Wednesday, July 23, 2014

KAMIS PERTAMA



(lanjutan dari cerpen HARI INI HARI RABU)
Sungguh. Bukan karena fisik aku menjauhinya. Bukan karena wajahnya aku mengacuhkannya. Bukan pula karena harta aku menghindarinya. Aku suka. Aku suka Lanang. Tapi, tapi ada yang mengganjal pada hatiku. Dan aku pun kesulitan untuk mencari tahu apa itu.
Bukannya sombong, tapi beginilah diriku. Kebetutlan sekali Tuhan menitipkan padaku paras yang amat cantik. Tubuhku dibalut dengan kulit khas jawa yang kuning lasngsat, lembut lagi halus. Rambut pekat hitam yang menggulung ombak menjadi mahkota dikepalaku. Ditambah lagi kecerdasanku yang menyetarai Einsten. Bukannya melebih-lebihkan, tapi beginilah adanya aku. Gelar mahasiswa berprestasi pun kusabet. Bahkan sering diundang pada berbagai acara sebagai pembicara utama. Tuhanlah yang berlebih-lebihan memberikan nikmatnya padaku. Apa bisa kukata? Hanya syukur yang sanggup terucap.
Tiada bisa dibantah. Kesempurnaan hakikatnya adalah milik Tuhan bukan? Banyak yang berfikir bahwa aku bahagia dengan segala ‘pernik’ yang melekat padaku. Banyak yang berfikir betapa beruntungnya menjadi sepertiku. Banyak yang bercita dan berkejaran untuk menjadi sepertiku. Tidak sedikit pula laki-laki yang mencintaiku? Tapi untuk apa?
Ada yang cacat pada diriku. Dan kau perlu tahu.
Sudah puluhan macam jenis laki-laki yang tertarik padaku, mengajakku kencan, mengajak jalan, dari yang berparas tampan, sedang, hingga pas-pasan. Dari yang beruang, sampai yang berutang. Tak ada satu pun yang membuatku tertarik. Mungkinkah hatiku terlalu keras? Apakah aku seorang lesbian? Bodoh..!! Aku pun tak pernah tertarik dengan perempuan. Apakah hatiku benar-benar mati rasa?  Atau memang perasaanku tidak mampu menangkap sinyal yang dipancarkan oleh orang lain.
Dan kau tahu? Aku tidak bisa merasakan bahagia seutuhnya. Dunia ini terasa hambar dengan segala pesolek di dalamnya. Seperti ada syaraf yang pincang dan tidak bisa mentransfer kebahagian dilingkunganku hingga menembus tepat di jantungku. Dan aku harus bagaimana?
Lanang. Laki-laki yang sempat mebuat pikiranku lelah dibuat olehnya. Lelah dengan segala tingkah konyolnya, tingkah ekstrimnya, dan tingkahnya yang selalu menyisakan tanda tanya. Kau tahu? Aku tidak pernah bisa melupakan pertemuan lucu itu.
“Hai kamu?” suara cemprengnya lebih buruk dari kuda yang tertawa. “Nama kamu siapa?” Aku yang sedang jogging di bouluvard merasa terganggu dengan kedatangannya yang tiba-tiba dan sungguh menyebalkan. Aku pun terhenti. Kuusap keringat yang bercucuran pada wajah dan leherku. Kutampakkan wajah yang angkuh dan tidak bersahabat. Wajahnya yang pas-pasan membuatku ingin segera enyah dari hadapannya.
Setangkai mawar merah pun melesat di depan ku. Aromanya yang khas menelusup hidungku. “Kamu mau nggak jadi pacarku?” Demi Tuhan! Makhluk apakah yang sedang menguji diriku ini. Bantulah hamba minggat dari makhluk ini. Buat aku pingsan Tuhan. Aku pun ketus melihatnya, al hasil dia malah tersenyum. Aku pun menghindar dan kabur darinya.
Begitulah kesan bodoh yang membuat hidupku sedikit berbeda. Yang awalnya abu-abu kini mulai muncul bercak pelangi. Entah bagaimana ceritanya kita bisa dipertemukan dalam ruangan. Waktu itu aku diundang sebagai pengisi di acara talkshow salah satu kegiatan mahasiswa di kampus, dan kebetulan atau kesialan, Lananglah moderatornya.
“Maaf mbak Jasmine, sudah lama menunggu?” seorang yang sudah lama kutunggu pun datang dengan tanpa rasa bersalah atas keterlambatannya.
“Iya, mas. Nggak masalah.” Dan ketika aku melihat wajahnya yang menurutku jelek itu membuat nafasku seketika berat.  “Kamu..!!”
“Iya Mbak? Udah ingat saya?” dia pun duduk sambil menyalamiku. Kujabat tangannya yang terulur. Aku pun masih bingung dan kaget dengan kedatangannya,
“Kok kamu bisa di sini?”
“Iya Mbak, demi mendapatkan cinta mbak Jasmine, saya rela ngejar-ngejar mbak hingga ke ujung dunia pun.” Mulutnya pun mulai berkowar tak tahu malu. “Gimana mbak dengan tawaran  saya tiga hari lalu? Mau jadi pacar saya?”
Aku pun mulai naik darah, rasa-rasanya ingin menumbat mulut bocornya yang seenaknya berkata.  Senyum palsu pun kupaksakan menenggealamkan wajahku yang mulai berkerut emosi. “Nggak harus dijawab sekarang kok mbak Jasmine.  Kita bahas materi talk show aja.”  Dia pun nyengir seperti kuda.
