Hari ini hari Rabu. 29 hari sebelum hari yang
sangat penting itu datang. Hari yang selama ini menghantuiku. Hari yang membuat
tawa dan senyumku tak bisa setulus dulu. Hari itu, hari yang sangat menegangkan
bagiku.
Hari ini, tidak banyak
yang bisa kulakukan. Hanya memandangi kalender yang menggantung di dinding
kamarku. Memastikan tiap detik waktuku yang tersisa hanya untuk menunggui hari
itu.
1319 hari yang
lalu, Ketika mata ini mendarat tepat pada matamu. Laki-laki yang mengacaukan
pikiranku.
Waktu itu satu
koper besar dan tas ransel berat kubawa. Sebagai pendatang yang memulai petualangan
di kota orang ini merasa asing dengan suasana Jogja. Udaranya, lingkungannya,
orang-oragnya, bahasanya, semuanya serba asing bagi manusia pedalaman
sepertiku. Namun semua keasingan itu terabaikan ketika kebingunganku dalam
mencari alamat rumah, berujung pada pertemuan itu.
“Ada yang bisa
dibantu mbak? Sepertinya sedang mencari alamat seseorang?”
“Iya,” aku pun
gugup terpesona oleh kesejukan wajahmu, kelembutan suaramu, dan kesantunan
prilakukmu. Kesan pertama yang mendebarkan. Aku pun gugup menunjukkan sebuah
catatan kecil yang bertuliskan alamat kosan.
“Wah, ini
sebelahan sama kos saya mbak.” Wajahmu nampak sumringah ketika alamat kosmu
bersebelahan dengan alamat kosku. Entah kebetulan, kebetulan yang menyenangkan.
---
Hari ini hari
Rabu. 22 hari lagi adalah hari itu. Hari yang aku pun tak tahu apakah aku
sanggup melewati hari itu. Aku hanya takut dengan kemungkinan terburuk.
Hari ini aku
masih saja duduk pada permadani ini. Tidak bisa kemana-mana dan tidak berhasrat
untuk ke mana-mana. Hanya memandangi langit yang terbungkus dinding kamar,
menghirup aroma udara yang terperangkap oleh ruangan. Sejengkal pun aku tak
berani melangkah. Aku terlalu mengkhawatirkan hari itu.
752 hari yang
lalu. Ketika tawa sudah melebur menjadi bahagia. Kata sudah membentuk kisah dan
cerita. Berbagai gambar yang terangkai menjadi sebuah karya nyata. Kisahku dan
kisahmu menyatu dalam keajaiban. Ketika senyumanmu adalah nafas bagiku, ketika tawamu
adalah suplemen bagiku, ketika kehadiranmu adalah detak jantungku.
Aku ingat ketika
kau mengajakku untuk bermain ke Alun-alun kidul. Ketika kita berjalan
beriringan layaknya sepasang kekasih. Hanya saja kita tidak bergandengan. Kita
dipisahkan oleh jarak yang disebut status teman. Sepanjang perjalanan aku
berdoa, Fiksi, ayo nyatakan cintamu padaku. Hanya itu yang bergemuruh kencang
dalam dadaku.
Kita pun duduk di
tengah-tengah, antara dua pohon beringin besar. Duduk berdampingan seperti
sepasang kekasih. Tak ada yang spesial dari obrolan yang kita bicarakan. Yang
membuat spesial adalah kamu berada disampingku sekarang. Tak peduli obrolan
apapun itu, tak peduli sampai kapan pun itu. Aku hanya ingin menikmati malam
itu. Membiarkan jantungku berdebaran menyambut wanita yang sedang jatuh cinta.
Dan waktu itu
jiwa ini belum menuntut akan balasan dari cintamu. Aku hanya sedang menikmati
euforia cinta yang sedang menggila pada diriku sendiri. Itu sudah lebih dari
sekedar indah.
--
Hari ini hari
Rabu, 15 hari lagi sebelum hari itu. Ah, lima belas hari merupakan waktu yang
sangat cepat untuk menjumpai hari yang menakutkan itu. Rasa-rasanya aku tak
pernah siap untuk kehilanganmu.
Apalagi mengingat
banyak sketsa yang mengabadikan kisahku denganmu. Yang terekam dalam bingkai
keabadian. Semua itu benar terukir indah pada pedalamanku. Menenggelamkanku
dalam lautan penuh asmara. Tepatnya 401 hari yang lalu, waktu kita berdua duduk
di atap rumah kos-kosanku. Kebetulan pohon mangga menjulang tinggi di depan
kosku. Pohonnya yang gemuk dan memang sudah biasa dinaiki itu, membuat
perempuan sepertiku berani untuk menghabiskan malam di atap rumah. Lebih-lebih
ditemani laki-laki yang mengisi rongga hatiku. Menghabiskan waktu hingga tengah
malam hanya untuk memandang langit. Melihat percakapan bintang, bulan, awan dan
angin malam yang bersenandung dalam hikmatnya malam.
kita berdua tidur
telentang memandangi malam. Seperti biasanya, aku hanya bisa menikmati irama
jantungku yang terus berpacu. Namun, semakin hari rasa lelah pun mulai tumbuh.
