Sunday, March 2, 2014

Terlalu Indah

(cerpen, romance, life)

Entah kenapa air mata itu tak mau membuncah, rasanya seperti bisul yang besar, merah merekah, tapi tak kunjung pecah. Tertahan menyakitkan. Atau mungkin matanya sudah jengah harus berjibaku dengan air mata. Atau mungkin otaknya sudah cukup lelah, terlampau lelah dengan gores hidup yang suka memberi kejutan menyakitkan, Lantas enggan mewartakan sinyal pada kelenjar air matanya. Atau mungkin kelenjar air matanya sedang dilanda musim kemarau berkepanjangan. Hm,, entahlah.

Lihat bola mata yang mengisi rongga kepala laki-laki itu. Persis seperti yang digambarkan. Bulat hitam seperti kelereng. Memandangi kehampaan langit yang tiada batas itu. Menatap kekosongan. Entah apa yang sedang berkecamuk di balik kepalanya.
Bersandar pada dinding, tubuhnya tergolek lemas. Atap gedung yang cukup tinggi itu mampu memangkas kepadatan kota dari sudut mata. Hanya langit biru yang mulai gelap membentuk sketsa apik sore itu. di tambah gurat oranye yang membuat mata enggan untuk mengatup. Tenang. Melarutkan pekat yang megumpul pada pedalaman jiwa. Meskipun hanya sesaat. Tapi itu cukup mengobati batin yang penuh koreng.  Sungguh tak ada pohon, bangunan, baliho, atau reklame. Yang ada hanya ke-tak hingga-an pandang. Luas. Bersih. Menyejukkan.
Andai saja bisa menumpahkan kecamuk dalam dada. Mungkin aku akan seketika terbang. Laki-laki itu masih terlihat lemas. Kepalanya mendongak ke atas, mengharap pelangi datang mengguyur tubuh rapuhnya. Dia tersenyum. Entah senyum tulus, atau senyum yang segaja dibuat sedemikian rupa sehingga terlihat benar-benar tulus. Sesekali menelan ludah. Hatinya terus mendekte, Masih mungkinkah semua ini bisa dibenahi. Ah, itu terlalu muluk-muluk. Berlebihan. Aku tak mau terjebak dengan janji dan harapan semu yang aku buat sendiri. Tanpa ada jaminan. Aku harus memendam percik harapan dan janji itu. Tak perlu.
Nafasnya dalam terdengar tertekan. Nafas yang tertahan. Harusnya lebih  dari ini, Harusnya  lebih kejam dari pada ini. Tuhan masih teramat baik padaku. Masih teramat sangat. Desir angin sore membelai rambut hitamnya. Menyalami tiap pori pada kulit tipisnya. Dingin. Mendung semakin menjadi, Langit yang manja seperti berubah murka. Kilatan cahaya terlukis indah di kanvas tak berujung itu. Seperti akar serabut. Menakjubkan.
Mungkin juga Tuhan tak mau mendengar aduanku, rengekku. Mungkin Tuhan tengah tertidur? Apa Dia kelelahan mendengar sumpah-serapah, aduan, hujatan, dan demo dari orang-orang SEPERTIKU? Makin kacau pikiranku. Mungkin Dia tengah mengutuk dosa yang telah ku perbuat. Tapi bukankah Tuhan yang menentukan peran sertaku di dunia ini? Entahlah. Aku tak paham.
Menyesal? Pasti. Tak luput remuk jiwaku ketika terukir manis masa-masa itu. Hati ini meringis kecut. Tapi, Tapi biarlah cermin itu berpendar. Biarlah. Biarlah terus pergi menjauh tertiup angin.
Tiba-tiba dia tersenyum, nyengir. Giginya yang tidak rata nampak bersembunyi dari dua bibir itu. Kenapa aku bisa melakukan hal sebodoh itu. Bahkan sampai sekarang pun aku tak habis-habisnya berfikir. Atas dasar apa? Karena apa? Apa aku keranjinngan? Apa salah DIA? Pecuma. Sampai sekarang pun aku tak bisa menjawab itu.
Pandangannya melemah, padam. Disaut suara petir yang menggelegar. Namun itu semua tak terdengar oleh sensor telinganya. Ia terlalu sibuk dengan DIA. DIA? Siapa DIA?
***
Panggil saja Aufi, Dia lebih nyaman dipanggil Aufi ketimbang dengan sebutan-sebutan lain, Zafa atau Aliza. Perempuan 23 tahun. Periang. Pekerja keras. Mahasiswa semester akhir di universitas kenamaan di Ibu kota. Satu jurusan denganku, Sastra Indonesia. Kulitnya hitam mengkilat, selalu mencolok pada setiap tempat. Tak masalah, hatinya teramat kontras dengan kulitnya yang pekat. Tak pernah menolak ketika kupintai tolong. Tak pernah punya alasan ketika kuajak keluar. Tak pernah mengeluh ketika ku meminta bantuan tugas-tugas kuliahku. Malah dengan berbesar hati.