Obrolan pun melelehkan kebekuanku. Ternyata memang dia agak gila, nggak punya malu, dan memang suka bercanda. Jadi kusimpulkan secara dangkal bahwa dia hanya bercanda mengenai tingkah dan kata-kata konyol yang membuat darahku terpompa.
Namanya Lanang, seorang editor di salah satu surat kabar di Yogyakarta. Banyak sedikit, cerita pengalaman hidupnya memenuhi ruang imajinasiku. Bagitu juga denganku, dia antusias sekali dengan setiap sketsa yang kususun dalam kata-kata. Aku rasa tidak masalah ketika menjadikannya temanku. Lucu dan menyenangkan.
Pendek cerita, kita jadi sering ngobrol bareng, makan bareng, sesekali juga jogging bareng dikala ada jadwal senggang yang sama. Dan waktu itu aku lupa dengan kondisi hatiku yang kemarin sedang tertidur. Dia terabaikan.
Dua bulan. Bukanlah waktu yang lama untuk mengenal, tidak juga terlalu cepat untuk mengetahui. Tapi bagaimana dengan satu hal yang mengguncang?
“Jasmine, Kamu mau kan bertunangan denganku?” Toba-tiba lanang bertekuk di depanku. Lucu. Hampir setiap hari Lanang menyatakan kalimat basi itu dihadapanku. Hanya saja ini berbeda, tunangan‘. Aku pun hanya bisa tersenyum, menghormati usahanya untuk membuatku tersenyum.
“Haha, gimana proyek kamu kemarin Nang?” aku mencoba mengalihkan. Namun ternyata salah, wajahnya tegang menyorot pada mataku. “Nang..?” Aku mencoba memastikan Laki-laki ini hanya sedang bercanda. Aku pun mencoba membalas tatapan matanya. Benar. Kali ini dia serius. Dia mengeluarkan cincin dari sakunya. Memegang tanganku yang lemas karena semua kejutan ini.
Apa? Dia serius? Dia serius dengan semua ini?
“Aku benar-benar telah menetapkan hati ini pada satu nama. Kau Jasmine. Sejak mata ini tepat jatuh pada matamu.”
Kutangkis cincin yang berada tepat diujung jari manisku. Menggelinding. Begitu juga butir air mataku yang tiba-tiba menggelinding dari cangkangnya tanpa aku sadari. Kenapa aku menangis? “Maaf Nang. Aku belum bisa.” Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dia tersenyum.
Hari ini hari Rabu. Sebuah rumah sakit jiwa di magelang yang berdiri megah itu menjadi tempat kunjungaku pagi ini. Ditemani seorang Tante Anisa, kami hendak menjenguk sahabatku Shelly. Sudah lima tahun dia mendekap di pondok itu. Tiga tahun lalu dia adalah gadis cantik juga cerdas. Dia adalah sahabtku. Dan karena sesuatu yang disebut CINTA-lah yang membuatnya menjadi demikian. Tiga tahun lalu dia mencintai seorang laki-laki bernama Fiksi, sahabatku juga. Mereka saling mencinta, tapi tak ada yang berani membuka pintu terlebih dahulu, hingga Fiksi, menutup pintunya untuk selama-lamanya. Dia meninggal di hari pertunangannya. Dia sudah mempersiapkan dengan matang kejutan pertunangannya itu. Aku pun membantu sedikit menyiapkan karangan bunga untuk Shelly kala itu. Hingga pada akhirnya kami menunggu hingga malam telah pergi. Sampai kabar kematianlah yang kami dengar. Bagitulah akhir dari cinta yang dikandung sahabatku, Shelly.
Lantas bagaimana denganku? Aku sendiri belum paham betul dengan cinta. Sepanjang perjalanan aku hanya melamun, sibuk dengan pedalamanku yang terus menderu. Mempertanyakan kesungguhan rasa yang ada dibaliknya. Bagaimana bisa? Aku belum mengenal cinta sebelumnya? Bagaimana aku bisa mengindikasi apa itu cinta? Yang aku tahu, hatiku terasa sesak dan penuh dengan teaterikal kemarin malam.
Sampai di sana, Shelly pun datang dengan seorang suster. Dia nampak pucat dan kurus, mungkin susah makan. Matanya bergerak mencari lelaki yang membuatnya seperti ini. Sungguh tak kuat hati melihat sahabatku ini terpenjara dalam dunianya yang penuh fatamorgana. Shelly pun mengamuk karena orang yang diharap kedatangannya tak juga dijumpa. Aku pun memeluk erat tubuhnya yang mulai tak terkendali. Air mataku mengalir tak terbendung lagi. Seakan lupa dengan Lanang dan segala rayuan gombalnya. Dalam hitungan satu-dua-tiga-empat perempuan ini lumpuh dalam pelukanku, setelah jarum tertusuk padanya. Ada perasaan hangat yang hadir dalam dadaku. Mengenalkan sebuah rasa yang amat besar dan mendalam. CINTA. Sama dengan apa yang kurasakan terhadap Lanang.  Jadi inikah yang namanya cinta?
Sebuah pesan singkat tertulis di layar ponselku. Lanang.
Maaf atas kelancanganku.
Perkenankanlah diriku untuk mendapat maaf darimu.
 Ada sesuatu yang harus aku sampaikan.
Kalau tidak keberatan, kutunggu di taman pelangi, kamis, jam tujuh malam.