Hasratku mulai memberontak untuk meminta lebih. Hatiku butuh cermin untuk
merefleksikan rasa yang terus berpendar ini. Aku membutuhkan balas cintamu.
“Shel, jika kamu
punya satu permintaan yang pasti dikabulkan, apa permintaan itu?” Tiba-tiba
Fiksi menanyakan pertanyaan yang membuatku membeku. Seperti terkena sihir yang
mematikan.
“Shell?? Kamu
nggak kenapa-kenapa kan?”
“Ah, iya Fik.
Ngak papa kok,” untungnya keteganganku tak begitu teraba oleh panca indramu.
“Aku hanya ingin, semoga Tuhan memberikan sensor kepadamu.” Jemariku menunjuk
pada hidungmu, terasa dingin dan halus.
“Apaan sih
Shel..?? sensor apaan? malah ketawa pula.” Dia membalas menyentuh hidungku.
“Dasar pesek..!”
Tawa pun terpecah di langit-langit malam. Menyisakan tanda tanya dibenakku, Apakah Kamu juga mencintaiku? Lidahku belum siap untuk menanyakan itu padamu.
--
Bukankah hari ini hari rabu? 8 hari lagi aku akan menemuinya. Aku sudah lama sekali menunggumu di kamar ini. Hari ini aku tidak begitu tegang dan takut, dibanding beberapa hari yang lalu. Seseorang mengatakan bahawa hari itu kamu akan datang dengan bunga-bunga yang harum, dengan jaz hitam dengan dasi merah. Dengan lagu favorit milik kita yang akan kau lantunkan hanya untukmu. Dengan parfum khasmu, yang membuat bulu roman ku merinding tiap tercium olehku. Dengan gombalanmu yang selalu membuat perutku tergelitik oleh itu. Dan dengan cincin yang siap mengikat kita berdua dalam keabadian. Tapi. Tapi aku takut kehilanganmu.
205 hari yang lalu, kamu masih sama. Seperti membuatku terombang ambing dalam ketidak pastian. Hatiku merasa sesak dengan ketidaknyamanan ini. Aku ingin segera menyakan itu padamu. Tak peduli aku seorang perempuan. Aku hanya ingin memerdekakan perasaan yang terpenjara dalam dadaku. Dan aku pun tak peduli dengan jawabanmu atau reaksimu nanti. Itu masalah nanti.
Pagi itu kau mengajakku bersepeda. Kebetulan yang sangat menguntungkan bagiku. Aku tak punya sepeda, dan sepeda milik teman kosku pun sedang dipakai semua. Mau tak mau kau pun harus memboncengkanku. Hampir setengah jam kita bersepeda bersama. Berada di belakangmu membuatku merasa tak sabar untuk menggapai jiwa dan cintamu. Hingga perjalanan itu terganggu saat roda depan sepeda tergelincir pada jalan yang bolong. Sepeda pun terguling. Aku yang kaget pun langsung berusaha mencari pegangan supaya tidak jatuh. Al hasil, kita pun terjatuh. Aku berada tepat di atasmu. Aku amati wajahmu yang amat tampan itu sepersekian detik yang berjalan begitu sangat lama. Matanya yang sejuk memanjakanku dalam tatapannya. hembusan nafasnya terhempas pada hidungku, terasa hangat. Jantungku pun menderu kencang, mungkin goncangannya terasa olehmu. Benar-benar seperti di sinetron-sinetron.
Aku pun merasa pasrah jika akhirnya kau memang harus tahu tentang perasaanku, atau aku yang harus mengatakan kepadamu sekarang juga. Fiksi, kau tunggu apalagi. Jangan buatku lebih lama lagi menjadi manusia pesakitan dalam penantian cintamu.
Kejadian itu pun
tidak membuat banyak perubahan. Nyatanya, nyaliku sebagai seorang perempuan
belum berani melontarkan kata suci dari lidahku ini. Begitu pula dengan mu, kau
masih saja tidak mengerti dengan semua perhatianku. Mungkinkah kau tidak
mencintaiku? Apa kau hanya ingin mempermainkan hatiku? Pertanyaan-pertanyaan
itu sempat muncul pada bagian otakku. Tapi aku segera menghempaskannya, karena
aku tahu dan aku yakin. Kau juga mencintaiku. Kau pasti mencintaiku. Kau hanya
butuh beberapa waktu lagi untuk meluapkan sesuatu yang bersembunyi di balik
dadamu. Yah, mungkin karena aku terlalu mencintaimu.
