Oleh : Reza Rahmat Syah
Satu bulan yang lalu. Ketika mereka kedatangan tamu dengan seragam dinas. Tanpa babibu tamu itu segera pergi setelah menyerahkan sepucuk surat. Surat itu Ibu yang menerimanya. Dengan segera dibukanya surat itu. Ibu mengucek matanya keras-keras. Air matanya terkucur oleh secarik kertas yang terbentang di tangannya. Sebuah undangan spesial dari kantor pengadilan. Paras mukanya seketika berubah masam dan mendung. Tubuhnya oleng. Beruntung Rista berhasil menyangganya dan memapahnya ke dalam.
Rista yang penasaran dengan isi surat itu pun merebutnya. Tak kalah kaget, Air mata Rista pun tiada mampu tertahan. Ia pun meremas surat itu dan melemparnya. Didapatinya ibunya yang tengah kosong memandang foto keluarga yang terpampang besar di dinding ruang tamu. Dia, Rista, dan seorang laki-laki yang berada di samping Ibu.
“Ibu tidak harus datang untuk ini.” Ujar Rista mencoba menenagkan ibunya. “Istighfar, ibu. Bukankah ibu sudah tahu hal ini sejak lama. Ikhlaskan. Ikhlaskan.”
Semenjak itu, hingga tanggal yang tertera pada undangan itu datang, ibu memilih sibuk dengan doa-doa dan bayangan di balik tatapannya yang kosong.
***
“Ibu, Ayo bangun. Ayo makan terlebih dulu. Sudah seharian ibu tidak makan. Ibu bisa opname kalau tidak mau makan. Ibu bisa melanjutkan doa ibu nanti.” Rista merengek di depan ibunya yang tengah duduk bersila di atas sajadah. Matanya sembab, sudah sedari tadi air matanya tak kunjung henti mengalir. Segelas susu segar beserta bubur, obat, suplemen, lengkap dengan buah-buahan melingkar. Namun tak ada satu pun yang disentuhnya.
Perempuan itu duduk bersila di atas sajadahnya. Di sebuah ruangan di sudut rumahnya. Mukena putih dengan bordiran bunga-bunga membalut tubuhnya. Tangan kanannya bergantung sebuah tasbih dari marmer. Dingin. Perlahan, jemarinya gemetar memutar tasbih dengan takzim. Mulutnya sedikit menganga melafalkan doa-doa yang nampak samar. Pandangannya lurus ke depan. Lurus. Sedang jiwanya sedang pergi entah ke mana. Hilang. Mimik wajahnya datar-tidak berekspresi. Sedang waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Mukanya pucat dan tubuhnya dingin sekali. Terlebih penyakit jantung yang dimiliki Ibu membuat Rista semakin kahwatir.
“Rista mohon Ibu, ayo makan!!” Rista yang nampak semakin khawatir dengan ibunya pun memaksa menyuapi bubur. Sesuap sendok tertahan di bbibir mulutnya. Benar-benar tidak mau dibuka. Seketika itu pula, tubuh lemahnya ambruk. Tubuhnya jatuh sempurna di atas makanan. Hal yang dikhawatirkan Rista pun benar-benar terjadi.
Rista panik. Wajahnya nampak seperti orang yang begitu kebingunan. Sampai-sampai ia tak sadar telepon genggamnya ada di tangan kanannya. Panik harus segera menghubungi ambulan.
Di sisi lain, di dalam ketidaksadarannya. Gambar demi gambar pun melesat di depan wajahnya.
“Ibu.” Sebuah bayangan tangan melambai-lambai seakan ingin meraih dan menjangkau tangannya. Tak jelas rupa laki-laki yang memanggilnya, namun laki-laki itu begitu nyata. Laki-laki itu duduk di sudut ruangan sempit juga berbau tidak sedap. Tubuhnya lemah tidak berdaya. Pakainnya sebra hitam, bahkan kulitnya nampak hitam. Suaranya yang memanggil nama ‘ibu’ terasa begitu serak dan nestapa. Laki-laki itu sendirian dan merasakan hal mengerikan.
“Kamu kanapa, Nak?” Perempuan itu jerih memandangi. “Kenapa kamu menangis di pojokan. Sini.” Tangannya melambai mengajak untuk mendekat.
Laki-laki yang dipojokan itu urung mendekat. Ia malah memilih menundukkan kepalanya. Tubuhnya semakin kurus saja. Tinggal kulit dan tulang. Suarannya parau memanggil-manggil nama ‘ibu’.
Setelah itu laki-laki cungkring itu berhenti memanggil. Dia beranjak menuju ke kamar mandi dan membuka keran. Satu demi satu rukun wudhu dikerjakan olehnya. Ruangan masih terlihat kelam dan gelap. Hanya ada sinar rembulan tersibak di balik pepohonan. Usai dua kali dua rakaat sholat dikerjakannya, ia mengambil Al-Quran. Nada sendu mengiring surat Arrohman yang dibaca olehnya. Perlahan air matanya mengalir dan menetes hingga ke tanah. Ibu itu hanya bisa memandangi dari ‘kejauhan’ dan teriring oleh isak tangisnya.
Usai membaca Arrohman berulang kali, laki-laki itu mengambil makan sahur dan ditutup dengan sholat shubuh. Semua itu berputar terus menerus hingga hampir tiga puluh kali. Tiga puluh hari.
Genap hari ke tiga puluh satu, tubuh itu tinggal tulang dan kulit. Matanya cekung. Bibirnya kering. Mukanya kuning. Sungguh tak tega memandangi laki-laki berwajah masam itu.
