.

Gelap.



*bersambung

Tuesday, April 29, 2014

MAWAR 13


Meskipun aku selalu sendiri, tapi aku tidak pernah merasa sendiri. Karena kalian mewarnaiku dengan tingkah-tingkah lucu kalian. Terkadang menyenangkan, terkadang membanggakan, seringkali menjijikkan.
Kau tidak pernah benar-benar tahu tentang rahasia seseorang. Barang kali kau hanya melihat apel merah sangatlah segar dan manis, namun bisa jadi dalamnya masam. Bahkan mungkin sekali mangga yang gelap, keriput dan terlihat membusuk, dalamnya enak sekali. Berhati-hatilah dengan pikiran pikiran pendekmu yang bisa membuat jiwamu kerdil dalam menilai sesuatu. Karena kau tidak selalu tahu, dan aku ditakdirkan untuk selalu tahu. Tapi ingat, aku bukan Tuhan. Aku sama seperti kalian, hanya ‘sedikit’ berbeda.
TIga tahun terakhir ini aku sedang tertarik dengan salah satu temanku. Bukan, Bukan teman tepatnya. Aku mengenalinya, tapi dia tidak pernah mengenaliku. Dan Aku pun tidak pernah berharap dia mengenaliku. Namanya Dini. Aku mendengar semenjak pertama kali dia datang dengan wajahnya yang amat lugu, cantik, dan menarik.
Pada malam itu, aku melihat dia datang dengan pakaian yang amat indah, seindah wajahnya. Kain tipis bercorak bunga itu meliuk mengikuti bentuk tubuhnya yang padat. Pakaian yang dikenakannya sempurna membuat mata lelaki mana pun tak mampu berkedip.
Di depan cermin yang besar itu, gadis itu mewarnai bibirnya dengan gincu merah muda. Meratakannya sampai ke sudut-sudutnya. Menebalkan alisnya, dan menghias wajahnya dengan blash on ungu. Parfum pun membuat aroma menyeruap dalam tubuhnya. Ia pun menyisir rambut panjagnya dengan amat hati-hati. Seakan hari itu adalah hari yang sangat penting baginya.
Sempurna. Gadis dua puluh tahun itu terlihat amat sangat cantik. Tak bosan kiranya berlama-lama memandangi wajahnya. Seperti berada di taman bunga di musim semi. Begitu Sempurna.
Hari ini adalah hari yang amat sempurna, karena hari ini adalah ...
Tiba-tiba sebuah tangan mendarat di pundaknya. Tangan laki-laki yang nampak di sudut pandangannya membuat kaget, ia menoleh dan didapatinya lelaki berusia tiba puluh tahunan.  Mirip seseorang tapi asing. tidak ada dalam memorinya. Dia mencoba mengingat-ingat tapi kosong. Wajahnya terlihat tampan rupawan, perawakannya pun juga bidang. Enak di pandang.
Dini pun menatap pria itu lamat-lamat. Hormat, agak takut, dan lama-lama menjadi takut. Pria itu nampak dingin. Sepertinya benar-benar paham kalau perempuan di depannya ini belum pengalaman. Seperti ingin memberi kesan pertama yang tak terlupakan. Lelaki itu pun duduk di sebelah Dini. Dini pun terlihat grogi, keringat dingin mengembun di kening dan leher.
“Namamu Dini?” Lelaki berkumis tipis itu membuka lembar percakapan dengan amatiran yang kaku itu. Dini tidak menjawab. Semakin takut dan gugup. Ia menelan ludah dan hanya mengangguk sekenanya.
“Aku sempat bertanya-tanya pada Romilah tentang mu.” Dini pun menatap lelaki itu meyakinkan, “Tenanglah, kamu tak perlu takut denganku. Kita akan menjadi teman yang baik.”
Kali ini Dini menunduk lebih jelas dengan kata “Iya Tuan,” dengan nada yang amat lirih, hampir tak terdengar. Lelaki itu pun mengangkat kepalanya dan menatapnya, “Panggil saja Reza.”
Tanpa basa-basi. Lelaki yang menyebut dirinya sebagai Reza pun memulai level yang lebih lanjut. Dibelai-belai pipinya dengan lembut dan penuh kehangatan. Begitu pula dengan rambutnya yang nampak mengombak. Reza pun mendekatkan bibirnya pada perempuan itu. Tapi salah, Dini mengelak dan ragu. Dia masih gugup dan terlihat amat amatiran.
Reza pun hanya tersenyum, seakan memberi kode, kamu pasti bisa melakukan tugas ini dengan baik. Dan yang kedua kalinya, Dini pun melemahkan tubuhnya, berpasrah menikmati alur kisah panjang malam itu. Kisah yang membuat harta berharganya ditelan harimau yang kelaparan. Dan apa yang terjadi malam itu, terjadilah.
