Friday, October 28, 2016

Mas Din


Sudah saya bilang saya pasti menikah. Pasti. Mungkin bulan depan. Atau barangkali keberuntungan datang di bulan berikutnya. Setidaknya saya memancarkan sinyal pada setiap lelaki yang saya rasa pas untuk jadi imam saya. Dan saya rasa sikap Ibu menjodoh-jodohkanku dengan peranakan rekanannya terlalu berlebihan. Apalagi tetiba datang di rumah saya di Jogja dengan sejumlah bunga, lelaki yang tak saya kenal, dan kemudian dia memperkenalkan diri, dan dia memberitahu saya sudah mendapat restu orang tua saya. Sebercanda inikah cara Ibu?
Saya bisa mengatasi ini sendiri.
Barangkali Ibu sakit hati dengan jawabanku soal Mas Din. Tetapi bukan dengan cara mengirim pria berjas-berdasi-berkoper-bermobil-bersepatu mengkilap-bercincin akik ke jogja. Saya tidak mempermasalahkan lingkaran perut pria tersebut yang terlalu mencolok, bisa jadi kalau cocok saya bisa memilihnya. Setidaknya beritahu saya. Pertemukan kami dengan baik-baik. Ah. Saya tidak paham lagi jalan pikiran Ibu. Dan setiap saya mencoba membuka sedikit perbincangan dapur, ibu selalu saja mengungkit-ungkit Mas Din lagi. Dia lagi.
Saya bisa mengatasi hal ini sendiri. Setidaknya soal jodoh, itu masalah mudah bagi saya. Saya punya banyak mahasiswa yang berusia tidak jauh berbeda dari saya. lima sampai tujuh tahun paling bedanya. Tinggal saya pilih yang saya rasa cocok. Mereka tak akan mampu membuat negosisoasi selain mengiyakan.
Atau, barangkali dengan mahasiswa saya sendiri itu terlalu bercanda, saya punya banyak rekanan dosen. Pak Amri misalnya, dokter hewan spesialis Kuda, duda beranak tiga. Ganteng, gagah, anaknya juga lucu-lucu. Lebih-lebih mereka sudah akrab dengan saya. Dan apa yang perlu saya khawatirkan lagi kalau-kalau Pak Amri jelas-jelas menyukai saya. Setidaknya saya tahu dari kabar burung, meskipun entah burung siapa.
Tapi kenapa Ibu sedemikian khawatir dengan saya? Saya belum juga terlalu tua. Bahkan kalau boleh saya membuat frasa, ‘lagi mateng-matengnya’. Masih segar menyegarkan.
Soal cucu? Bukankah ibu sudah menimang lima cucu. Lucu-lucu dan menggemaskan. Dua dari Dik Tari, dua lagi dari Dik Pras, dan satu lagi bonus. Ibu mengadopsi dari panti. Apakah kurang?
Ah, barangkali saya lupa soal mulut-mulut itu. Yang rendah tapi memekakan, yang tidak terdengar tapi membuat telinga pekak. Iya, barangkali itulah yang membuat ibu memaksaku untuk segera menikah. Sebagai anak pertama, dilangkahi menjadi sesuatu yang tabu. Bahkan sebagian orang di kampung kami dianggap sebagai penghambat jodoh bagi yang didauhuli oleh adiknya. Sementara saya, kesemua adik saya sudah menggenap. Meskipun usianya tidak berbeda jauh. Tapi, bukankah sejak Ustad Ali datang menabur wasiyat tentang bab agama, Beliau selalu bilang bahwa hal itu tidak korelatif, pasal nikah, Sang adik mendahului kakaknya, menghambat jodoh, menutup jodoh, barangkali warga kami sudah mulai mengubur pasal itu. Bukankah Mbakyu Lena, yang bahkan sudah dilangkahi tiga adik laki-lakinya, baru menyudahi masa sendirinya kemarin sore, di usianya tiga puluh tujuh tahun. Beruntungnya dia, bahkan mendapat saudagar kaya, berusia sedikit lebih muda. Setidaknya itu bisa menjadi dalih bagi saya. Sebuah inspirasi dikemuningnya persoalan yang sedang melanda saya, bukan?
Bukan, bukan. Ini pasti bukan pasal mulut-mulut itu. Terlalu remeh juga kalau ini soal cucu-cucu. Ini pasti soal Mas Din. Tidak salah lagi.
Bukankah minggu lalu Mas Din menelpon saya. Memberitahu akan datang ke rumah Ibu. Iya. Ini pasti karena dia Mas Din. Apa yang dilakukan Mas Din di rumah? Kiranya dia tega menceritakan semua tentang kita? Atau Mas Din menceritakan yang bukan-bukan, barangkali ditambahi penyedap sehingga Ibu semakin megap-megap.
Tapi bukankah Saya sudah tidak bertemu dengan Mas Din lebih dari setengah tahun lalu. Sejak dia meninggalkanku dengan boneka beruang –sebesar beruang asslinya, yang bisa kupeluk bahkan seperti kasurku sendiri– di kelas. Sebagai dosen, dan juga dokter hewan, saya merasa sangat melankolis mendapatkan hadiah dari mahasiswa saya. ketika kelas sudah berakhir, Mas Din, mahasiswa dokter spesialis bedah dan bedah plastic hewan yang sangat menunjukkan kecerdasannya di kelas, tidak terlihat batang hidungnya. Hingga saat saya hendak keluar kelas, boneka itu menghalangi saya tepat di mulut ruang kelas. Kemudian dia berbicara, bagaiaman mungkin suara beruang adalah suara Mas Din. Saya sungguh terperana olehnya. Sialnya dia begitu kejam menghilang. Menghilang tepat setelah semalaman saya memeluk boneka beruang itu.  
Ah, bagaiaman malah figura itu yang muncul? Menghilangnya adalah pekat. Bahkan mematikan. Saya harus benar-benar melupakannya.
Kemudian untuk apa Mas Din datang ke rumah? Pasti dia menceritakan segalanya. Pada Ibu.

(bersambung…)

No comments:

Post a Comment