(cerpen, romance, life)
Entah
kenapa air mata itu tak mau membuncah, rasanya seperti bisul yang besar, merah
merekah, tapi tak kunjung pecah. Tertahan menyakitkan. Atau mungkin matanya
sudah jengah harus berjibaku dengan air mata. Atau mungkin otaknya sudah cukup
lelah, terlampau lelah dengan gores hidup yang suka memberi kejutan menyakitkan,
Lantas enggan mewartakan sinyal pada kelenjar air matanya. Atau mungkin kelenjar
air matanya sedang dilanda musim kemarau berkepanjangan. Hm,, entahlah.
Lihat
bola mata yang mengisi rongga kepala laki-laki itu. Persis seperti yang
digambarkan. Bulat hitam seperti kelereng. Memandangi kehampaan langit yang
tiada batas itu. Menatap kekosongan. Entah apa yang sedang berkecamuk di balik
kepalanya.
Bersandar
pada dinding, tubuhnya tergolek lemas. Atap gedung yang cukup tinggi itu mampu
memangkas kepadatan kota dari sudut mata. Hanya langit biru yang mulai gelap
membentuk sketsa apik sore itu. di tambah gurat oranye yang membuat mata enggan
untuk mengatup. Tenang. Melarutkan pekat yang megumpul pada pedalaman jiwa.
Meskipun hanya sesaat. Tapi itu cukup mengobati batin yang penuh koreng. Sungguh tak ada pohon, bangunan, baliho, atau
reklame. Yang ada hanya ke-tak hingga-an pandang. Luas. Bersih. Menyejukkan.
Andai
saja bisa menumpahkan kecamuk dalam dada. Mungkin aku akan seketika terbang. Laki-laki itu masih terlihat lemas. Kepalanya mendongak ke atas,
mengharap pelangi datang mengguyur tubuh rapuhnya. Dia tersenyum. Entah senyum
tulus, atau senyum yang segaja dibuat sedemikian rupa sehingga terlihat
benar-benar tulus. Sesekali menelan ludah. Hatinya terus mendekte, Masih
mungkinkah semua ini bisa dibenahi. Ah, itu terlalu muluk-muluk. Berlebihan.
Aku tak mau terjebak dengan janji dan harapan semu yang aku buat sendiri. Tanpa
ada jaminan. Aku harus memendam percik harapan dan janji itu. Tak perlu.
Nafasnya
dalam terdengar tertekan. Nafas yang tertahan. Harusnya lebih dari ini, Harusnya lebih kejam dari pada ini. Tuhan masih teramat
baik padaku. Masih teramat sangat. Desir angin sore membelai rambut
hitamnya. Menyalami tiap pori pada kulit tipisnya. Dingin. Mendung semakin
menjadi, Langit yang manja seperti berubah murka. Kilatan cahaya terlukis indah
di kanvas tak berujung itu. Seperti akar serabut. Menakjubkan.
Mungkin
juga Tuhan tak mau mendengar aduanku, rengekku. Mungkin Tuhan tengah tertidur?
Apa Dia kelelahan mendengar sumpah-serapah, aduan, hujatan, dan demo dari
orang-orang SEPERTIKU? Makin kacau pikiranku. Mungkin Dia tengah mengutuk dosa
yang telah ku perbuat. Tapi
bukankah Tuhan yang menentukan peran sertaku di dunia ini? Entahlah. Aku tak
paham.
Menyesal?
Pasti. Tak luput remuk jiwaku ketika terukir manis masa-masa itu. Hati ini
meringis kecut. Tapi, Tapi biarlah cermin itu berpendar. Biarlah. Biarlah terus
pergi menjauh tertiup angin.
Tiba-tiba
dia tersenyum, nyengir. Giginya yang tidak rata nampak bersembunyi dari dua
bibir itu. Kenapa aku bisa melakukan hal sebodoh itu. Bahkan sampai sekarang
pun aku tak habis-habisnya berfikir. Atas dasar apa? Karena apa? Apa aku
keranjinngan? Apa salah DIA? Pecuma. Sampai sekarang pun aku tak bisa menjawab
itu.
Pandangannya
melemah, padam. Disaut suara petir yang menggelegar. Namun itu semua tak
terdengar oleh sensor telinganya. Ia terlalu sibuk dengan DIA. DIA?
Siapa DIA?
***
Panggil
saja Aufi, Dia lebih nyaman dipanggil Aufi ketimbang dengan sebutan-sebutan
lain, Zafa atau Aliza. Perempuan 23 tahun. Periang. Pekerja keras. Mahasiswa semester
akhir di universitas kenamaan di Ibu kota. Satu jurusan denganku, Sastra
Indonesia. Kulitnya hitam mengkilat, selalu mencolok pada setiap tempat. Tak
masalah, hatinya teramat kontras dengan kulitnya yang pekat. Tak pernah menolak
ketika kupintai tolong. Tak pernah punya alasan ketika kuajak keluar. Tak
pernah mengeluh ketika ku meminta bantuan tugas-tugas kuliahku. Malah dengan
berbesar hati.