Lagi-lagi aku hanya melihat, aku mendengar, dan aku meraba apa yang ada di balik hati kedua laki-perempuan itu.
***
Dan waktu tak akan berhenti untuk menunggu apa pun. Dia akan terus menggiring takdir menuju pada jalurnya. Begitu pula dengan nasib gadis yang sedang duduk itu. Sebulan sudah perempuan mungil itu nampak lebih percaya diri dalam tiap aksinya. Hampir tiap dua-tiga hari sekali tamu favoritnya selalu datang berkunjung. Ia selalu memprioritaskan tamu utamanya itu dibanding dengan tamu-tamu yang lain. Dia selalu memepersiapkan segala sesuatunya sesuai dengan kesukaan Reza. Dari mulai parfum, Sprai, pakaian, lilin, buah, sampai camilan kecil pun sengaja dipilih sesuai kesukaan Reza. Mungkin dia mulai jatuh cinta. Mungkin, mungkin juga tidak.
Setahun sudah Dini memainkan perannya di atas ranjang dengan amat memuaskan. Hampir setiap laki-laki yang selesai bermain dengannya akan merasa bahagia, puas, dan kelelahan. Dan hubungan mereka pun semakin dekat, Reza dan Dini. Mereka tidak hanya sekedar teman pemuas malam, tapi Reza pun sepertinya mulai menikmati gatar yang berirama dalam dadanya. Begitu pula dengan Dini. Reza kerap sekali menceritakan tentang kisah kecilnya, kehidupannya, dan apa pun yang ingin ia ceritakan. Sama halnya dengan Dini, dia menceritakan saat masih bersama teman-temannya bermain petak umpet, masak-masakan, rumah-rumahan, dan berbagai keceriaan yang lain. Tapi mereka berdua belum pernah menceritakan kenapa mereka berdua berada di tempat ini.
“Kamu kenapa menangis?” Tiba-tiba suara itu mengagetkan Dini yang tengah tersedu sedan. Ia pun mencoba menghapus air matanya, mencoba tersenyum seakan sedang tidak terjadi apa-apa. Tapi percuma, belaian lelaki itu semakin menambah debit air matanya. Ia semakin tak kuasa mengendalikan emosinya. Bahu Reza pun kebas oleh air mata Dini. Tidak biasanya Reza datang berkunjung siang bolong begini.
Ketika hati mulai tenang Reza memulai kembali perbincangan itu, “Ceritakan saja, barangkali hatimu akan lebih lapang.”
“Bapak meninggal mas. Tadi pagi.”
Dini pun memulai kisahnya dengan kisah-kisah sederhana, ayah, ibu, adik, semua menjadi tokoh utama dalam ceritanya. “Bapak stroke. Tejo, Yuni, adik- adik saya terancam putus sekolah mas. Ibu saya tidak bisa berbuat banyak, untuk makan saja dia dapat dengan menghutang sana-sini. Bagaimana pula dengan biaya perawatan Bapak. Saya melihat ibu sering melamun tiap saat, entah apa yang dilamunkannya. Menatap kekosongan. Saya rasa Ibu sangat tertekan, banyak pikiran mas. Dan aku, apa yang bisa aku lakukan? Aku hanya buruh di kampung, tidak banyak yang saya dapat untuk itu mas. Hanya tiga puluh ribu per minggu.” Dini pun berhenti sejenak dan menatap lelaki yang ada di depannya, “Dan akhirnya saya ...”
“memutuskan untuk ini.” Reza pun menarik kesimpulan. Dini mengangguk lemah, merasa tidak berdaya sama sekali.
“Kamu tak perlu menyesal dengan apa yang telah kamu putuskan Din. Kau tidak lebih buruk dari mereka yang merasa benar dan suci. Kau tidak lebih buruk dari mereka-mereka yang buta dengan orang-orang sepertimu.” Reza menarik nafas untuk kata-kata berikutnya, “Aku mengenal kamu sejauh ini Din, aku tahu hatimu tidak lebih buruk dari orang-orang di luar sana. Mereka hanya memandangmu sebelah mata tanpa pernah mereka sadari mereka lebih hina dari pada kamu.”
“Kenapa Mas berkata demikian, Mas juga datang ketempat kotor ini.”