Kamis malam ini berbeda dengan kamis lainnya. Meskipun belum yakin betul dengan perasaanku, tapi laki-laki bernama Lanang berhasil mencoret-coret lembar hidupku dengan berbagai warna tinta. Gadis seusiaku merasakan jatuh cinta yang pertama kalinya. Seperti ABG telat saja. Tak apalah, aku rasa aku sudah siap dengan apa yang akan dikatakan Lanang. Lamaran itu, aku rasa sudah Jari manisku siap menjadi tempat bersemayam untuk cintanya. Ya. AKU SIAP.
Lima menit sudah menanti, Lanang datang dengan perempuan yang cukup cantik.
“Kenapa dia tidak kau ajak ke sini?” dengan polosnya kutanyakan pertanyaan itu.
“Ah, tidak masalah hanya sebenatar saja.”
“Ajaklah adikmu ke sini, kenalkan denganku.” Lanang hanya tersenyum padaku. “Biarkan dia di sama saja.”
“Ada sesuatu yang ingin kamu katakan Nang? Maaf soal yang kemarin.”
“Tidak masalah, aku menghormati keputusanmu. Karena memang cinta tidak pernah bisa dipaksakan.” Ada kata-kata yang mengusik kecepatan detak jantungku. “Kau memang tidak pernah bisa mencintaiku.” Lanang pun memfonis perasaanku dengan seenaknya. Namun dia tak memberiku kesempatan untuk membuka mulutku. “Maaf atas semua kebodohanku yang pernah mencintaimu.”
Degup jantungku semakin kencang saja, semakin berat saja syaraf untuk membuka mulut ini. “Dan kau tak perlu khawatir. Aku tidak akan pernah lagi memintamu untuk menjadi pacarku.”
Nafasku terasa berat. Nyawaku seperti hendak melayang. Aku berusaha fokus, tapi gagal. “Bulan depan aku menikah.”
Petir..!! Halilintar..!! Ledakan bom..!! Semua jatuh tepat pada inti jantungku. Meledak membuat syaraf air mataku... Tidak!! Aku harus menahannya. “dengan dia, Namanya Anita.”
“hahaha,, Bagaimana Jas? Kau senang kan? Akhirnya ada juga yang mau dengan orang jelek sepertiku.” Aku masih saja mematung melihat matanya yang berkaca-kaca bahagia. “Sebagai sahabatku, kau harus bahagia Jas. Iya kan?”
“Hahahaha.. ” tawa pun meledak menyembunyikan nanar yang membara. “Aku senang sekali.” Entah bagaimana wajahku, aku tak bisa membayangkan.
“Mungkin terlalu cepat. Bukan berarti aku main-main denganmu kemarin. Itu beneran. Tapi aku juga tak bisa memungkiri. Setelah tiga bulan kau menolakku, anita datang dengan segenggam cintanya yang genap dan tulus. Dia temanku sejak SMA. Lagian wanita sesempurna dirimu memang tidak akan pernah mencintai laki-laki bodoh sepertiku.”
“Tapi terimakasih, ada banyak cerita yang telah terekam dalam bingkai kisah hidupku Jas.”
Rasanya berat sekali melebarkan senyum yang tulus dari bibir yang membiru ini. Aku harus memaksanya untuk tersenyum.
Kaki-kaki manusia itu perlahan menjauh dari pandanganku. Dunia menjadi kelabu, tanpa warna, tanpa suara, tanpa aroma. Air mata itu akhirnya sukses meluncur pada pipiku. Deras.
Biarkan saja, jarum-jarum ini merajam jantungku. Aku tak ingin menahannya, aku tidak ingin menyusul Shelly dalam dunianya. Cukup dia saja yang menjadi korban kegaanasan cinta. I must be strong.
Hari ini adalah hari kamis, hari pertamaku mengenali apa itu cinta, dan hari pertama pula mengenali apa itu sakit hati. Tidak masalah, Setidaknya dia berhasil. Berhasil membangunkan perasaanku yang selama ini tertidur.



#Pekalongan, Juli 2014S

Friday, July 4, 2014

HARI INI HARI RABU?



Hari  ini hari Rabu. 29 hari sebelum hari yang sangat penting itu datang. Hari yang selama ini menghantuiku. Hari yang membuat tawa dan senyumku tak bisa setulus dulu. Hari itu, hari yang sangat menegangkan bagiku.
Hari ini, tidak banyak yang bisa kulakukan. Hanya memandangi kalender yang menggantung di dinding kamarku. Memastikan tiap detik waktuku yang tersisa hanya untuk menunggui hari itu.
1319 hari yang lalu, Ketika mata ini mendarat tepat pada matamu. Laki-laki yang mengacaukan pikiranku.
Waktu itu satu koper besar dan tas ransel berat kubawa. Sebagai pendatang yang memulai petualangan di kota orang ini merasa asing dengan suasana Jogja. Udaranya, lingkungannya, orang-oragnya, bahasanya, semuanya serba asing bagi manusia pedalaman sepertiku. Namun semua keasingan itu terabaikan ketika kebingunganku dalam mencari alamat rumah, berujung pada pertemuan itu.


“Ada yang bisa dibantu mbak? Sepertinya sedang mencari alamat seseorang?”
“Iya,” aku pun gugup terpesona oleh kesejukan wajahmu, kelembutan suaramu, dan kesantunan 
prilakukmu. Kesan pertama yang mendebarkan. Aku pun gugup menunjukkan sebuah catatan kecil yang bertuliskan alamat kosan.
“Wah, ini sebelahan sama kos saya mbak.” Wajahmu nampak sumringah ketika alamat kosmu bersebelahan dengan alamat kosku. Entah kebetulan, kebetulan yang menyenangkan.