Hanya
semudah itu, ikatan itu terjalin, terpilin, menjadi benang pelangi. Pelangi
yang aku sendiri pun tak pernah melihat sebelumnya. Tak pernah kuduga pula
jalinan itu terkembang dengan eloknya. Sampai, sampai hari di mana pelangi itu
berubah menjadi sumbu yang tersulut api. Meledakkan kedua belah sisi.
Hangus-Gosong.
“Asu..!!”
Teriakan laki-laki gemuk memecah tenang. Aufi yang tengah tertidur, terbangun
seketika. Matanya yang masih merah di kucek oleh tangannya. Rambutnya
berantakan acak-kadut.
“Ngapain
Kamu Met? Berisik tau..” Aufi terbangun menatap tingkah laki-laki gendut itu
yang tidak sewajarnya. “Nggak tahu apa gua lagi mimpi indah.” Matanya melirik
mengadu pada pada laki-laki gemuk itu.
Lalu
menyelidik, tiba-tiba tubuhnya terkesiap. Matanya melotot penuh tanya-curiga. Berganti
rasa takut. Suasana menjadi tegang. Mengerikan.
Laki-laki
gendut itu sadar. Seratus persen dalam kesadarannya. Tapi entah. Sebuah belati
tergenggam erat pada tangannya. Ditudingkan menghunus pada muka Aufi. Aufi pun meloncat
menghindar dari belati yang bergerak sembarang, seperti anak jaelangkung yang
bergerak sesukanya. Melesat menakutkan.
“Apa-apaan
Kamu Met?” Aufi teriak ketakutan, “Kamu mabuk? Kamu kerasukan setan?”
Laki-laki
itu bergeming. Seperti tak memperdulikan Aufi yang ketakutan. Bahkan semakin
keranjingan. Menyeramkan. Aufi tersudut di pojok kamar sementara laki-laki
gendut itu berdiri satu meter di depannya. Seperti harimau yang terkesiap menerkam
mangsanya. Matanya tajam, tersenyum sinis.
“Met..!!
Gila kamu..!! Sadar..!! Istighfar..!! ” Aufi pun semakin panik berteriak tak
karuan. Sial. Tak ada yang mendengar pertandingan menyeramkan itu. Jam kuliah
seperti ini, kos-kosan seakan tak bertuan.
Laki-laki
itu pun meloncat. Roar..!! Aufi tersungkur, terjerembab telentang. Tubuhnya tak
bisa bergerak. Tubuh gendut laki-laki itu mengunci ruang geraknya. Wajah Aufi seketika
pucat pasi. Merelakan tubuhnya untuk kemungkinan-kemungkian terburuk. Pasrah
menatap wajah laki-laki itu dengan sejuta tanda tanya. Kau kenapa kawan? Apa
salahku? Kau kenapa?
Dia,
Laki-laki gendut itu, menghunuskan belatinya pada bahu kiri Ali.
“Aaarghh..”
Aufi teriak sebisanya melepaskan rasa takutnya.
Meleset..!!
tangan Aufi menangkis sigap sehingga belatinya menyobek kulit tipis pada lengan
kanannya. Darah pun mengalir. Memancar. Seketika itu pula laki-laki gendut itu
terdiam. Seperti kaget bukan kepalang melihat darah yang memancar itu. Bola
matanya berputar-putar dan .... “Brukk..!!” Tubuh bongsornya tergeletak pada
tubuh Aufi. Suasana seketika redup. Seakan waktu terhenti. Lenggang. Disusul
kicau burung pipit yang seakan-akan turut prihatin.
Aufi masih terlalu bingung dengan fenomena
yang datang penuh kejut itu. Ia menyingkirkan tubuh berat yang tanpa daya itu.
Menatapnya lamat-lamat. Wajahnya redup, namun berubah mengerikan. Masih dengan
sejuta tanda tanya. Ada apa dengan kawanku ini?
***
Seminggu
sudah terlewat. Laki-laki gendut itu tengah duduk di sebuah ruang 4 x 5 meter, ditemani
seorang pria bertubuh besar dengan kumisnya yang berantakan. Benar sekali.
Kantor polisi.
Ternyata
saat kejadian mengerikan itu berlangsung, Ibu kos melihatnya. Dengan paniknya,
segera dia panggil kantor polisi terdekat. Dan hari-hari tegang pun dimulai.
Aufi, Ibu kos, dan Laki-laki gendut itu dimintai keterangan.
Sedetail-detailnya.
“Aku...
A..” Laki-laki gendut itu tersendat-sendat mengakui kenyataan yang benar ia
sendiri lakukan. Lidahnya kelu, ”Demi Tuhan Pak. Aku tak mungkin membunuh Aufi,
sahabatku. Bahkan berfikir untuk menyakitinya pun aku tak pernah.” Laki-laki
gendut itu menjawab satu demi satu pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan.
