Pernahkah kita
bertanya-tanya tentang siapa yang paling bertanggungjawab atas sebuah kekacauan
yang ada di sekitar kita. Coba lihatlah dengan jiwa yang tenang dan jernih.
Bisa jadi orang yang peling bertanggung jawab adalah diri kita sendiri. Tapi
hati-hati, jangan sampai kita merasa terbebani dengan tanggungjawab yang kita
pikir adalah milik kita. Seperti yang telah difikirkan oleh Rasus. Setelah
perjalanan panjang hidupnya yang diwarnai dengan segala macam pergelutan hati
dan pengkhidmatan hidup. Ia akhirnya menyadari bahwa dialah yang paling
bertanggungjawab atas kemelaratan, kecabulan, dan kebodohan Dukuh Paruk. Dukuh
yang dianggappnya sebagai ibu kandungnya sendiri yang telah belasan tahun
membesarkannya.
Inilah
Novel Dukuh Paruk. Sebuah cerita yang diangkat dari sebuah dukuh terpencil yang
mandiri dengan segala kebodohannya. Ahmad Tohari berhasil menciptakan sebuah
dukuh yang benar-benar miskin, dan bangga dengan kemiskinannya. Cabul, dan
itulah yang membuat mereka bangga. Bodoh, sudah menjadi bagian dari
jatidirinya.
Boleh
jadi novel ini sudah beredar di jajaran karya sastra lain sejak era ’80-an.
Namun keelokan bahasanya, keserasian kata dalam mengilustariksan tiap-tiap
adegan benar-benar hidup. Pembaca akan merasa berada dan terlibat langsung
dalam buku yang sudah dicetak ke delapan kali ini. Setiap kalimatnya
benar-benar serat akan makna. Bukan hanya sekadar pemanis atau pengimbuh
kalimat.
Dengan
latar konflik yang melibatkan kejadian G 30 S PKI ini. Ahmad Tohari menyentil
sebuah kekacauan akibat kejadian itu. Secara ilustrasi beliau mengkritik
pemerintah yang bersikap tidak manusiawi terhadap masyarakat Indonesia yang
terlibat dalam pemberontakan atau pun yang diduga terlibat, seperti warga dukuh
paruk yang ikut keciduk meskipun mereka tidak tahu apa-apa tentang
pemberontakan.
Dalam
bagian akhir dijelaskan bahwa Srintil, pemeran utama dari novel tersebut
benar-benar tercabik-cabik jiwanya dalam dalam tahanan. Bahkan Rasus, warga
dukuh paruk yang diangkat sebagai tentara juga mengalami konflik batin saat
harus mengbredel nyawa manusia dengan senjata api.
Di
bagian akhir disampaikan pesan samawi yang begitu jelas. Rasus, merasa dirinya
bertanggung jawab untuk mencerdaskan masyarakat Dukuh Paruk. Ia ingin
menggantikan pemujian terhadap sesuatu yang berkaitan dengan berahi, cabul,
beralih kepada pengangungan Yang Patut Diagungkan. Ia merasa bahwa kecabulan,
kebodohan, segala penyakit yang timbul adalah kesalahannya, karena dia membiarkannya
begitu. Dalam kontemplasinya, Rasus merasa sudah menjadi kewajiabnyya untuk
mencerdaskan ibu kandungnya. Mengajak Dukuh paruk pada kehakikatan hidup.
No comments:
Post a Comment