Reza pun tersambar, tersindir harga dirinya diusik. “Aku punya istri, dan kami belum punya momomngan. Tapi bukan karena masalah itu aku datang padamu tiap malam. Dia tidak pernah mencintaiku, dia tidak pernah menghormatiku sebagai suami. Tak pernah dia memberikan waktunya untuk menemaniku. Tidak. Dia hanya sibuk dengan perhiasan-perhiasannya, dengan teman-temannya, dan entah dengan apa aku tak mau peduli. Dia tidak pernah mencintaiku, dia hanya mencintai hartaku saja.” Emosi pun beranjak tak stabil, “Aku tak kuat. Aku tak bisa berlama-lama se atap dengan manusia macam dia. Dan ... ” dialog pun terhenti untuk kata-kata terakhir, “pengadilan mengesahkan perceraian kami pagi tadi.”
“Maaf mas,” Dini pun memegang tangan reza. Perbincangan siang itu terhenti. Hanya sajak air hujan yang mengiringi siang yang semakin membisu. Dan mereka pun tertidur. Hanya tidur, tidak terjadi apa pun.
Esok pun datang bersua. Ketika sang fajar masih menguasai langit, dua laki-perempuan itu tengah bersiap-siap untuk pergi ke sebuah tempat. Nampaknya ada kesepakatan yang mereka buat semalam. Mobil avanza melaju ke arah timur, sebuah kecamatan terpencil di sudut surabaya. Mereka berencana melakuan takziah atas meninggalnya ayah Dini. Bagaimana aku tahu? Karena aku mendengar percakapan mereka semalam. Tapi entah apa yang dilakukan di sana?
**
Nampaknya perjalanan seminggu yang lalu berjalan lancar, meskipun terlihat ada air mata yang membuncah tapi semua masih dalam kendali. Hari ini terasa berbeda. Aku merasa akan ada kabar gembira.
Seperti biasa, Dini memoles tubuhnya dengan berbagai make up. Blash on, lipstik, foundation, bedak, maskara, eye shadow, dan eye liner. Dengan baju terbaiknya yang membalut tubuh sampurnanya. Menggunakan parfum yang mengikat penciuman. Sempurna seperti gadis yang masih perawan.
Datanglah dari mulut kamar ini seorang laki-laki dengan kemeja hitam, jas putih, dengan dasi kupu-kupu melingkar di lehernya. Dengan setangkai bunga mawar merah tergenggam penuh makna. Ia segera datang mendekat berlutut di depan perempuan itu. Setangkai bunga mengiring kata-kata indah dari mulutnya.
“tapi bidadari pun menunduk malu melihat kecantikan hatimu yang menyejukkan hati yang lain. Tak ada laki-laki yang mampu menahan getaran cinta yang terpancar dari dalam.” Reza pun mengambil sebuah kotak yang ada di sakunya dan mengeluarkannya. “Perkenankanlah lelaki bodoh ini untuk mempersunting perempuan surga di depan mataku ini.”
Kaget. Dini terlihat amat terkejut dengan lamaran Reza. Dia tidak beraksi apa-apa. Dia hanya manatap mata Reza dalam. satu detik, dua detik, tiga detik, hingga dua menit. Dan tidak terjadi apa-apa. Waktu yang amat sangat panjang bagi lelaki yang amat mengharap anggukan atau kata ‘Ya, aku mau mas’  dari mulut perempuan itu.
Apa yang terjadi? Perempuan itu menangis. Keringat dingin berkucuran di mana-mana. Membalikkan pandangannya dari laki-laki yang dicintainya itu. Tapi kenapa? “Kenapa Din? Apa aku terlambat? Apa sudah ada yang melamarmu? Atau aku terlihat buruk di matamu?”
Perempuan itu hanya tergugu dalam tangisnya. Sampai kata-kata yang amat getir pun muncul dari bibirnya. “Saya, saya positif  HIV
Hening. Kamar ini menjadi hening. Rasa-rasanya ada tanah longsor dibalik dada. Kedengaran sampai sini gemuruhnya. Aku merasa sungkan melihat pemandangan ini. Biarlah mereka bersedu sedan meratapi skenario indah oleh Sang Sutradara. Setidaknya mereka punya cinta, bukan hanya sekadar uang dan tubuh. Mungkin keajaiban cinta dapat membuat masalah itu menjadi kabur, syukur-syukur lenyap. Yang jelas ada ketulusan di antara kedua lakii-perempuan itu, tidak seperti orang-orang sebelum mereka. Sungguhlah, dunia ini terlalu sempit jika hanya dilihat dari satu sudut mata saja. Karena memang manuisa lebih dari satu.
Lantas, bagaimana nasibku kini? Biarlah aku dan bayanganku tetap menjadi saksi hidup anak manusia. Di tempat ini. di kamar Mawar 13.
#end

