Tuesday, February 25, 2014

Sahabat Lama

Kemeja bermerk Nevada membalut tubuh hitamku. Kusemprot pengharum klasik pada kain itu. Aromanya memanjakankan indra penciumanku.  Dengan sisir merah, kurapikan rambut hitamku. Kulirik jam yang melingkar ditanganku. Masih pagi. Kusegerakan menyantap sarapan pagiku, segelas air susu dan roti isi keju yang dioles selai nanas.
Hari ini aku ingin berkunjung ke suatu tempat. Tempat yang aku dan teman-teman kecilku menyebutnya sebagai surga. Aku pergi ke sana untuk menemui sahabat lamaku. Sahabat kecilku.
Kidung Stay yang dinyanyikan Rihana menemani perjalananku. Aku rasa aku butuh hiburan untuk menemani perjalanan yang cukup jauh ini. Aku termasuk orang yang suka dengan hiburan. Biasanya dengan menonton film hollywod kesukaanku di bioskop. 
Ingatanku mulai merambah kenangan masa kecilku. Saat aku berlari tanpa mengenal lelah. Saat aku belum mengenal apa itu kesibukan. Saat aku masih hanya mengenal rasa bahagia. Ingatan itu masih kental dalam otakku. Oh, Surgaku.
Tidak terasa lamunanku memangkas lama perjalananku. Satu jam membawaku berada tepat di depan sebuah gang. Sepertinya mobilku tidak sanggup memasuki gang kecil itu. Aku pun berjalan mengikuti jalan setapak. Jalanan yang becek membuat sepatu nikeku kotor. Tak masalah. Aku bisa melaundrynya nanti.
Mataku langsung tertuju pada sebuah kebun yang dipenuhi pohon mangga, pisang, dan bunga sepatu.  Di sudutnya ada sebuah tanah lapang yang menjadi tempat favoritku bermian bola, kadang juga bermain gobak sodor, bermain kelerang, petak umpet, lompat tali, dan pelbagai permainan anak lain. Aku masih ingat semua permainan itu, bahkan sampai tata cara dan aturan mainnya. 
Lihat! Anak-anak itu berlarian dengan senyum terbaiknya. Sebuah tawa yang sudah lama tidak kujumpai.
Kulihat tetangga-tetangga lamaku menyapaku. Memberikan senyum terhangatnya kepadaku. Ada yang tengah menyapu halaman rumahnya, ada yang tengah menyirami tanamannya, ada yang tengah sibuk dengan ayam dan burung daranya. Aku tak ingin berlama-lama dengan mereka. Aku ada urusan yang lebih penting dengan sahabat lamaku.
Pada sebuah tempat mataku tertambat. Sebuah tempat yang cukup luas dan ramai. Aku ingat waktu aku juga berada di tempat ini dengan canting di tanganku. Aku selalu suka bagian meniup ujung canting yang telah terisi cairan malam panas. Kugoreskan canting pada kain putih itu dengan motif batik bercorak bunga, ikan, merpati, kadang juga ular naga. Lalu diberi warna, diberi isen-isen, dicelup, dan dilorot. Aku masih ingat betul proses membuat batik tulis. Masih sama, tempat pembatikan ini dipenuhi pegawainya yang rata-rata anak remaja.
Disebelahnya ada sebuah pendopo tua yang terbuat dari kayu jati dengan atap jerami. Di sana dikerumuni banyak anak-anak. Sebuah layar putih satu kali dua meter membentang. Seorang kakek tua berkumis lebat itu memainkan wayang kulitnya. Mbah Surip namanya. Dia sering melakonkan Rama Shinta dalam setiap penampilannya. Terkadang juga lakon pandhawa lima. Tangannya terlihat lincah memainkan wayang tersebut. Begitu juga dengan mulutnya yang berkomat-kamit mengisi suara lakon dalam pewayangan.
Terkadang pendopo itu juga dijadikan tempat pertunjukan seni seperti tari ronggeng, jaipong, dan tari piring. Terkadang juga pertunjukan kuda lumping. Tempat ini menjadi tempat favorit bagi warga di kala malam berkunjung.
Terlalu banyak kenangan manis di sini. Di tempat ini, inilah jati diriku. Inilah surgaku, kebahagian.
Di ujung gang ini kakiku terpatri. Mataku membelalak. Sebuah rumah kecil dengan bunga melati dan bougenvil menghiasi pelatarannya. Sebuah meja bundar dengan tiga kursi yang menemaninya di beranda rumah itu. Tepat di atas pintu, tertera nama pimilik rumah itu. Tak sabar rasanya bertemu sahabat lamaku. Pintunya yang tidak tertutup membuatku langsung masuk begitu saja, seperti dulu.