Hanya semudah itu, ikatan itu terjalin, terpilin, menjadi benang pelangi. Pelangi yang aku sendiri pun tak pernah melihat sebelumnya. Tak pernah kuduga pula jalinan itu terkembang dengan eloknya. Sampai, sampai hari di mana pelangi itu berubah menjadi sumbu yang tersulut api. Meledakkan kedua belah sisi. Hangus-Gosong.
“Asu..!!” Teriakan laki-laki gemuk memecah tenang. Aufi yang tengah tertidur, terbangun seketika. Matanya yang masih merah di kucek oleh tangannya. Rambutnya berantakan acak-kadut.
“Ngapain Kamu Met? Berisik tau..” Aufi terbangun menatap tingkah laki-laki gendut itu yang tidak sewajarnya. “Nggak tahu apa gua lagi mimpi indah.” Matanya melirik mengadu pada pada laki-laki gemuk itu.
Lalu menyelidik, tiba-tiba tubuhnya terkesiap. Matanya melotot penuh tanya-curiga. Berganti rasa takut. Suasana menjadi tegang. Mengerikan.
Laki-laki gendut itu sadar. Seratus persen dalam kesadarannya. Tapi entah. Sebuah belati tergenggam erat pada tangannya. Ditudingkan menghunus pada muka Aufi. Aufi pun meloncat menghindar dari belati yang bergerak sembarang, seperti anak jaelangkung yang bergerak sesukanya. Melesat menakutkan.
“Apa-apaan Kamu Met?” Aufi teriak ketakutan, “Kamu mabuk? Kamu kerasukan setan?”
Laki-laki itu bergeming. Seperti tak memperdulikan Aufi yang ketakutan. Bahkan semakin keranjingan. Menyeramkan. Aufi tersudut di pojok kamar sementara laki-laki gendut itu berdiri satu meter di depannya. Seperti harimau yang terkesiap menerkam mangsanya. Matanya tajam, tersenyum sinis.
“Met..!! Gila kamu..!! Sadar..!! Istighfar..!! ” Aufi pun semakin panik berteriak tak karuan. Sial. Tak ada yang mendengar pertandingan menyeramkan itu. Jam kuliah seperti ini, kos-kosan seakan tak bertuan.
Laki-laki itu pun meloncat. Roar..!! Aufi tersungkur, terjerembab telentang. Tubuhnya tak bisa bergerak. Tubuh gendut laki-laki itu mengunci ruang geraknya. Wajah Aufi seketika pucat pasi. Merelakan tubuhnya untuk kemungkinan-kemungkian terburuk. Pasrah menatap wajah laki-laki itu dengan sejuta tanda tanya. Kau kenapa kawan? Apa salahku? Kau kenapa?
Dia, Laki-laki gendut itu, menghunuskan belatinya pada bahu kiri Ali.
“Aaarghh..” Aufi teriak sebisanya melepaskan rasa takutnya.
Meleset..!! tangan Aufi menangkis sigap sehingga belatinya menyobek kulit tipis pada lengan kanannya. Darah pun mengalir. Memancar. Seketika itu pula laki-laki gendut itu terdiam. Seperti kaget bukan kepalang melihat darah yang memancar itu. Bola matanya berputar-putar dan .... “Brukk..!!” Tubuh bongsornya tergeletak pada tubuh Aufi. Suasana seketika redup. Seakan waktu terhenti. Lenggang. Disusul kicau burung pipit yang seakan-akan turut prihatin.
 Aufi masih terlalu bingung dengan fenomena yang datang penuh kejut itu. Ia menyingkirkan tubuh berat yang tanpa daya itu. Menatapnya lamat-lamat. Wajahnya redup, namun berubah mengerikan. Masih dengan sejuta tanda tanya. Ada apa dengan kawanku ini?
***
Seminggu sudah terlewat. Laki-laki gendut itu tengah duduk di sebuah ruang 4 x 5 meter, ditemani seorang pria bertubuh besar dengan kumisnya yang berantakan. Benar sekali. Kantor polisi.
Ternyata saat kejadian mengerikan itu berlangsung, Ibu kos melihatnya. Dengan paniknya, segera dia panggil kantor polisi terdekat. Dan hari-hari tegang pun dimulai. Aufi, Ibu kos, dan Laki-laki gendut itu dimintai keterangan. Sedetail-detailnya.
