Tuesday, March 11, 2014

Sebut Saja Gadis

@reejaaah
 
Menunggu bukanlah hal yang lebih baik dari melihat acara televisi yang membosankan, atau bahkan tidak lebih baik dari menghitung integral laplace berpangkat dan sederet hitungan yang menjengkelkan. Lebih baik semua terlukis gamblang dalam kanvas, meskipun itu harus menyisa belonteng yang mengganjal dalam pandang. Karena menunggu adalah hal yang selalu menghadirkan duga-sangka yang menguras tenaga, jiwa apa lagi.

Namaku...  nanti, Aku belum ingin siapa pun tahu siapa namaku, aku tak suka popularitas. Cukup kenang aku dengan ‘gadis’. Akan aku beri tahu nanti. Nanti.

Dan aku ingin bercerita sedikit tentang kisahku padamu, hanya pada Engkau. Jangan beritahu pada yang lain. Ini rahasia. Begini ceritanya :

Jelas, waktu libur adalah waktu yang menyenagkan bagiku. Aku bisa menghabiskan panjang waktuku untuk mengelilingi kota persinggahan ini. Apalagi mahasiswa sepertiku perlu rasanya sesekali dalam sepekan memanjakan syaraf-syaraf yang mulai menegang.

Sepakat, pagi dini hari aku dan sepuluh orang yang memiliki hobi jalan-jalan sepertiku menjadikan pantai  sebagai pemuas hasrat . Tujuh perempuan cantik, dan sisanya bodyguard kami. Butuh perjalanan satu jam setengah untuk bisa menginjakkan kaki pada permadani berbatas laut itu.

Seperti biasa, pria hitam itu yang selalu bersamaku. Kleo namanya. Tempat di mana keluh kesahku selalu berpendar. Tempat di mana aku boleh mengadu, bercerita, mengembik, merengek, menangis, mengaduh. Selalu ada hangat saat aku terjebak dingin, selalu ada sinar ketika gelap merundungku. Dia memang orang yang baik. Teramat baik malah.
***
Kau boleh memanggilku Kleo, Bodeng,  Iman, atau terserah Kau hendak memanggilku dengan sebutan apa.  Mahasiswa semester akhir di sebuah universitas yang tidak terkenal di sudut kota Jogja.
Hari-hariku kuiisi dengan melukis, melukis, dan ... Bagiku  melukis adalah jiwaku. Membiarkan jiwaku melebur bersama cat yang menari dalam kanvas. Menumpahkan berjuta warna hidup yang tiada kiranya. Melalui lukisan, aku mewartakan kebahagian, cinta, keindahan. Hanya itu. Aku tak suka menggores mendung atau pun luka. Itu sama halnya menyemai hama pada banyak orang.

Dia? Si ‘gadis itu’? Baik. Dia teman dekatku. Aku tidak tahu banyak tentang dia. Yang aku ingat dia sering merengek tentang teman-temannya yang menjengkelkan ketika harus mengerjakan makalah,  mereka hanya berpangku tangan, katanya.  Atau teman laki-lakinya yang berulang kali menyatakan cinta padanya, namun dia tak ada tertarik secuil pun. Atau mendengar ocehan panjang tentang buku-buku tere liye yang dikoleksinya, dia selalu memaksaku untuk membacanya juga Ya, dia cantik. Lebih-lebih hatinya.

Namun, ada yang aneh dengannya seminggu terakhir ini. Ia jadi suka ngambek sekenanya, suka marah, kadang cemberut sendiri. Sering kali juga tak mau kuajak bicara. Tak tahu aku jalan pikirannya. Marah-marah tak jelas. Aku tak begitu paham ulat apa yang telah menelusup dalam jantungnya. Mungkin PMS, pikirku mencoba meredam praduga jahatku.
***
Marah? Aku tak pernah melejitkan amarahku di depannya. Hanya aku sedang merasa tidak ada yang perlu dibicaraan apa pun itu dengannya. Aku hanya sedang merasa dia teramat menyebalkan. Tapi biarlah. Tak perlu dia tahu aku sedang kesal sama dia.

Tapi, kenapa juga aku harus gusar dengan dia. Toh dia juga tidak melakukan sesuatu yang merugikanku. Melukai pun tiada. Dia seperti biasanya. Tapi entah, rasanya dia begitu terasa menyebalkan akhir-akhir ini. Tapi.. tapi.. tapi akan lebih terasa ganjal jika tak ada bayangannya.
Ah.. Tuhan.. Aku tak tahu jalan pikiranku sendiri. Pergulatan hati macam ini membuat irama jantungku tak menentu. Cukupkanlah Tuhan.

Apa lagi dia ada di sampingku sekarang. Duduk di atas pasir putih di bawah mentari yang mulai merangkak naik. Di sangsikan laut biru.  di gerus suara gelombang ombak yang berlarian menghampiri. Ombaknya yang pecah membasahi kaki, merayu untuk lekas didatangi. Kecipak air terdengar merayu.

Sementara kami duduk, sementara yang lain sudah asyik bermanjakan tawa dan riang lima belas meter tepat di depan kami. Teriakan, cekikikan, tawa, berpendar dalam ombak yang bergulung.

Mungkin aku mencintainya? Aku rasa tidak, sudah lama sekali aku tak merasakan hal itu. Tapi mungkin juga iya. Aku sudah lupa dengan gemuruh tanah yang longsor, api yang membakar hutan, atau pun serdadu yang saling beradu dalam peperangan. Dan sekarang tepat terjadi pada dadaku.

Ah, Kleo. Kenapa keberadaanmu di sampingku seraasa duduk pada permadani dari sutra, berhias pernik kristal dan batu safir pada singgahsana. Terlihat pelangi berayun pada taman yang penuh tawa riang malaikat kecil. Surga yang hanya aku dan engkaulah penghuninya.

Oh Tuhan, batapa bodohnya. Aku baru menyadarinya. Aku baru terbangun dari kemarau yang amat sangat lama. Ah, Lagi-lagi aku terjerat dalam dunia yang memabukkan. Apalah itu, tapi orang biasa menyebutnya dengan cinta. Cinta?
***

Bahkan sekarang pun, dia mulai menjengkelkan. Merengek meminta ini itu, seperti bocah yang meminta balon pada biyungnya. Setelah dituruti, lanjut meminta boneka, mainan, jajan, dan tiada habisanya kalau dituruti. Dan kalau tidak dituruti, amarahnya menyulut, ngambek, bersungut. Sungguh menyebalkan.

Ada apa dengan gadis ini. Makin hari kedewasaannya melemah, semakin kekanakan. Bahkan sekarang, di pantai ini, dia tidak mau mengobrol denganku. Hanya karena aku tak mau bermain air, menggendongya dan menyeburkannya ke pantai. Bagiamana bisa? Aku sedang tak enak badan. Bahkkan aku sudah menolaknya dengan pelan, bahkan aku menawarkannya untuk naik delman saja.
Sungguh benar-benar aku tak mengerti jalan pikirannya. Sepanjang perjalanan pulang pun tidak berubah, wajahnya dilipat sekucel-kucelnya. Kusut tak berbentuk. Tak ada obrolan pendek pun dalam perjalanan itu. Rona merah masih mendempul di wajahnya. Saat kulirik wajahnya, semakin gigih olehnya melipat-kusut wajahnya. Tapi tetap saja terlihat manis, lebih manis malahan.

Ah, sungguh gadis ini. Aku jadi merasa tidak enak, membuat hari-harinya dirundung durja. Tak ada upayaku diindahkannya. Usahaku untuk menghiburnya pun berbuah sia-sia.
Sesekali terlihat senyum kecilnya, jelas senyum yang penuh reakasaya. Dan itu membuatku semakin tak kuat daya. Ada apa dengan dia?
***

Aku hanya butuh perhatian dari dia. Rasanya ganjal hari tanpa perhatian dari nya. Tapi percuma, mata hatinya masih lelap tertidur. Tak bisa merabai dadaku. Sungguh laki-laki itu tak peka sedikit pun. Aku kesel.

Mungkin lebih baik tak perlu membuat perbincangan dulu dengannya, itu akan terasa menyakitkan jika dia tetap saja tidak pernah peka. Tapi kenyataannya, dia memang tidak pernah peka dengan hatiku.

Sungguh Kleo, jangan buat aku menunggu terlalu lama.
***

Seminggu aku tak bertemu dia. Sesekalinya bertemu, dia malah berusaha menghindar. Atau jika terpaksa bertemu, tidak banyak bicara. Hanya menjawab jika aku bertanya, sisanya hanya tanda tanya. Seminggu sejak liburan ke pantai itu sikapnya semakin aneh saja. Aku tak habis-habisnya perpikir, hanya karena aku menolaknya bermain itu kah dia sampai jadi seperti ini.

Jangankan membalas sms, mengangkat telepon dari ku pun ogah-ogahan.

Ayolah, Gadis ini pandai benar buatku berputar-putar kepalang. Khawatir tak karuan. Tak pernah sebelumnya makan siangku jadi kacau rasanya. Tidur ku pun tak selelap malam-malam sebelumnya. Aneh sekali, aku mengkhawatirkannya, lebih. Lebih dari biasa-biasanya.
...
...
Aku tahu..!! Aku tahu apa yang harus aku lakukan

***
Tetap saja, sama halnya sia-sia. Dia tidak mengindahkan sedikit pun keadaanku. Mengkhawatirkanku pun tidak. Aku jadi semakin kesal, tapi disisi lain, aku malah semakin merindu peluk manjanya. Aku makin mencintainya.

Aromanya seakan hadir saat kuhirup udara senja. perawakannya seperti muncul ketika kututup mata, hendak memberi peluk terhangatnya. Suaranya berngiang ketika sepi datang. Ah, Kleo. Kau benar-benar tega. Tega membuat ku mengkekang rasa ini, rasa-rasanya aku tak kuat lagi membendung. Ingin segera kuledakkan.