Tuesday, March 11, 2014

Sebut Saja Gadis

@reejaaah
 
Menunggu bukanlah hal yang lebih baik dari melihat acara televisi yang membosankan, atau bahkan tidak lebih baik dari menghitung integral laplace berpangkat dan sederet hitungan yang menjengkelkan. Lebih baik semua terlukis gamblang dalam kanvas, meskipun itu harus menyisa belonteng yang mengganjal dalam pandang. Karena menunggu adalah hal yang selalu menghadirkan duga-sangka yang menguras tenaga, jiwa apa lagi.

Namaku...  nanti, Aku belum ingin siapa pun tahu siapa namaku, aku tak suka popularitas. Cukup kenang aku dengan ‘gadis’. Akan aku beri tahu nanti. Nanti.

Dan aku ingin bercerita sedikit tentang kisahku padamu, hanya pada Engkau. Jangan beritahu pada yang lain. Ini rahasia. Begini ceritanya :

Jelas, waktu libur adalah waktu yang menyenagkan bagiku. Aku bisa menghabiskan panjang waktuku untuk mengelilingi kota persinggahan ini. Apalagi mahasiswa sepertiku perlu rasanya sesekali dalam sepekan memanjakan syaraf-syaraf yang mulai menegang.

Sepakat, pagi dini hari aku dan sepuluh orang yang memiliki hobi jalan-jalan sepertiku menjadikan pantai  sebagai pemuas hasrat . Tujuh perempuan cantik, dan sisanya bodyguard kami. Butuh perjalanan satu jam setengah untuk bisa menginjakkan kaki pada permadani berbatas laut itu.

Seperti biasa, pria hitam itu yang selalu bersamaku. Kleo namanya. Tempat di mana keluh kesahku selalu berpendar. Tempat di mana aku boleh mengadu, bercerita, mengembik, merengek, menangis, mengaduh. Selalu ada hangat saat aku terjebak dingin, selalu ada sinar ketika gelap merundungku. Dia memang orang yang baik. Teramat baik malah.
***
Kau boleh memanggilku Kleo, Bodeng,  Iman, atau terserah Kau hendak memanggilku dengan sebutan apa.  Mahasiswa semester akhir di sebuah universitas yang tidak terkenal di sudut kota Jogja.
Hari-hariku kuiisi dengan melukis, melukis, dan ... Bagiku  melukis adalah jiwaku. Membiarkan jiwaku melebur bersama cat yang menari dalam kanvas. Menumpahkan berjuta warna hidup yang tiada kiranya. Melalui lukisan, aku mewartakan kebahagian, cinta, keindahan. Hanya itu. Aku tak suka menggores mendung atau pun luka. Itu sama halnya menyemai hama pada banyak orang.