“Aku... A..” Laki-laki gendut itu tersendat-sendat mengakui kenyataan yang benar ia sendiri lakukan. Lidahnya kelu, ”Demi Tuhan Pak. Aku tak mungkin membunuh Aufi, sahabatku. Bahkan berfikir untuk menyakitinya pun aku tak pernah.” Laki-laki gendut itu menjawab satu demi satu pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan. Menjelaskan apa yang dia tahu. Menceritakan apa yang dikehendaki pria berkumis berantakan itu. “Tapi demi Tuhan, aku tak akan mau. Demi Tuuhan Pak.. Aku nggak ada niatan pun buat membunuh.”
Tapi percuma. Laki-laki gendut itu hanya menjawab “tidak tahu”, menggeleng, bingung, bahkan bertanya-tanya tentang kejadian yang jelas benar adanya.
Tiga hari berikutnya, Laki-laki gendut itu dilarikan ke psikiater.
“Sungguh Bu, jika benar adanya. Aku tidak akan pernah mau melakukan hal itu. Aku tak ingin ditakdirkan menjadi pembunuh jadi-jadian. Bahkan aku mengutuk diriku sendiri yang telah melakukan hal bodoh macam itu. Aku tidak mungkin melakukan itu. Demi tuhan.” Gerutu laki-laki itu meminta perlindungan.
Lima hari laki-laki gendut itu menjalani pemeriksaan, melakukan obrolan-obrolan sederhana dengan psikiater, dipeiksa lagi, diwawancara lagi. Dan begitu seterusnya.
Sampai datang hari di mana Laki-laki gendut itu dibebaskan dari segala tuduhan yang menjeratnya. Ia hanya wajib datang setiap satu bulan sekali selama satu tahun ini pada kantor polisi. Ia bersyukur, namun berujung air mata. Kabar yang menyakitkan itu datang seperti petir di siang bolong. Selembar surat yang digenggamnya lusuh. Membawanya dalam ombang-ambing jiwa. Surat? Surat apa?
Lantas bagaimana dengan Aufi? Berubah, semua berubah. Seminggu pertama setalah kejadian itu, Aufi benar-benar tak mau bicara. Mengunci rapat-rapat mulutnya. Sering kali ia melamun. Tidur pun tak menentu. Bahkan ia tak mau makan selama tiga hari. Ia selalu ketakutan ketika nama laki-laki gendut itu disebut, ketika foto laki-laki gendut itu dilihatnya. Semua itu dibakar oleh ketakutannya yang teramat sangat akan kejadian itu. Trauma.
Dua bulan. Dua bulan waktu berjalan teramat lambat bagi dua insan itu. Setelah sekian lama tak berjumpa, Laki-laki gendut itu memutuskan untuk berkunjung, sekedar menengok karibnya itu. Ingin meminta maaf, ingin bercerita..
Di depan pintu kos itu. Langkah kakinya terhenti. Mereka pun bersitatap. Seper sepuluh detik, seperempat detik, setengah detik, satu detik, dua detik. “Duar..!!” Pintu kamar itu dibantingnya keras-keras. Laki-laki itu tegap berdiri manatap. Seperti dilindas truk jantungnya. Ia lebih ngeri melihat mata Aufi yang masih amat ketakutan. Tapi juga menyimpan belas kasih pada laki-laki itu. Kasihan.
Menyedihkan memang, tapi biarlah. Biarlah.
Lalu siapa aku?
Ya, kau benar sekali. Aku adalah lelaki gendut itu. Tak usah lah kalian mengenalku, apalagi berteman denganku. Aku tak ingin kalian juga terluka seperti sahabatku, Aufi. Bukan, bukan hanya sekedar sahabat. Aku telah jatuh cinta pada perempuan jelita itu, sejak dulu.
***
Masih di atap gedung itu. Sempurna sudah gelap malam membungkus langit sore. Kumandang adzan bersahutan mengundang insan yang terundang. Sepucuk surat tergenggam, tersimpan getir yang amat. Lelaki itu merigis memandangnya. Tawa setanpun meluncur dari kerongkongannya, “Hahahaha..!!”
Mengertilah kiranya jika kau mendapati sebuah penyakit menakutkan yang telah berinang di tubuhmu. Sayangnya ini bukan penyakit fisik yang bisa diremuk begitu saja. Psikiater itu, JIWAKU. Ada yang salah dengan jiwaku. Mungkin akalku sudah tak sanggup lagi perpijar. Mungkin sampai esok, lusa, atau pun nanti. Hingga redup, dan mati.
Aku tak begitu tahu dengan suratan takdir. Tapi aku tahu, Tuhan selalu punya rencana yang lebih indah untuk ku. Sebenar-benarnya. Seadil-adilnya.
Dan hujan pun lengkap membungkus kelam malam itu. Karena hujan, memang akan selalu datang. Ya, hidup itu terlalu indah bukan?


Sudut kota Yogyakarta

Februari 2014

1 comment: