“Mas, Aku nggak pernah minta yang aneh-aneh ya. Aku tidak pernah
minta dibelikan pesawat atau dibangunkan istana. Aku juga tidak pernah diajak
keliling dunia. Aku tidak pernah minta dibelikan intan berlian. Mas nggak
pernah ngertiin aku. Mas nggak pernah ngertiin aku. Aku hanya minta mas
ngertiin aku. Hanya itu, Mas. Pokoknya malam ini Mas tidur di luar. Titik.” Matanya
hampir keluar, suaranya nyaring memekakan telinga siapa pun, bahkan beberapa
tetangga turut keluar.
“Di luar kamar?”
“Di luar rumah.” Seikat sarung kucel berisi bantal guling di lempar
oleh perempuan bergincu ungu, bersanggul-berambut hitam kecoklatan, bermata
belo, berbadan sedikit bongkok dan tidak begitu cantik-biasa saja. Dan apabila
naik pitam, perempuan itu bisa berubah menjadi srigala. Menakutkan.
Perempuan itu tergopoh menutup pintu dan masuk ke dalam kamarnya.
Dikunci.
---
Saya sudah curiga. Semenjak pindahan saya ke tempat ini, saya sudah
mencium aroma yang tidak baik. Kecurigaan saya yang berujung pada tebak-tebakan
atas diri saya sendiri. Bagaiamana tidak, setiap orang penduduk asli yang saya
tanyai pasti mereka tertawa, atau tersenyum nyengir, ngakak, atau menyuruh saya
untuk tidak mempertanyakan itu, atau menyuruh saya diam. Saya tidak pernah
mendapat jawaban atas pertanyaan saya ini.
“Nyuwun sewu, Pak Lurah. Saya Topan, saking Kecamatan Belodeh.
Badhe nderek pindah wonten desa mriki, ini berkas …. ”
“Oh, Monggo Pak Topan, lenggah pinarak riyen. Badhe ngunjuk nopo?” Belum
usai saya berbasa-basi, Beliau memintaku duduk. Mungkin terlihat kaku pagi
Lurah semacam Pak Semple melihat calon warga barunya yang masih canggung berdiri
di depan kantornya.
“Tidak usah, Pak Lurah. Saya
cuman mau ngasih surat keluar dari keluarahan saya yang sebelumnya, dan ini
surat keterangan pindah, dan berkas-berkas lainnya.”
“Yo, yo, yo.” dengan parasnya yang penuh kewibawaan Pak Lurah paham
betul dengan maksud tujuanku, “Sudah, pokoknya kamu harus duduk dulu. Warga
baru saya harus dilayani dengan baik.”
“Mboten, Pak Lurah, saya langsung saja.”
Dan perawakan dan kata-katanya yang luwes membuat saya susah untuk
pergi meninggalkan ruang tamu kelurahan itu, “Sudah duduk to, sedang dibikinkan
Wedang teh khas Desa Ambyar. Kamu pasti suka.”
“Maturnuwun, Pak”
Kemudian Pak Lurah menceritakan teh desa andalannya kepada saya.
Saya tidak begitu memperdulikan waktu itu, Karena saya fokus memperhatikan tata
ruang Pak Lurah Semple yang begitu klasik dan rapih, tidak seperti kelurahan
lainnya.
“Kenapa, Pak Topan?” Karena mungkin terlalu khusyuk menikmati
ruangan, Pak Lurah Semple memergoki saya yang terkagum.
“Anu, Pak. Bagus sekali ruangannya. Beda dari kelurahan-keluarahan
yang pernah saya lihat.”
“Wah iya jelas beda. Ini didesain khusus oleh Ibu.”
“Wah, Istri Pak Lurah berbakat juga dalam desain interior ruangan,
boleh nih Pak buat bantu desain rumah saya.”
“Istri?” Pak Lurah memandang saya penuh tanya. Kaget dengan raut
muka yang terkejut. Saya pun demikian. Dalam batin, apakah ada dari kata-kata
saya yang salah, atau menyakiti hatinya. Saya mencoba mengeja kembali kata-kata
saya dalam benak. Saya terdiam. Ah, mungkin cuman perasaan saya.
Tiga hari setelah itu, saya datang kembali berkunjung. Kali ini
saya berkunjung ke rumahnya, bersama istri dan kedua anak saya. Kedatangan kami
tiada lain untuk memperkenalkan kaluarga saya kepada Pak Lurah Semple. Ya,
malam itu memang saya agendakan untuk bersilaturrahim satu per satu ke rumah
tetangga baru kami. Sekalian hendak memberi kabar bahwa akhir pekan depan kami
mengajakan acara syukuran atas rumah baru kami.
“Assalamualaikum, Pak Lurah.” Ucap istri saya usai mengetuk pintu.
“Assalamualaikum.”
Tidak ada yang menjawab. Lampu ruang tamu terlihat gelap dari luar.
Sepertinya tidak ada tanda-tanda ada orang di dalam.
Braaaaaakk!!
Suara pintu terbanting keras sekali terdengar dari dalam rumah. Kami
berempat pun dibuat kaget. Beberapa saat kemudian suara riuh orang ramai.
“Mas tega. Kenapa membelikanku longdress yang hijau?”
“Loh, kan kamu sendiri yang kemarin bilang minta dibelikan yang
hijau.”
“Kapan?” suara perempuan teriak kencang sekali.
“Kemarin malam.”
“Lah kan itu kemarin. sekarang ya sekarang. Kemarin ya kemarin.
Sekarang aku mintanya merah. Titik.”
“Lah, malam malam begini mana ada yang buka?”
“Pokoknya merah.”
Istri saya menarik-narik baju saya. Kedua anak kami hanya diam tak
mengerti urusan orang tua. “Mas, kita pulang saja. Lain kali kita ke sini
lagi.”
Aku mengangguk. Namun tepat saat badan kami berbalik, terdengar
suara dibalik pintu, “Eh, ada tamu to,”
Seketika kami berempat pun berbalik, Mendapati perempuan
tua-sedikit lebih tua dari Pak Lurah Semple. “Sudah dari tadi menunggu? mari
masuk.” Kami berdua pun mematung salah tingkah.
“Mangga, masuk.” Raut mukanya yang lembut yang sama sekali tidak
sesuai dengan teriakannya beberapa menit lalu, membuat kami tidak kuasa untuk
menolak.
Tiga puluh menit berselang. Setelah kami ngobrol ngalor ngidul
tentang desa ini, tentang sinetron favorit, tentang fashion, pasar terdekat,
dan pernak-pernik lainnya, Pak Lurah Semple muncul juga. Dia datang dari luar
rumah. Menenteng kantung pllastik berlabel supermarket kenamaan di daerah
tersebut.
“Eh, ada Pak Topan dan keluarga.” Lembut berwibawa. Seperti
biasanya. Kami pun membalas sepantasanya.
“Ngurusi kelurahan itu sekarang ribet semakin ribet. Semua serba
online. Orang jadul seperti saya harus banyak belajar dari yang muda-muda.”
Basa-basi, batin saya. “Kebetulan Pak lurah datang, saya hendak
pamit bersama keluarga. Terimakasih sudah menyambut kami dengan hangat.” Usai
bersalam-salaman kami melepaskan diri dari dalam rumah itu.
“Maaaaaas!!!” Baru sepuluh meter melangkah dari rumah terdengar teriakan
yang serupa dengan teriakan sebelumnya. “Kan aku bilang hijau. Hijau. Ini apaaaa?”
“Lah kan ini hijau?”
“Hijau daun, Mas. Hijau. Ini bukan hijau. Busuk.”
“Lah, kamu minta saya beli lagi?”
“Jadi, mas menuduhku? Mas bilang aku suka menyuruh-nyuruh orang. Suka
merintah-merintah orang seenaknya?”
“Terus?”
“Ya, pokoknya saya mau hijau daun. Bukan yang seperti ini.”
“Lebih baik saya beli lagi?”
“Mas itu bagaimana? Sebagai lurah, Mas Semple jadi boros tukang
belanja. Belanj terus belanja terus. Lurah itu harus memberi tauladan bagi
masyarakatnya. Maaas. Maaas. Mas emang
tidak pernah ngertiin aku.”
Istriku menarik lenganku gegas meninggalkan rumah itu.
Sudah saya bilang. Saya sudah curiga semenjak pertama bertemu.
Kejadian seperti itu bukan hanya malam itu saja. Dua malam yang lalu, Bu Lurah
mengusir Pak Lurah tidur di luar rumah. Pokoknya saya harus tanyakan langsung
padanya. Besok. Saya tidak bisa membiarkan prasangka ini berkembang di kepala
saya.
---
Duduk. Berdiri. Jongkok. Berdiri. Jongkok. Berdiri. dan seterusnya.
Seperti biasanya, setiap jumat pagi Pak Lurah dan aparaturnya
menggelar senam pagi. Biar sehat dan bugar katanya.
“Semangat sekali Pak Lurah.”
“Wah iya, harus semangat pokoknya.”
“Ibu ndak ikut?”
“di rumah.”
Entah ada yang salah atau tidak dengan percakapan saya dengan Pak
Lurah, tapi orang-orang dibelakang Pak Lurah tersenyum cekikikan. Ada juga yang
mencoba menahan.
“Pak Lurah, saya boleh tanya sesuatu sama Jenengan?”
“Wah iya, silakan.”
Saya takut untuk menanyakan langsung terkait kejadian-kejadian yang
membuat kepala saya diracuni prasangka. Untuk memecah keakraban, saya mencoba
melucu.
“Nama Pak Lurah itu asli? Semple maksud saya.” Seperti dikomandoi,
semua aparatur tertawa tebahak. Bahkan yang tadi menahan tertawa ikut pula
tertawa. Bahkan juga Pak Lurah ikut tertawa.
“Lah iyo. Bapak saya dulu ngasih nama Semple. Itu saja. Lucu ya?
Saya juga suka tertawa sendiri. Tapi itu yang membuat saya bangga.”
Natural, saya pun ikut tertawa,
“Istri Pak lurah juga suka tertawa mendengar nama Pak Lurah?”
Wajah Pak Lurah kembali berubah. Persis saat saya menebak istrinya
yang mendesai ruangan kantornya. “Kok Pak Topan istri saya terus? Mas topan
tidak tahu kalau saya ini duda?”
Aku kaget-penasaran. Pun dengan Pak Lurah. “Lalu, perempuan yang
semalam di rumah itu siapa?” Dengan lancangnya-lepas kontrol-lidah saya berucap.
“Saya ndak tahu.” Pak Lurah bingung. Pak Lurah benar-benar bingung.
Dan orang yang ada pada saat itu tertawa lebih keras.
“Saya tidak ingat betul perempuan itu siapa. Emang siapa? Pak Topan
kenal?” dan pak Lurah malah berbalik tanya pada saya. Dan orang-orang makin
riuh saja tertawa.
Sekejap berikutnya hilang. Semua tawa riuh tadi hilang. Diikuti
dengan wajah yang kuncup merunduk seperti bocah yang ketahuan mencuri mangga
tetangga. Dan ternyata perempuan itu datang. Perempuan yang membuat saya banyak
berprasangka itu datang.
“Selamat pagi, Mas.” Sapa perempuan itu pada Pak Lurah.