Dia? Si ‘gadis itu’? Baik. Dia teman dekatku. Aku tidak tahu banyak tentang dia. Yang aku ingat dia sering merengek tentang teman-temannya yang menjengkelkan ketika harus mengerjakan makalah,  mereka hanya berpangku tangan, katanya.  Atau teman laki-lakinya yang berulang kali menyatakan cinta padanya, namun dia tak ada tertarik secuil pun. Atau mendengar ocehan panjang tentang buku-buku tere liye yang dikoleksinya, dia selalu memaksaku untuk membacanya juga Ya, dia cantik. Lebih-lebih hatinya.

Namun, ada yang aneh dengannya seminggu terakhir ini. Ia jadi suka ngambek sekenanya, suka marah, kadang cemberut sendiri. Sering kali juga tak mau kuajak bicara. Tak tahu aku jalan pikirannya. Marah-marah tak jelas. Aku tak begitu paham ulat apa yang telah menelusup dalam jantungnya. Mungkin PMS, pikirku mencoba meredam praduga jahatku.
***
Marah? Aku tak pernah melejitkan amarahku di depannya. Hanya aku sedang merasa tidak ada yang perlu dibicaraan apa pun itu dengannya. Aku hanya sedang merasa dia teramat menyebalkan. Tapi biarlah. Tak perlu dia tahu aku sedang kesal sama dia.

Tapi, kenapa juga aku harus gusar dengan dia. Toh dia juga tidak melakukan sesuatu yang merugikanku. Melukai pun tiada. Dia seperti biasanya. Tapi entah, rasanya dia begitu terasa menyebalkan akhir-akhir ini. Tapi.. tapi.. tapi akan lebih terasa ganjal jika tak ada bayangannya.
Ah.. Tuhan.. Aku tak tahu jalan pikiranku sendiri. Pergulatan hati macam ini membuat irama jantungku tak menentu. Cukupkanlah Tuhan.

Apa lagi dia ada di sampingku sekarang. Duduk di atas pasir putih di bawah mentari yang mulai merangkak naik. Di sangsikan laut biru.  di gerus suara gelombang ombak yang berlarian menghampiri. Ombaknya yang pecah membasahi kaki, merayu untuk lekas didatangi. Kecipak air terdengar merayu.

Sementara kami duduk, sementara yang lain sudah asyik bermanjakan tawa dan riang lima belas meter tepat di depan kami. Teriakan, cekikikan, tawa, berpendar dalam ombak yang bergulung.

Mungkin aku mencintainya? Aku rasa tidak, sudah lama sekali aku tak merasakan hal itu. Tapi mungkin juga iya. Aku sudah lupa dengan gemuruh tanah yang longsor, api yang membakar hutan, atau pun serdadu yang saling beradu dalam peperangan. Dan sekarang tepat terjadi pada dadaku.

Ah, Kleo. Kenapa keberadaanmu di sampingku seraasa duduk pada permadani dari sutra, berhias pernik kristal dan batu safir pada singgahsana. Terlihat pelangi berayun pada taman yang penuh tawa riang malaikat kecil. Surga yang hanya aku dan engkaulah penghuninya.

Oh Tuhan, batapa bodohnya. Aku baru menyadarinya. Aku baru terbangun dari kemarau yang amat sangat lama. Ah, Lagi-lagi aku terjerat dalam dunia yang memabukkan. Apalah itu, tapi orang biasa menyebutnya dengan cinta. Cinta?
***

Bahkan sekarang pun, dia mulai menjengkelkan. Merengek meminta ini itu, seperti bocah yang meminta balon pada biyungnya. Setelah dituruti, lanjut meminta boneka, mainan, jajan, dan tiada habisanya kalau dituruti. Dan kalau tidak dituruti, amarahnya menyulut, ngambek, bersungut. Sungguh menyebalkan.