Hampir tiap malamku, dia menyempatkan hadir hanya untuk menyanyi untukku, memberi bunga untukku, membacakan sajak cinta untukku, mendongengkan cerita untukku. Ya, sayang. Dia hanya hadir dalam “malam” ku.

Mungkin iya, aku berlebihan. Mendiamkannya tidak menyelesaikan masalah, tidak membuat dia peduli padaku. Namun sebaliknya. Dia semakin menjauh saja denganku.

Seminggu terakhir, aku tak melihatnya di kampus. Mungkin karena tingkahku. Saat berjumpa, selalu ada walau hanya sekedar menyapa atau melempar senyum. Senyum yang selalu kubalas dengan kecut. Betapa bodohnya diriku.

Ada apa gerangan dengan pangeran impianku, yang biasanya membawa pelangi di setiap kejap mataku, yang selalu mengiring tawa dalam jenuhku,yang selalu melukiskan keindahan dalam kanvas hatiku.

Ah, sungguh menyakitkan saat gambar-gambar indah masa lalu itu merengkuh dalam rindu. Segera. Aku harus datang ke tempatnya. Aku harus meluapkannya. Harus. Sekarang. Sekarang.
***

Selesai sudah, hanya ini yang bisa kulakukan. Lelah rasanya setelah beberapa hari menguras pikiran, tenaga, emosi, cinta, dan meluapkannya dalam ‘kado’ kecil ini. Tapi tidak, aku sangat puas, semua terbayar dengan kebahagiaan yang entah terasa begitu meledak-ledak. Apalagi membayangkan memberikannya pada gadis itu.

Kenapa juga aku mesti berfikir seperti itu? Ya. Tidak salah lagi. Biarlah biarlah waktu berpilin dalam dunia fatamorgana. Aku tak mau menenggelamkan hatiku yang tengah berpijar ini.
***

Tepat di depan pintu kosnya kakiku terhenti. Berpikir satu-dua detik berusaha memantapkan kembali. Lebih mantap dari tadi. Lebih mantap dari satu detik yang lalu. Bayang laki-laki itu makin muncul begitu saja, sekali-dua membukakan pintu dari dalam. Beberapa kejap bayangan kemungkinan terburuk pun terbias. Tidak. Semua akan baik-baik saja.

Tangan yang mengepal pun urung mengetuk pada dinding pintu saat terlihat Kleo tertidur dengan pulasnya dari pintu yang sedikit terbuka. Aku pun masuk tanpa permisi, seakan rumah milik sendiri.

Lagi-lagi langkahku terpatri. Ada yang aneh dengan ruangan ini. Tiba-tiba tubuhku seperti terbang mengapung, aroma surga menyengat melumpuhkan kesadaranku. Mata ini terpana, tertuju pada sebuah kanvas yang tak kosong lagi.

Seraoang malaikat? Aku rasa bukan. Tapi lihatlah.. Dia cantik sekali, Sungguh menawan hati. Tiap gores warna yang terkuas seakan bercerita tantang surga, tentang cinta.
Sungguh, rasanya merugi ketika harus menutup mata barang sedetik pun. Wajah itu, cantik sekali. Demi tuhan.
Siapa gerangan wajah dalam foto itu?
***

Sungguh keajaiban memang datang untuk mereka yang tengah dirundung cinta. Saat mataku pelan menghilangkan kekaburannya dari tidurku. Terlihat gadis menawan itu berdiri tepat di depanku. Aku berfikir itu hanya sketsa yang aku lukis tadi, aku kira dia hanya kesemuan. Tapi aku salah, dia nyata. Dengan segala kemewahan cinta, dengan segala keanggunan, dengan segalanya. Dia hadir memberikan hadiah terindah.

Aku masih ragu, sedikit ragu. Tapi dia memang nyata.

“Aini..” mulut kecilku berucap kelu.
***

Aku pun menoleh,

Hanya menoleh, dan.... Kosong.

Aku tak ingat lagi aku harus apa, aku harus bagaimana. Aku pun lupa dengan tujuan utamaku.

Hening. Kami berdua mematung.

Hening lagi. Lama. Hening. Lama lagi.

Diam, tanpa suara. Tapi, kami berbicara, melalui mata, melalui rasa.
***

Benarlah, jangan sampai kau ceritakan kisahku ini pada siapa pun. Aku tidak ingin mereka mengerti kisahku. Biarlah mereka mengenal cinta melalui jalan mereka sendiri, melalui kisah mereka sendiri. Karena itu akan lebih indah, jauh lebih indah dari pada yang banyak orang bicarakan.
Satu hal. Kau tak harus melakukan kesalahan yang sama denganku. Janganlah membuat dia terlalu lama menunggu. Itu menyebalkan.

Terimakasih dariku, Kau sudah menyempatkan waktumu untuk mendengar ceritaku. Kau boleh memanggilku Kleo, Bodeng,  Iman, atau terserah Kau hendak memanggilku dengan sebutan apa.

#tamat
Yogyakarta, Maret 2014

No comments:

Post a Comment