Menjelaskan apa yang dia tahu. Menceritakan apa yang dikehendaki pria berkumis
berantakan itu. “Tapi demi Tuhan, aku tak akan mau. Demi Tuuhan Pak.. Aku nggak
ada niatan pun buat membunuh.”
Tapi
percuma. Laki-laki gendut itu hanya menjawab “tidak tahu”, menggeleng, bingung,
bahkan bertanya-tanya tentang kejadian yang jelas benar adanya.
Tiga
hari berikutnya, Laki-laki gendut itu dilarikan ke psikiater.
“Sungguh
Bu, jika benar adanya. Aku tidak akan pernah mau melakukan hal itu. Aku tak
ingin ditakdirkan menjadi pembunuh jadi-jadian. Bahkan aku mengutuk diriku
sendiri yang telah melakukan hal bodoh macam itu. Aku tidak mungkin melakukan
itu. Demi tuhan.” Gerutu laki-laki itu meminta perlindungan.
Lima
hari laki-laki gendut itu menjalani pemeriksaan, melakukan obrolan-obrolan
sederhana dengan psikiater, dipeiksa lagi, diwawancara lagi. Dan begitu
seterusnya.
Sampai
datang hari di mana Laki-laki gendut itu dibebaskan dari segala tuduhan yang
menjeratnya. Ia hanya wajib datang setiap satu bulan sekali selama satu tahun
ini pada kantor polisi. Ia bersyukur, namun berujung air mata. Kabar yang
menyakitkan itu datang seperti petir di siang bolong. Selembar surat yang
digenggamnya lusuh. Membawanya dalam ombang-ambing jiwa. Surat? Surat apa?
Lantas
bagaimana dengan Aufi? Berubah, semua berubah. Seminggu pertama setalah
kejadian itu, Aufi benar-benar tak mau bicara. Mengunci rapat-rapat mulutnya.
Sering kali ia melamun. Tidur pun tak menentu. Bahkan ia tak mau makan selama
tiga hari. Ia selalu ketakutan ketika nama laki-laki gendut itu disebut, ketika
foto laki-laki gendut itu dilihatnya. Semua itu dibakar oleh ketakutannya yang
teramat sangat akan kejadian itu. Trauma.
Dua
bulan. Dua bulan waktu berjalan teramat lambat bagi dua insan itu. Setelah
sekian lama tak berjumpa, Laki-laki gendut itu memutuskan untuk berkunjung,
sekedar menengok karibnya itu. Ingin meminta maaf, ingin bercerita..
Di
depan pintu kos itu. Langkah kakinya terhenti. Mereka pun bersitatap. Seper
sepuluh detik, seperempat detik, setengah detik, satu detik, dua detik. “Duar..!!”
Pintu kamar itu dibantingnya keras-keras. Laki-laki itu tegap berdiri manatap.
Seperti dilindas truk jantungnya. Ia lebih ngeri melihat mata Aufi yang masih
amat ketakutan. Tapi juga menyimpan belas kasih pada laki-laki itu. Kasihan.
Menyedihkan
memang, tapi biarlah. Biarlah.
Lalu
siapa aku?
Ya,
kau benar sekali. Aku adalah lelaki gendut itu. Tak usah lah kalian mengenalku,
apalagi berteman denganku. Aku tak ingin kalian juga terluka seperti sahabatku,
Aufi. Bukan, bukan hanya sekedar sahabat. Aku telah jatuh cinta pada perempuan
jelita itu, sejak dulu.
***
Masih
di atap gedung itu. Sempurna sudah gelap malam membungkus langit sore.
Kumandang adzan bersahutan mengundang insan yang terundang. Sepucuk
surat tergenggam, tersimpan getir yang amat. Lelaki itu merigis memandangnya.
Tawa setanpun meluncur dari kerongkongannya, “Hahahaha..!!”
Mengertilah
kiranya jika kau mendapati sebuah penyakit menakutkan yang telah berinang di
tubuhmu. Sayangnya ini bukan penyakit fisik yang bisa diremuk begitu saja.
Psikiater itu, JIWAKU. Ada yang salah dengan jiwaku. Mungkin akalku sudah tak
sanggup lagi perpijar. Mungkin sampai esok, lusa, atau pun nanti. Hingga redup,
dan mati.
Aku
tak begitu tahu dengan suratan takdir. Tapi aku tahu, Tuhan selalu punya
rencana yang lebih indah untuk ku. Sebenar-benarnya. Seadil-adilnya.
Dan
hujan pun lengkap membungkus kelam malam itu. Karena hujan, memang akan selalu
datang. Ya, hidup itu terlalu indah bukan?
Sudut
kota Yogyakarta
Februari
2014
Keren kak! Lanjutkann! :D
ReplyDelete