“Ke mana saja Kau selama ini?” Suara itu muncul dari seorang yang wajahnya tersamarkan oleh sinar matahari. Dia berdiri memandangku. Aku yakin, pasti dia.
“Halo Sahabat kecilku..”
“Diam..!” Pria itu menyentakku. Aku pun dibuat kaget olehnya. “Ke mana saja kau selama ini? Saat semua orang membutuhkanmu.. Kau di mana?” Dia teriak. Menuntut kepadaku. Memaksaku untuk menjawabnya.
“Hei. Ada apa denganmu? Aku baru saja datang dari jauh.”
“Aku kira Kau sudah lupa dengan tempat ini.”
“Aku tidak lupa. Aku hanya sibuk ....”
“Sibuk katamu? Kau sibuk dengan dunia barumu. Kau membiarkan orang-orang baru itu menghancurkan surga kita. Meruntuhkan budaya kita. Bahkan Kau membantu menghancurkan tempat ini. Kau melupkan kami. Keluargamu! ”
“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.” Aku berusaha memperjelas.
“Lihat dirimu? Kau bukan dirimu yang lama? Kau yang sekaranag adalah orang lain.”
“Ini Aku.” Aku berusaha mempertegas diriku.
“Bohong!!” Dia mendorong meja makan dan menjatuhkan piring dan gelas.
Semua menjadi semakin tegang. Tapi aku masih saja bingung dengan tingkahnya.
“Dengar.. Dengarkan baik-baik.” Nada suaranya melemah, tapi mendalam. Emosinya pun sedikit mereda. “Kau biarkan budaya luar masuk begitu saja. Kau biarkan milik kita hilang begitu saja digerus kenistaan. Kau tidak peduli dengan budaya bangsa kita. Kau lebih suka dengan dunia barumu.”
“Aku peduli. Aku peduli dengan budaya bangsaku. Bangsa kita. Jati diri kita.”
Tiba-tiba dia berlari mendekatiku dengan sebuah belati di tangan kirinya. “Bohong..!!” Dia berteriak. Dingin belati itu terasa di pipiku. Aku semakin tegang. “Ini semua salahmu!!”
“Kenapa Kau menuduhku?” Suaraku terisak ketakutan.
“Menuduhmu, katamu?” belati itu terasa semakin dingin. “Di siniliah tempatmu dilahirkan. Di sinilah Kau berkembang. Di sinilah Kau tertawa. Di sini nenek moyang kita menitipkan ribuan warisan budaya kepada kita.” Matanya semakin tajam memelototiku. Nafasnya hangat terasa di keningku. “Kalau bukan Kau yang menjaga tempat ini. Mempertahankan surga ini. Menjaga kebudayaan ini? Siapa lagi?”
Aku. Aku mulai mengerti mengapa dia marah kepadaku. Tapi, “Tapi, lihatlah! Bukankah tempat ini masih sama seperti dulu. Kau bisa melihatnya.”
“Kau buta. Bahkan kau tak sadar kalau surgamu, budayamu, telah direnggut orang lain. Matamu dihalusinasikan oleh sihir mereka. Kau terlalu nyenyak dinina-bobokkan mereka.”
Kata terakhir itu membuatku segera berlari ke luar rumah itu untuk menunjukkan bahwa semua yang dikatakannya itu salah. “Lihaaaat..!”
Lihat? Apa yang harus kulihat? Di mana semua itu? Di mana permainan tradisional? Di mana senyum ramah warga? DI mana tawa riang anak-anak itu? Di mana Mbah Surip dan boneka wayangnya? Di mana batik tulis itu? Di mana pendopo?  Di mana tari-tarian itu? Di mana? Di mana sekarang aku berdiri?
Kugosok mataku berulang-ulang untuk memastikan semua yang ada di depanku. Yang ada hanya gedung-gedung tinggi, mall, bioskop luar negeri, restoran western, tempat karaoke dan game online, distro, dan boutique. Di sebelahnya ada ayam goreng dari Kentucky, roti dari italia, daging asap dari timur tengah. Ada juga sebuah papan besar bergambar artis boyband dari korea, cover film dari holliwood, cover buku terjemahan dari inggris.
Di mana? Kenapa semua bisa jadi begini. Begitu juga dengan rumah itu. Rumah sahabat lamaku. Di mana pria dengan belati di tangannya itu? Yang ada hanya tumpukan sampah yang baunya menyengat hidung. Busuk.
Aku butuh jawaban. Aku butuh jawaban atas semua pertanyaanku ini. Siapa yang tahu kemana perginya surgaku?
Perempuan dengan rambut diikat yang mengenakan daster merah itu tengah menyapu halaman. Kudekati perempuan yang terlihat seperti pembantu rumah tangga itu.
“Ibu, Ibu tahu ke mana surgaku yang tadi di sini?”
Perempuan itu berhenti menyapu. Matanya menyelinap menatapku kosong, “Surgamu? Bukankah itu surgamu? Kenapa Kau tanyakan kepadaku?”
*tamat

1 comment: