Resensi
Novel Manusia Harimau – Eka Kurniawan
Setidaknya saya
harus bersumpah serapah atas 50 ribu yang saya bayar untuk kisah yang hanya
menceritakan pembunuhan mitologi ini, beserta kisah-kisah berahi di dalamnya.
Meskipun akhirnya saya menyadari puji-pujian harus saya bayar lebih pada mas
Eka Kurniawan atas segala keindahan yang disuguhkan dalam kisah pembunuhan
mitologi itu pula. Sebingkai kisah pembunuhan seorang anak manusia bernama
Margio yang memiliki harimau putih di dalam tubuhnya. Hanya itu. Sesingkat itu.
Lainnya hanyalah serapah tarik ulur kisah-kisah dibalik pembunuhan itu, yang
mebuatku kejang saking nikmatnya. Ya. Serapahan itu tak henti-hentinya membuat
saya berkomat-kamit merapal pujian.
Jika kamu pikir
novel ini berceritakan mengenai manusia-manusia tampan bertubuh ateltis dengan
roman receh, atau barangkali jika kamu berfikir buku ini berkisah tentang
manusia jadi-jadian yang kemudian suka makan orang, maka pulanglah dan pakailah
popokmu. Jangan lupa minum susu dulu.
Bagi saya,
hampir dari keseluruhan keindahan dari buku ini adalah lahir dari eksistasnsi
kisah ini yang asali, tidak buat-buat dan begitu lekat dengan kehidupan nyata itu
sendiri. Sementara harimau hanyalah pemanis untuk melumuri kisah ini menjadi
lebih magis dan mencekam. Hampir dari keseluruhan kisah ini adalah nyata dan
begitu lekat dengan kehidupan di masyarakat. Dan Mas Eka menyuguhkannya dengan
lembut, realis, tanpa hiperbolik yang berlebihan. Dia tidak memaksa pembaca
untuk luruh dan tenggelam dalam kisah itu melalui pendekatan batiniah yang
berlebihan. Namun, Mas Eka menyajikan diksi yang begitu realis, begitu nyata,
sehingga tanpa diminta, kita bisa merasa benar-benar berada di dalam, bahkan
merasa harus ikut andil terhadap konflik-konflik yang terjadi.
Soal alur,
jangan tanyakan pada saya betapa pusingnya menelaah alur ini. Begitu
menyebalkan, twisted, Namun disitulah titik indahnya sehingga kita merasa tidak
bosan dengan serapah yang sebenanrya kita usah tahu.
Dan pesan saya bagi
para ortodok, barangkali lebih baik meletakkan Alquran atau Alkitab dekat-dekat
dengan buku itu. Karena kisah-kisah berahi begitu nyata menari di pelipis mata,
tidak menutup kemungkinan tiba-tiba kalian ikut terjebak dalam berahi atau
malah melemparnya dan segera membakarnya.
Bagi saya
pribadi, karya indah Mas Eka ini tiada lain adalah sebuah sarkasme besar bagi
orang-orang yang menyadarinya. Bagaiamana tidak? Nuraeni si gadis setengah gila
karena dikecewakan suaminya kemudian dia selingkuh dengan tetangganya, Anwar
Sadat lelaki hidung belang yang hobi menjamah gadis-gadis rumah plesiran, Laila
si gadis cantik yang mebiarkan lelaki manapun bertamasya pada kewanitaannya,
begitu juga adiknya Maesa. Semua kedangkalan prilaku itu barangkali
menjijikkan, namun dibalik jerih kemiskinan dan kebohodan itu adalah tanggung
jawab bagi kita, bagi kaum yang terpelajar. Atau setidaknya tahu bahwa hal
semacam itu semestinya bisa dicegah. Bukankah tugas dari kau terpelajar adalah
menjawab persoalan di masyarakat.
Setidaknya saya
harus bersyukur, Mas Eka menampar saya melalui kisah cinta Margio dan Maharani
yang terpaksa harus tandas karena kebodohan orang-orang disekitarnya, saya
menjadi sadar bahwa lingkungan saya sedang tidak baik-baik saja. Terimakasih
atas keindahan diksi dan susuan kata yang membuat mulut saya menganga
berkali-kali.
No comments:
Post a Comment