---



Hari ini hari Rabu. 22 hari lagi adalah hari itu. Hari yang aku pun tak tahu apakah aku sanggup melewati hari itu. Aku hanya takut dengan kemungkinan terburuk.
Hari ini aku masih saja duduk pada permadani ini. Tidak bisa kemana-mana dan tidak berhasrat untuk ke mana-mana. Hanya memandangi langit yang terbungkus dinding kamar, menghirup aroma udara yang terperangkap oleh ruangan. Sejengkal pun aku tak berani melangkah. Aku terlalu mengkhawatirkan hari itu.
752 hari yang lalu. Ketika tawa sudah melebur menjadi bahagia. Kata sudah membentuk kisah dan cerita. Berbagai gambar yang terangkai menjadi sebuah karya nyata. Kisahku dan kisahmu menyatu dalam keajaiban. Ketika senyumanmu adalah nafas bagiku, ketika tawamu adalah suplemen bagiku, ketika kehadiranmu adalah detak jantungku.

Aku ingat ketika kau mengajakku untuk bermain ke Alun-alun kidul. Ketika kita berjalan beriringan layaknya sepasang kekasih. Hanya saja kita tidak bergandengan. Kita dipisahkan oleh jarak yang disebut status teman. Sepanjang perjalanan aku berdoa, Fiksi, ayo nyatakan cintamu padaku. Hanya itu yang bergemuruh kencang dalam dadaku.

Kita pun duduk di tengah-tengah, antara dua pohon beringin besar. Duduk berdampingan seperti sepasang kekasih. Tak ada yang spesial dari obrolan yang kita bicarakan. Yang membuat spesial adalah kamu berada disampingku sekarang. Tak peduli obrolan apapun itu, tak peduli sampai kapan pun itu. Aku hanya ingin menikmati malam itu. Membiarkan jantungku berdebaran menyambut wanita yang sedang jatuh cinta.
Dan waktu itu jiwa ini belum menuntut akan balasan dari cintamu. Aku hanya sedang menikmati euforia cinta yang sedang menggila pada diriku sendiri. Itu sudah lebih dari sekedar indah.
--


Hari ini hari Rabu, 15 hari lagi sebelum hari itu. Ah, lima belas hari merupakan waktu yang sangat cepat untuk menjumpai hari yang menakutkan itu. Rasa-rasanya aku tak pernah siap untuk kehilanganmu.

Apalagi mengingat banyak sketsa yang mengabadikan kisahku denganmu. Yang terekam dalam bingkai keabadian. Semua itu benar terukir indah pada pedalamanku. Menenggelamkanku dalam lautan penuh asmara. Tepatnya 401 hari yang lalu, waktu kita berdua duduk di atap rumah kos-kosanku. Kebetulan pohon mangga menjulang tinggi di depan kosku. Pohonnya yang gemuk dan memang sudah biasa dinaiki itu, membuat perempuan sepertiku berani untuk menghabiskan malam di atap rumah. Lebih-lebih ditemani laki-laki yang mengisi rongga hatiku. Menghabiskan waktu hingga tengah malam hanya untuk memandang langit. Melihat percakapan bintang, bulan, awan dan angin malam yang bersenandung dalam hikmatnya malam. 
kita berdua tidur telentang memandangi malam. Seperti biasanya, aku hanya bisa menikmati irama jantungku yang terus berpacu. Namun, semakin hari rasa lelah pun mulai tumbuh. Hasratku mulai memberontak untuk meminta lebih. Hatiku butuh cermin untuk merefleksikan rasa yang terus berpendar ini. Aku membutuhkan balas cintamu.

“Shel, jika kamu punya satu permintaan yang pasti dikabulkan, apa permintaan itu?” Tiba-tiba Fiksi menanyakan pertanyaan yang membuatku membeku. Seperti terkena sihir yang mematikan.
“Shell?? Kamu nggak kenapa-kenapa kan?”
“Ah, iya Fik. Ngak papa kok,” untungnya keteganganku tak begitu teraba oleh panca indramu. “Aku hanya ingin, semoga Tuhan memberikan sensor kepadamu.” Jemariku menunjuk pada hidungmu, terasa dingin dan halus.

“Apaan sih Shel..?? sensor apaan? malah ketawa pula.” Dia membalas menyentuh hidungku. “Dasar pesek..!”