Ada apa dengan gadis ini. Makin hari kedewasaannya melemah, semakin kekanakan. Bahkan sekarang, di pantai ini, dia tidak mau mengobrol denganku. Hanya karena aku tak mau bermain air, menggendongya dan menyeburkannya ke pantai. Bagiamana bisa? Aku sedang tak enak badan. Bahkkan aku sudah menolaknya dengan pelan, bahkan aku menawarkannya untuk naik delman saja.
Sungguh benar-benar aku tak mengerti jalan pikirannya. Sepanjang perjalanan pulang pun tidak berubah, wajahnya dilipat sekucel-kucelnya. Kusut tak berbentuk. Tak ada obrolan pendek pun dalam perjalanan itu. Rona merah masih mendempul di wajahnya. Saat kulirik wajahnya, semakin gigih olehnya melipat-kusut wajahnya. Tapi tetap saja terlihat manis, lebih manis malahan.

Ah, sungguh gadis ini. Aku jadi merasa tidak enak, membuat hari-harinya dirundung durja. Tak ada upayaku diindahkannya. Usahaku untuk menghiburnya pun berbuah sia-sia.
Sesekali terlihat senyum kecilnya, jelas senyum yang penuh reakasaya. Dan itu membuatku semakin tak kuat daya. Ada apa dengan dia?
***

Aku hanya butuh perhatian dari dia. Rasanya ganjal hari tanpa perhatian dari nya. Tapi percuma, mata hatinya masih lelap tertidur. Tak bisa merabai dadaku. Sungguh laki-laki itu tak peka sedikit pun. Aku kesel.

Mungkin lebih baik tak perlu membuat perbincangan dulu dengannya, itu akan terasa menyakitkan jika dia tetap saja tidak pernah peka. Tapi kenyataannya, dia memang tidak pernah peka dengan hatiku.

Sungguh Kleo, jangan buat aku menunggu terlalu lama.
***

Seminggu aku tak bertemu dia. Sesekalinya bertemu, dia malah berusaha menghindar. Atau jika terpaksa bertemu, tidak banyak bicara. Hanya menjawab jika aku bertanya, sisanya hanya tanda tanya. Seminggu sejak liburan ke pantai itu sikapnya semakin aneh saja. Aku tak habis-habisnya perpikir, hanya karena aku menolaknya bermain itu kah dia sampai jadi seperti ini.

Jangankan membalas sms, mengangkat telepon dari ku pun ogah-ogahan.

Ayolah, Gadis ini pandai benar buatku berputar-putar kepalang. Khawatir tak karuan. Tak pernah sebelumnya makan siangku jadi kacau rasanya. Tidur ku pun tak selelap malam-malam sebelumnya. Aneh sekali, aku mengkhawatirkannya, lebih. Lebih dari biasa-biasanya.
...
...
Aku tahu..!! Aku tahu apa yang harus aku lakukan

***
Tetap saja, sama halnya sia-sia. Dia tidak mengindahkan sedikit pun keadaanku. Mengkhawatirkanku pun tidak. Aku jadi semakin kesal, tapi disisi lain, aku malah semakin merindu peluk manjanya. Aku makin mencintainya.

Aromanya seakan hadir saat kuhirup udara senja. perawakannya seperti muncul ketika kututup mata, hendak memberi peluk terhangatnya. Suaranya berngiang ketika sepi datang. Ah, Kleo. Kau benar-benar tega. Tega membuat ku mengkekang rasa ini, rasa-rasanya aku tak kuat lagi membendung. Ingin segera kuledakkan.

Hampir tiap malamku, dia menyempatkan hadir hanya untuk menyanyi untukku, memberi bunga untukku, membacakan sajak cinta untukku, mendongengkan cerita untukku. Ya, sayang. Dia hanya hadir dalam “malam” ku.

Mungkin iya, aku berlebihan. Mendiamkannya tidak menyelesaikan masalah, tidak membuat dia peduli padaku. Namun sebaliknya. Dia semakin menjauh saja denganku.

Seminggu terakhir, aku tak melihatnya di kampus. Mungkin karena tingkahku. Saat berjumpa, selalu ada walau hanya sekedar menyapa atau melempar senyum. Senyum yang selalu kubalas dengan kecut. Betapa bodohnya diriku.

Ada apa gerangan dengan pangeran impianku, yang biasanya membawa pelangi di setiap kejap mataku, yang selalu mengiring tawa dalam jenuhku,yang selalu melukiskan keindahan dalam kanvas hatiku.

