Saya tidak menduga bisa menjadi seperti ini. Saya pikir lelaki yang
datang ke rumah saya dengan tato di sepanjang lengan kanannya itu hanya
singgah. Sebatas malam itu. Karena malam itu sudah terlampau hanyut, hujan
tiada kunjung berhenti dan halilintar semakin terang-terangan mentubi. Saya tidak
pernah menduga. Lelaki yang menggedor-gedor pintu keras sekali, dini hari,
dengan keadaan basah kuyup, bibir kecu seperti digincu biru, kini tidur sekamar
denganku. Di sebelahku. Satu ranjang denganku. Saat ini.
…
Saya biarkan detak jantung memburu hebat. Dua cangkir teh hangat
-satu tanpa gula untuk ayah, saya hidangkan untuk ayah dan tamunya. Nampak dua pasang mata yang sedari tadi
bersitegang, terpecah oleh kedatangan saya. Bergegeas saya suguhkan di atas
meja dan kembali ke dalam. Dengan menunduk, tanpa berani melemparkan sepandang
mata pun.
Betapa Tuhan menggodaku untuk mendengar apa yang dua lelaki itu
bicarakan. Apalagi? Dua pria dewasa, berbicara serius tanpa canda, sesekali
menyebut nama saya. Apalagi kalau bukan pasal pernikahan? Kemudian bibir ini
perlahan merapal nama Tuhan. Mungkin itu satu-satunya cara yang biasa saya lakukan
saat benar-benar getar.
Bagaiamana mungkin ayah akan menikahkanku dengan lelaki itu. Pria
yang dikenalnya baru satu bulan yang lalu. Pria yang bahkan bagi saya sendiri
tidaklah cukup baik. Bagaiamana tidak?
Malam itu, ketika seisi rumah sepenuhnya tidur, Hujan deras
menghujam langit kotaku. Gelap malam sepenuhnya menyelimuti. Dibubuhi bintang
dan secarik bulan ditepinya. Dan saya masih terjaga. Entah pukul berapa
tepatnya, ketika saya berada tepat dalam persimpangan mimpi, pintu rumah kami
tergedor kencang sekali. Kencang sekali. Beberapa saat dan terhenti.
Antara takut, penasaran, dan khawatir, berulat jadi satu. Perlahan
saya menerobos gelap menuruni tangga menuju pintu. Kudapati ayah sudah lebih
dulu berada tepat di balik pintu tengah bercakap dengan seorang yang tidak
bagitu jelas terlihat dari tempat saya. Yang jelas dia seorang pria, basah kuyup,
dan bertato di lengan kananya. Saya tidak banyak bergerak, hanya beberapa hal
yang terlihat.
Percakapan berlalu cukup singkat, samar-samar tidak jelas. Yang
kuyakin, pria itu datang untuk menumpang menginap.
Pagi pun datang. Saya yang semalaman tidak bisa tidur karena merasa
atmosfer seisi rumah terganggu dengan kedatangan pria itu. Bukan berlebihan,
entah kenapa perasaan saya mengatakan demikian.
Ayah, adik saya yang masih kecil-Fahjan, dan lelaki bertato itu,
sholat pada barisan depan. Sedang saya dibelakang. Entah apa cuman perasaan
saya saja atau bukan, saya merasa lelaki itu gusar. Bahkan terlihat limbung.
Dan tiba-tiba ia bergidik dan mengisak. Air mata perlahan menderas dari pelipih
matanya.
“Kau kenapa, Nak.” Sambut Ayah segera usai salam.
Lelaki itu tidak menjawab, dia malah menutupi wajahnya malu. Mungkin
malu karena takut terlihat cengeng, atau
“Saya, ini sholat pertama kali saya semenjak sepuluh tahun
terkahir.” Suasana hening, dan dia semakin terisak menangis dan mencoba
menahannya.
“Tadi siapa, Yah?” Usai lelaki itu pamit pulang, saya segera
melepas penasaran.
“Kerabat Ayah, Semalam dia mendapat musibah. Mobilnya dibawa lari
orang. Dia tidak tahu harus ke mana di tengah badai semalam.”
“Di bawa lari orang?”
“Iya, mantan istrinya.”
“Ayah mengenal pria itu?”
“Iya, baru saja semalam.”
---
Kami berdua duduk bersitatap, saling menepis pandang untuk melepas
kecanggungan. Ayah berusaha meyakinkan saya, sementara saya masih belum
menerima alasan ayah. Namun, bukannya sebagai anak perempuan seharusnya saya
takdim, patuh dengan yang Ayah sarankan. Selagi itu baik. saya yakin ayah punya
alasan lain yang tidak diceritakan semua kepada saya. Ayah menyembunyikannya.
“Ayah merasa Awan cocok buat kamu, Put.” Ayah kembali mengulang
kata-katanya, terus, dan terus meyakinkan saya. “Perkembanganya dari hari ke
hari sangatlah baik. Dia mulai memperbaiki sholatnya, belajar agamanya,
ngajinya.”
Saya tidak sanggup membantah, meskipun hati ini ingin berteriak.
Bagaiamana mungkin, ayah akan menikahkan saya dengan seorang lelaki yang sholat
saja dia tidak tahu, alif ba ta saja
masih kecemotan, apakah Ayah serius memilihkan laki-laki untuk saya? Calon imam
untuk saya? Mungkin diam adalah cara yang menurut saya paling baik untuk
mengatakan tidak. Tidak ada orang bisa membantu saya. Semua kerabat sepakat
dengan tutur Ayah. Andai saja ada Ibu masih ada.
Lima hari lagi, akad akan digelar. Sementara undangan sudah sampai
pada tangan-tangan, KUA sudah juga disiapkan, gedung, dekorasi,
kenang-kenangan, fotografi, dan segala hal lainnya sudah disiapkan. Sementara
hati saya masih saja belum terasa mantap.
Sudah tiga hari sejak bercakapan itu, saya sengaja tidak
memperbanyak percakapan dengan Ayah. Akhir-akhir ini ayah sibuk dengan Quran
dan tasbihnya. Sedang diri ini saya usahakan tetap tegar, dan selalu meminta
petunjuk yang terbaik dari Nya. Entah perlahan saya merasa bisa menerima dengan
apa yang Ayah katakan. Perlahan, saya juga bingung dan semakin tidak mnegerti dengan hati ini.
---
Sudah lima hari semenjak hari pernikahan kami. Saya belum berani
bersitatap lebih lama dari satu menit, Saya belum berani berbicara lebih lama
dari hanya sekedar meenjawab ‘ya’ dan ‘tidak’. Dan apakah hati ini harus tetap
saya pertahankan untuk berkeras hati dengan suami saya sendiri? Padahal sejauh
ini saya semakin yakin bahwa Ayah benar, lelaki ini semakin hari semakin baik.
Tapi, kenapa hati ini masih susah berbalik wajah.
No comments:
Post a Comment