Tawa pun terpecah di langit-langit malam. Menyisakan tanda tanya dibenakku, Apakah Kamu juga mencintaiku? Lidahku belum siap untuk menanyakan itu padamu.


--


Bukankah hari ini hari rabu? 8 hari lagi aku akan menemuinya. Aku sudah lama sekali menunggumu di kamar ini. Hari ini aku tidak begitu tegang dan takut, dibanding beberapa hari yang lalu. Seseorang mengatakan bahawa hari itu kamu akan datang dengan bunga-bunga yang harum, dengan jaz hitam dengan dasi merah. Dengan lagu favorit milik kita yang akan kau lantunkan hanya untukmu. Dengan parfum khasmu, yang membuat bulu roman ku merinding tiap tercium olehku. Dengan gombalanmu yang selalu membuat perutku tergelitik oleh itu. Dan dengan cincin yang siap mengikat kita berdua dalam keabadian. Tapi. Tapi aku takut kehilanganmu.

205 hari yang lalu, kamu masih sama. Seperti membuatku terombang ambing dalam ketidak pastian. Hatiku merasa sesak dengan ketidaknyamanan ini. Aku ingin segera menyakan itu padamu. Tak peduli aku seorang perempuan. Aku hanya ingin memerdekakan perasaan yang terpenjara dalam dadaku. Dan aku pun tak peduli dengan jawabanmu atau reaksimu nanti. Itu masalah nanti.

Pagi itu kau mengajakku bersepeda. Kebetulan yang sangat  menguntungkan bagiku. Aku tak punya sepeda, dan sepeda milik teman kosku pun sedang dipakai semua. Mau tak mau kau pun harus memboncengkanku. Hampir setengah jam kita bersepeda bersama. Berada di belakangmu membuatku merasa tak sabar untuk menggapai jiwa dan cintamu. Hingga perjalanan itu terganggu saat roda depan sepeda tergelincir pada jalan yang bolong. Sepeda pun terguling. Aku yang kaget  pun langsung berusaha mencari pegangan supaya tidak jatuh. Al hasil, kita pun terjatuh. Aku berada tepat di atasmu. Aku amati wajahmu yang amat tampan itu sepersekian detik yang berjalan begitu sangat lama. Matanya yang sejuk memanjakanku dalam tatapannya. hembusan nafasnya terhempas pada hidungku, terasa hangat.  Jantungku pun menderu kencang, mungkin goncangannya terasa olehmu. Benar-benar seperti di sinetron-sinetron.

 Aku pun merasa pasrah jika akhirnya kau memang harus tahu tentang perasaanku, atau aku yang harus mengatakan kepadamu sekarang juga. Fiksi, kau tunggu apalagi. Jangan buatku lebih lama lagi menjadi manusia pesakitan dalam penantian cintamu.

Kejadian itu pun tidak membuat banyak perubahan. Nyatanya, nyaliku sebagai seorang perempuan belum berani melontarkan kata suci dari lidahku ini. Begitu pula dengan mu, kau masih saja tidak mengerti dengan semua perhatianku. Mungkinkah kau tidak mencintaiku? Apa kau hanya ingin mempermainkan hatiku? Pertanyaan-pertanyaan itu sempat muncul pada bagian otakku. Tapi aku segera menghempaskannya, karena aku tahu dan aku yakin. Kau juga mencintaiku. Kau pasti mencintaiku. Kau hanya butuh beberapa waktu lagi untuk meluapkan sesuatu yang bersembunyi di balik dadamu. Yah, mungkin karena aku terlalu mencintaimu.


--


Rabu terakhir? Sehari sebelum aku bisa bertemu lagi denganmu Fiksi? Lagi? bukankah kita selalu bersama? Lantas selama ini kau di mana? Kenapa kita tidak bersama? Harusnya kita selalu bersama, kan kita tetangga kos. Apa seseorang yang bilang kau akan datang esok itu bohong? Tapi kenapa selama ini aku menungguimu? Bukankah kita harusnya bersama? Aku jadi sedikit pusing.
100 hari yang lalu sahabatku bilang kepadaku. Ia mengerti sesuatu rahasisa besar yang disimpan oleh kau Fik. Tanpa sengaja dia mendengarkanmu berbicara di tempat favorit kita, di atap kosku, bahwa sebenarnya kau mencintaiku. Bahkan kau berencana akan mengajakku bertunangan. Tanpa perlu melalui proses pacaran yang panjang dan kekanak-kanakan. Aku tahu itu, aku tahu itu semua. Aku sangat bahagia hari itu. Rasa-rasanya seperti surga hadir di depan mataku secara tiba-tiba. Aku pun sudah tidak sabar untuk hari itu. Sepertinya kau ingin memberi kejutan padaku. Iya, benar saja akhir-akhir ini dia terlihat tak acuh denganku. Kau sengaja membuatnya demikian agar aku merasa ganjil dengan itu. Akh, kau ini Fik. Aku sudah tahu. Lakukanlah hal termanis yang kau bisa sayang. Aku akan sangat bahagia.
Tapi entah, itu 100 hari yang lalu. Bagaimana dengan hari esok. Terlalu banyak kebahagiaan yang menggantung pada ketidakpastian. Rasa ganjal dan ragu-ragu akan hari esok masih saja menjulang tinggi di dadaku.

--

Hari ini bukan hari rabu. Aku sudah menggunakan pakaian yang kau hadiahkan untukku. Menggunakan parfum favoritmu, walaupun aku tidak begitu suka. Juga membawa boneka yang kau berikan pada hari ulang tahunku. Tak lupa aku bercermin dan menyolek wajahku dengan bedak dan gincu. Seakan-akan ini hari paling spesial dalam hidupku.
Lantas bagaimana dengan perasaanku saat ini? Aku tidak begitu tahu.
Seseorang perempuan berbaju putih mengajakku keluar dari kamarku dan menuntunku ke arah cahaya. Setapak demi setapak kakiku melaju menuju sebuah ruang yang cukup besar dengan satu meja dan beberapa kursi. Kupandangi satu per satu tiap sudut ruangan itu. Terdapat seorang perempuan separuh baya dengan baju putih, dengan stetoskop yang menggantung. Ternyata ibuku juga ada di ruangan tersebut, begitu juga dengan sahabatku Jasmine.

Banyak pertanyaan besar yang bermunculan di kepalaku. Kenapa Ibuku ada si sini? Begitu juga dengan Jasmine? Dan siapa perempuan itu? Kenapa pula Ibuku nampak sedih dan sembab matanya, seperti habis menangis semalaman. Begitu pula Jasmine, bukankah dia sahabatku yang paling crewet? Tapi kenapa dia hanya memandangku dengan tatapan dingin? Seakan aku adalah manusia pesakitan yang minta dikasihani.

Kenapa? Kenapa suasananya jadi seperti ini? Kenapa aku merasa tidak nyaman sekali sekarang, perasaanku semakin kacau, tak terkendali. Di mana? Di mana kau Fiksi? Bukankah harusnya kau datang seperti yang dikatakan perempuan tadi.
“Arrgghhh..!!” Mulutku pun tak mampu menahan sesak di dada. Berkali-kali aku pun teriak keranjingan. Tanganku pun melempar dan menghantam apa pun yang terlihat oleh mataku. Sekilas terlihat oleh sudut mataku, ibuku menangis, bahkan tersedu-sedu. Aku pun semakin bingung, dan jantungku semakin keras berpacu. “Argghh..!!!” Teriakanku pun semakin keras. Jasmine pun bergegas memelukku erat. Aku pun merasa sesak dan tak bisa bergerak, hingga aku pun berontak.

Jedukk..!!

Sikuku mengenai wajah Jasmine. Jasmine pun terlihat kesakitan, tapi menahannya demi membuatku tenang. Entah, aku pun merasa semakin tidak senang dan tidak nyaman dengan kondisi ini. Aku pun semakin menjadi-jadi.

Tiba-tiba, dengan sigapnya perempuan berstetoskop itu menusukku dengan benda tajam. Sepertinya aku pernah mengalami kejadian yang sama persisi seperti ini beberapa waktu yang lalu. Benda tajam ditusukkan ke pantatku. Bukankah itu jarum suntik.  Kenapa? Sepuluh, tiga, tujuh, enam, warna-warni pelangi bertaburan di pelipis mataku.

Redup.

Hitam.

Gelap.



*bersambung