Tepat di hari tiga puluh satu, saat laki-laki itu telah selesai mengkhatamkan bacaan Arrohmannya, seorang datang mengunjunginya. Ia lalu membisiki sesuatu padanya. Laki-laki cungkring itu mengangguk. Lalu mereka berjalan menuju ruangan yang serba putih dan sangat luas. Ruangan itu begitu hampa dan hening. Seakan telinga tiada lagi berfungsi.
Dia mengikatkan seutas tali untuk menutup mata laki-laki cungkring itu. Setelah membisikkan sesuatu yang kedua kalinya, orang itu meninggalkannya sendirian di tengah-tengah ruangan. Lantas laki-laki cungkring itu tersenyum.
Sepuluh meter dari dirinya terdapat dua belas laki-laki dengan baju yang juga serba putih. Masing-masing duduk di atas kursi kayu. Semua mata tertuju pada laki-laki cungkring itu. Ada yang malu-malu memandang, bermuka garang, ada yang bermuka sedih, ada juga yang datar-biasa saja. Seseorang membacakan sebuah tulisan yang terbentang ditangannya. Namun entah isinya apa, tak begitu penting bagi laki-laki cungking itu.
Seseorang lagi datang dengan membawa samurai yang panjang dan berkilau, sebagai pemberi aba-aba akan datangnya ‘hajatan’ besar. Sedang dua belas orang tadi hampir serentak mengangkat senapan laras panjang yang sudah terisi amunisi. “Klakk..!” Suara kokang senapan terdengar keras sekali.
Degup-suara jantung perlahan memenuhi gendang telinga. Keras sekali. Kencang sekali. Laki-laki cungkring itu semakin kencang menggetarkan bibirnya yang tengah membaca lafal syahadat. Berulangkali. Berkali-kali. Bulir-bulir keringat menggumpal di pucuk hidupnya. Tubuhnya membiru karena terlanjur kaku dan tegang. Satu detik terakhir yang terasa amat memilukan.
Lalu laki-laki bersamurai mengangkat samurainya ke langit-langit. Tepat pukul 00.00 dini hari. Tubuh ibu itu bergetar kencang sekali. Bergetar dan terbangun dari pingsannya.
Saat dia tersadar, dia sudah berada di ruang ICU. Rista tertidur disampingnya. Wajahnya persis menghadap ke arahnya. Sedangkan selang-selang saluran infus menempel di hidung, lengan, dan semua tersambung pada tubuhnya. Di sampingnya layar monitor dengan gambar denyut jantung yang berjalan pelan.
Ia pun segera melihat jam yang menggantung di pojokan dinding. Jam menunjukkan pukul 00.00 dini hari. Tiba-tiba ia teringat kembali dengan segala tasbih, mukena, doa dan segala sesuatunya.
Perempuan itu menangis seketika, berteriak keras, histeris. Rista pun terbangun dan kaget melihat ibunya teriak-teriak. Ia pun berlari memanggil suster yang sedang berjaga. Saat Rista beserta perawat memasuki ruangan, Ibu itu tengah tergeletak di lantai. Tangan kanannya meraih mukena dan tasbih miliknya. Suster dan Rista pun segera mengangkat ibu dan merebahkannya ke kasur.
Perawat itu segera mengambil jarum dan menyuntikan serum ke lengan kanannya. Ibu itu segera memainkan kembai tasbihnya. Meski dengan amat lemah sekali. Lagi-lagi doa itu menggantung di bibirnya yang menganga.
***
“Dor..!!” Suara peluru yang melesat dari sarangnya sepersekian detik setelah dua belas orang menekan pelatuk pada laras panjang, menggema udara. Keras sekali memekakan telinga. Sepersekian detik berikutnya peluru itu berlari kencang sekali hingga menembus ke target sasaran. Berhenti dan bersarang pada tubuh laki-laki cungkring itu.
Si cungkring itu ambruk dan tersungkur. Bersujud ke arah kiblat. Sisa nafas masih bersyahadat memanggili namaNya. Semua rasa tegang, khawatir, dan takut yang dirasakan si cungkring itu, menghilang bersama nafas yang mulai terkikis. Terdengar nafasnya yang tersengal. Perlahan mulai menipis dan hilang. Hingga akhirnya detak terakhir menemani kenangan menatap cahaya kematian.
Dua belas orang dengan senyum tipis, merasa bersalah, bermuka ngeri, takut, dan sisanya datar-biasa saja, beranjak meninggalkan si cungkring yang tersungkur.
Tiba-tiba seseorang datang dari langit. wajahnya putih, bajunya putih, tubuhnya putih, semua serba putih. Orang itu perlahan membangunkan si cungkring dan memapahnya. Baju hitam yang semula ia kenakan berubah menjadi putih. Darah yang mengalir dari tubuhnya lenyap bersama dengan aroma yang tidak sedap. Tubuhnya tidak lagi cungkring. Parasnya yang tidak jelas lambat laun menjadi nampak jelas. Bersih dan rupawan.
Bersama orang yang datang dari langit, laki-laki cungkring yang sudah tidak lagi cungkring itu mendekati ke arah ibu yang sedari tadi hanya diam dan memperhatikannya. Ia datang lalu menyambut tangan ibu yang tergolek lemas di rumah sakit. Laki-laki itu memeluk tubuh perempuan tua yang terbungkus mukena itu. Sama persis saat dulu si cungkring itu menghadiahkan tasbih itu untuk ibunya.
Laki-laki itu lantas membisikkan sajak untuk ibu itu. Lantas dia pun tersenyum.
No comments:
Post a Comment