Tuesday, August 23, 2016

Hati Dihujan Badai


Saya tidak menduga bisa menjadi seperti ini. Saya pikir lelaki yang datang ke rumah saya dengan tato di sepanjang lengan kanannya itu hanya singgah. Sebatas malam itu. Karena malam itu sudah terlampau hanyut, hujan tiada kunjung berhenti dan halilintar semakin terang-terangan mentubi. Saya tidak pernah menduga. Lelaki yang menggedor-gedor pintu keras sekali, dini hari, dengan keadaan basah kuyup, bibir kecu seperti digincu biru, kini tidur sekamar denganku. Di sebelahku. Satu ranjang denganku. Saat ini.
Saya biarkan detak jantung memburu hebat. Dua cangkir teh hangat -satu tanpa gula untuk ayah, saya hidangkan untuk ayah dan tamunya.  Nampak dua pasang mata yang sedari tadi bersitegang, terpecah oleh kedatangan saya. Bergegeas saya suguhkan di atas meja dan kembali ke dalam. Dengan menunduk, tanpa berani melemparkan sepandang mata pun.
Betapa Tuhan menggodaku untuk mendengar apa yang dua lelaki itu bicarakan. Apalagi? Dua pria dewasa, berbicara serius tanpa canda, sesekali menyebut nama saya. Apalagi kalau bukan pasal pernikahan? Kemudian bibir ini perlahan merapal nama Tuhan. Mungkin itu satu-satunya cara yang biasa saya lakukan saat benar-benar getar.
Bagaiamana mungkin ayah akan menikahkanku dengan lelaki itu. Pria yang dikenalnya baru satu bulan yang lalu. Pria yang bahkan bagi saya sendiri tidaklah cukup baik. Bagaiamana tidak?
Malam itu, ketika seisi rumah sepenuhnya tidur, Hujan deras menghujam langit kotaku. Gelap malam sepenuhnya menyelimuti. Dibubuhi bintang dan secarik bulan ditepinya. Dan saya masih terjaga. Entah pukul berapa tepatnya, ketika saya berada tepat dalam persimpangan mimpi, pintu rumah kami tergedor kencang sekali. Kencang sekali. Beberapa saat dan terhenti.
Antara takut, penasaran, dan khawatir, berulat jadi satu. Perlahan saya menerobos gelap menuruni tangga menuju pintu. Kudapati ayah sudah lebih dulu berada tepat di balik pintu tengah bercakap dengan seorang yang tidak bagitu jelas terlihat dari tempat saya. Yang jelas dia seorang pria, basah kuyup, dan bertato di lengan kananya. Saya tidak banyak bergerak, hanya beberapa hal yang terlihat.
Percakapan berlalu cukup singkat, samar-samar tidak jelas. Yang kuyakin, pria itu datang untuk menumpang menginap.
Pagi pun datang. Saya yang semalaman tidak bisa tidur karena merasa atmosfer seisi rumah terganggu dengan kedatangan pria itu. Bukan berlebihan, entah kenapa perasaan saya mengatakan demikian.
Ayah, adik saya yang masih kecil-Fahjan, dan lelaki bertato itu, sholat pada barisan depan. Sedang saya dibelakang. Entah apa cuman perasaan saya saja atau bukan, saya merasa lelaki itu gusar. Bahkan terlihat limbung. Dan tiba-tiba ia bergidik dan mengisak. Air mata perlahan menderas dari pelipih matanya.
“Kau kenapa, Nak.” Sambut Ayah segera usai salam.
Lelaki itu tidak menjawab, dia malah menutupi wajahnya malu. Mungkin malu karena takut terlihat cengeng, atau
“Saya, ini sholat pertama kali saya semenjak sepuluh tahun terkahir.” Suasana hening, dan dia semakin terisak menangis dan mencoba menahannya.
“Tadi siapa, Yah?” Usai lelaki itu pamit pulang, saya segera melepas penasaran.
“Kerabat Ayah, Semalam dia mendapat musibah. Mobilnya dibawa lari orang. Dia tidak tahu harus ke mana di tengah badai semalam.”
“Di bawa lari orang?”
“Iya, mantan istrinya.”
“Ayah mengenal pria itu?”
“Iya, baru saja semalam.”
---

Kami berdua duduk bersitatap, saling menepis pandang untuk melepas kecanggungan. Ayah berusaha meyakinkan saya, sementara saya masih belum menerima alasan ayah. Namun, bukannya sebagai anak perempuan seharusnya saya takdim, patuh dengan yang Ayah sarankan. Selagi itu baik. saya yakin ayah punya alasan lain yang tidak diceritakan semua kepada saya. Ayah menyembunyikannya.
“Ayah merasa Awan cocok buat kamu, Put.” Ayah kembali mengulang kata-katanya, terus, dan terus meyakinkan saya. “Perkembanganya dari hari ke hari sangatlah baik. Dia mulai memperbaiki sholatnya, belajar agamanya, ngajinya.”
Saya tidak sanggup membantah, meskipun hati ini ingin berteriak. Bagaiamana mungkin, ayah akan menikahkan saya dengan seorang lelaki yang sholat saja dia tidak tahu, alif  ba ta saja masih kecemotan, apakah Ayah serius memilihkan laki-laki untuk saya? Calon imam untuk saya? Mungkin diam adalah cara yang menurut saya paling baik untuk mengatakan tidak. Tidak ada orang bisa membantu saya. Semua kerabat sepakat dengan tutur Ayah. Andai saja ada Ibu masih ada.
Lima hari lagi, akad akan digelar. Sementara undangan sudah sampai pada tangan-tangan, KUA sudah juga disiapkan, gedung, dekorasi, kenang-kenangan, fotografi, dan segala hal lainnya sudah disiapkan. Sementara hati saya masih saja belum terasa mantap.
Sudah tiga hari sejak bercakapan itu, saya sengaja tidak memperbanyak percakapan dengan Ayah. Akhir-akhir ini ayah sibuk dengan Quran dan tasbihnya. Sedang diri ini saya usahakan tetap tegar, dan selalu meminta petunjuk yang terbaik dari Nya. Entah perlahan saya merasa bisa menerima dengan apa yang Ayah katakan. Perlahan, saya juga bingung dan semakin tidak mnegerti dengan hati ini.
---

Sudah lima hari semenjak hari pernikahan kami. Saya belum berani bersitatap lebih lama dari satu menit, Saya belum berani berbicara lebih lama dari hanya sekedar meenjawab ‘ya’ dan ‘tidak’. Dan apakah hati ini harus tetap saya pertahankan untuk berkeras hati dengan suami saya sendiri? Padahal sejauh ini saya semakin yakin bahwa Ayah benar, lelaki ini semakin hari semakin baik. Tapi, kenapa hati ini masih susah berbalik wajah.

No comments:

Post a Comment