Ah, sungguh menyakitkan saat gambar-gambar indah masa lalu itu merengkuh dalam rindu. Segera. Aku harus datang ke tempatnya. Aku harus meluapkannya. Harus. Sekarang. Sekarang.
***

Selesai sudah, hanya ini yang bisa kulakukan. Lelah rasanya setelah beberapa hari menguras pikiran, tenaga, emosi, cinta, dan meluapkannya dalam ‘kado’ kecil ini. Tapi tidak, aku sangat puas, semua terbayar dengan kebahagiaan yang entah terasa begitu meledak-ledak. Apalagi membayangkan memberikannya pada gadis itu.

Kenapa juga aku mesti berfikir seperti itu? Ya. Tidak salah lagi. Biarlah biarlah waktu berpilin dalam dunia fatamorgana. Aku tak mau menenggelamkan hatiku yang tengah berpijar ini.
***

Tepat di depan pintu kosnya kakiku terhenti. Berpikir satu-dua detik berusaha memantapkan kembali. Lebih mantap dari tadi. Lebih mantap dari satu detik yang lalu. Bayang laki-laki itu makin muncul begitu saja, sekali-dua membukakan pintu dari dalam. Beberapa kejap bayangan kemungkinan terburuk pun terbias. Tidak. Semua akan baik-baik saja.

Tangan yang mengepal pun urung mengetuk pada dinding pintu saat terlihat Kleo tertidur dengan pulasnya dari pintu yang sedikit terbuka. Aku pun masuk tanpa permisi, seakan rumah milik sendiri.

Lagi-lagi langkahku terpatri. Ada yang aneh dengan ruangan ini. Tiba-tiba tubuhku seperti terbang mengapung, aroma surga menyengat melumpuhkan kesadaranku. Mata ini terpana, tertuju pada sebuah kanvas yang tak kosong lagi.

Seraoang malaikat? Aku rasa bukan. Tapi lihatlah.. Dia cantik sekali, Sungguh menawan hati. Tiap gores warna yang terkuas seakan bercerita tantang surga, tentang cinta.
Sungguh, rasanya merugi ketika harus menutup mata barang sedetik pun. Wajah itu, cantik sekali. Demi tuhan.
Siapa gerangan wajah dalam foto itu?
***

Sungguh keajaiban memang datang untuk mereka yang tengah dirundung cinta. Saat mataku pelan menghilangkan kekaburannya dari tidurku. Terlihat gadis menawan itu berdiri tepat di depanku. Aku berfikir itu hanya sketsa yang aku lukis tadi, aku kira dia hanya kesemuan. Tapi aku salah, dia nyata. Dengan segala kemewahan cinta, dengan segala keanggunan, dengan segalanya. Dia hadir memberikan hadiah terindah.

Aku masih ragu, sedikit ragu. Tapi dia memang nyata.

“Aini..” mulut kecilku berucap kelu.
***

Aku pun menoleh,

Hanya menoleh, dan.... Kosong.

Aku tak ingat lagi aku harus apa, aku harus bagaimana. Aku pun lupa dengan tujuan utamaku.

Hening. Kami berdua mematung.

Hening lagi. Lama. Hening. Lama lagi.

Diam, tanpa suara. Tapi, kami berbicara, melalui mata, melalui rasa.
***

Benarlah, jangan sampai kau ceritakan kisahku ini pada siapa pun. Aku tidak ingin mereka mengerti kisahku. Biarlah mereka mengenal cinta melalui jalan mereka sendiri, melalui kisah mereka sendiri. Karena itu akan lebih indah, jauh lebih indah dari pada yang banyak orang bicarakan.
Satu hal. Kau tak harus melakukan kesalahan yang sama denganku. Janganlah membuat dia terlalu lama menunggu. Itu menyebalkan.

Terimakasih dariku, Kau sudah menyempatkan waktumu untuk mendengar ceritaku. Kau boleh memanggilku Kleo, Bodeng,  Iman, atau terserah Kau hendak memanggilku dengan sebutan apa.

#tamat
Yogyakarta, Maret 2014