--
Rabu terakhir? Sehari
sebelum aku bisa bertemu lagi denganmu Fiksi? Lagi? bukankah kita selalu
bersama? Lantas selama ini kau di mana? Kenapa kita tidak bersama? Harusnya
kita selalu bersama, kan kita tetangga kos. Apa seseorang yang bilang kau akan
datang esok itu bohong? Tapi kenapa selama ini aku menungguimu? Bukankah kita
harusnya bersama? Aku jadi sedikit pusing.
100 hari yang
lalu sahabatku bilang kepadaku. Ia mengerti sesuatu rahasisa besar yang
disimpan oleh kau Fik. Tanpa sengaja dia mendengarkanmu berbicara di tempat
favorit kita, di atap kosku, bahwa sebenarnya kau mencintaiku. Bahkan kau
berencana akan mengajakku bertunangan. Tanpa perlu melalui proses pacaran yang
panjang dan kekanak-kanakan. Aku tahu itu, aku tahu itu semua. Aku sangat
bahagia hari itu. Rasa-rasanya seperti surga hadir di depan mataku secara
tiba-tiba. Aku pun sudah tidak sabar untuk hari itu. Sepertinya kau ingin
memberi kejutan padaku. Iya, benar saja akhir-akhir ini dia terlihat tak acuh
denganku. Kau sengaja membuatnya demikian agar aku merasa ganjil dengan itu. Akh,
kau ini Fik. Aku sudah tahu. Lakukanlah hal termanis yang kau bisa sayang. Aku
akan sangat bahagia.
Tapi entah, itu
100 hari yang lalu. Bagaimana dengan hari esok. Terlalu banyak kebahagiaan yang
menggantung pada ketidakpastian. Rasa ganjal dan ragu-ragu akan hari esok masih
saja menjulang tinggi di dadaku.
--
Hari ini bukan
hari rabu. Aku sudah menggunakan pakaian yang kau hadiahkan untukku. Menggunakan
parfum favoritmu, walaupun aku tidak begitu suka. Juga membawa boneka yang kau
berikan pada hari ulang tahunku. Tak lupa aku bercermin dan menyolek wajahku
dengan bedak dan gincu. Seakan-akan ini hari paling spesial dalam hidupku.
Lantas bagaimana dengan perasaanku saat ini? Aku tidak begitu
tahu.
Seseorang perempuan berbaju putih mengajakku keluar dari
kamarku dan menuntunku ke arah cahaya. Setapak demi setapak kakiku melaju
menuju sebuah ruang yang cukup besar dengan satu meja dan beberapa kursi.
Kupandangi satu per satu tiap sudut ruangan itu. Terdapat seorang perempuan separuh
baya dengan baju putih, dengan stetoskop yang menggantung. Ternyata ibuku juga
ada di ruangan tersebut, begitu juga dengan sahabatku Jasmine.
Banyak pertanyaan besar yang bermunculan di kepalaku.
Kenapa Ibuku ada si sini? Begitu juga dengan Jasmine? Dan siapa perempuan itu?
Kenapa pula Ibuku nampak sedih dan sembab matanya, seperti habis menangis
semalaman. Begitu pula Jasmine, bukankah dia sahabatku yang paling crewet? Tapi
kenapa dia hanya memandangku dengan tatapan dingin? Seakan aku adalah manusia pesakitan
yang minta dikasihani.
Kenapa? Kenapa suasananya jadi seperti ini? Kenapa aku
merasa tidak nyaman sekali sekarang, perasaanku semakin kacau, tak terkendali.
Di mana? Di mana kau Fiksi? Bukankah harusnya kau datang seperti yang dikatakan
perempuan tadi.
“Arrgghhh..!!” Mulutku pun tak mampu menahan sesak di dada.
Berkali-kali aku pun teriak keranjingan. Tanganku pun melempar dan menghantam
apa pun yang terlihat oleh mataku. Sekilas terlihat oleh sudut mataku, ibuku
menangis, bahkan tersedu-sedu. Aku pun semakin bingung, dan jantungku semakin
keras berpacu. “Argghh..!!!” Teriakanku pun semakin keras. Jasmine pun bergegas
memelukku erat. Aku pun merasa sesak dan tak bisa bergerak, hingga aku pun
berontak.
Jedukk..!!
Sikuku mengenai wajah Jasmine. Jasmine pun terlihat
kesakitan, tapi menahannya demi membuatku tenang. Entah, aku pun merasa semakin
tidak senang dan tidak nyaman dengan kondisi ini. Aku pun semakin menjadi-jadi.
Tiba-tiba, dengan sigapnya perempuan berstetoskop itu menusukku
dengan benda tajam. Sepertinya aku pernah mengalami kejadian yang sama persisi seperti
ini beberapa waktu yang lalu. Benda tajam ditusukkan ke pantatku. Bukankah itu
jarum suntik. Kenapa? Sepuluh, tiga,
tujuh, enam, warna-warni pelangi bertaburan di pelipis mataku.
Redup.
Hitam.
Gelap.
*bersambung
No comments:
Post a Comment