Monday, February 17, 2014

Mbah Jo

Pahlawan. Aku sering mendengar kata itu waktu sekolah dasar dulu. Seseorang yang dikenang karena jasanya dalam membela negara. Darah dan keringatnya didedikasikan hanya teruntuk mengabdi pada negara. Aku sering mendengar nama-nama seperti Patimura, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Ki Hajar Dewantara, dan masih banyak lagi, yang muncul dalam pelbagai kisah heroik yang disajikan oleh guru sekolah dasarku dengan penuh emosional.

Berbicara soal guru, aku jadi teringat beberapa tahun silam. Di mana seseorang guru juga digembar-gemborkan sebagai pahlawan. Hal semacam itu membumbung tinggi di telinga masyarakat. Bahkan dikukuhkan dalam sebuah lagu yang bertajuk pahlawan tanpa tanda jasa. Bisa jadi benar jika hal itu terjadi pada era pasca kemerdekaan. Sayang, sepertinya sekarang itu semua sudah tidak berlaku. Terlalu menafikkan kiranya jika guru yang sekarang disetarakan dengan guru tempo dulu. Loyalitas dan kredibilitas mereka tidak bisa disama-ratakan. Sangat kontras. Aku tak perlu bercerita panjang lebar bukan mengapa demikian?

Atau bahkan pahlawan sebenarnya adalah lakon yang selalu muncul dalam dunia layar kaca. Yang selalu membela dan menolong orang-orang yang lemah dan kesusahan. Seperti spiderman, superman, batman, atau berderet superhero yang lain. Bisa jadi.

Entah, pahlawan seperti apa yang benar-benar pantas disanjung sebagai pahlawan. Aku kira pahlawan tidak akan mau disebut pahlawan. Di dunia yang semakin individualis ini. Di dunia yang miskin kepedulian ini.

“Nglamun Mas?” suara berat itu memecah dunia fantasiku. Aku terhenyak dan tersenyum padanya. Seyum maluku. Orang tersebut membalas senyumku, “Nglamunin apa to? Kamu belum punya istri?”

“Boro-boro punya istri mbah, kepikiran buat nikah saja belum ada.” Jawabku agak malu-malu.

“Loh, nunggu apa lagi? Usia sudah matang. Pekerjaan juga sudah mapan. Bukannya rosul menganjurkan kepada kita untuk menyegerakan menikah. Kesempurnaan iman manusia, separuhnya dari pernikahan. Kualitas ibadah kita akan meningkat berkali-kali lipat. Rosul mengatakan demikian.”

Aku hanya mengangguk. Kami pun saling berpandangan dan berujung tawa. Kami kembali fokus membersihkan kamar mandi dan tempat wudhu mushalla di sudut sebuah desa. Mushala yang belum pernah kujamah sebelumnya. Namun, memberiku candu untuk selalu mencumbunya. Karena orang tua itu.

Pertemuan-pertemuan kami ini berawal dari sebuah sentuhan hati. Yang membuatku ingin bertemu lagi dengannya. Lagi, dan lagi. Sebuah kesan pertama yang membuat wajah tuanya selalu terlukis dalam bayangku.

Kala itu, rasa letih menggelayut tubuhku. Berat ransel menggantung di punggungku menambah beban perjalananku. Di ujung batas lelahku, mataku tertambat pada sebuah mushala kecil yang nampak sederhana. Segera kuletakkan tas ranselku dan kurebahkan tubuhku di sana. Lantainya terasa dingin menyentuh menembus kulit tipisku. Rasa lelah yang sangat, membawaku terbang pada perbatasan dunia mimpi.

“Minum Nak?” Tiba-tiba terdengar suara. Aku segera bangun dari posisi tidurku dan mencari dari mana sumber suara itu. Seseorang dengan tubuh kurus dengan kulit mengeriput. Tubuhnya yang hitam legam terbungkus kain putih bersih. Baunya wangi, aku suka baunya. Matanya yang cekung memandang dalam ke arahku. Di tangannya segelas air putih disodorkan padaku. Kebetulan sekali. Aku pun langsung meminumnya. ”Terimakasih.”

Percakapan kecil pun muncul memulai kedekatan kami. Ia banyak bertanya, dan dia juga lebih banyak bercerita. Namanya Mbah Jo. Orang-orang memanggilnya demikian. Sebenarnya usianya belum begitu tua. Hanya saja memang secara fisik nampak tidak muda. Mungkin karena lelaki ini hidup sendiri. Istri dan anaknya meninggal saat proses persalinan dulu. Semoga khusnul khotimah.

Dia terlihat tegar dalam tiap sikapnya. Seperti tidak ada beban saja. Dia juga sering cerita mengenai ilmu agama, mengenai kisah-kisah rasul, mengenai pengalaman hidupnya selama nyantri di pondok pesantren dulu. Aku sangat antusias saat dia mulai bercerita. Suaranya terdengar begitu menenangkan dan membuatku betah berlama-lama bercerita bersamanya.

Sejak pertemuan pertama itu, aku menjadi sering datang untuk menjumpainya. Mengobrol apa pun dengannya. Melupakan kesibukan yang tidak ada habisnya dan membiarkan waktu yang berjalan begitu cepat. Begitu pula dengan pertemuan kedua, ketiga dan seterusnya.

Seperti tidak ada lelahnya. Dari mulai fajar menyingsing hingga senja berbenar, ia setia menemani mushala kecil itu. Biasanya dia membersihkan lantai dengan kain pel setelah  matahari mulai menyapa. Dilanjutkan dengan membersihkan pekarangan kecil di depan mushala itu. Terdapat pohon mangga dan rambutan yang selalu merontokkan daunnya yang telah layu. Tempat itu selalu bersih saat aku datang  menjumpainya untuk shalat dhuha.  Tak jarang saat aku menjumpainya, dia tengah memangku AlQuran dan dibacanya dalam alunan.. Kadang juga kitab-kitab bertuliskan arab tanpa satu pun harokat yang menghiasi huruf tersebut. Entah kitab apa.

Setelah selesai berjamaah ashar, dia mengajar madrasah di mushala tersebut. Pelajaran macam fiqih, hadits rosul, akhlaq, sejarah rosul, diterangkannya satu per satu di depan anak-anak desa tersebut. Dengan penampilan yang bervariasi, anak-anak mengikuti pelajaran dengan antusias. Tidak sedikit di antara mereka yang bergurau dan bercerita sendiri dengan temannya. Mbah Jo tetap sabar.

Mengaji Al-Quran dilakukan setelah shalat maghrib. Satu per satu anak-anak membaca ayat demi ayat dalam Al-Quran. Ada yang sudah lancar membaca Al-Quran, ada yang hanya bisa membaca juz Amma, ada juga yang baru memulai mengenal huruf hijaiyah. Terkadang aku juga ikut membantu mengajar dengan bekal ilmu tajwidku waktu MTs dulu, tetapi itu cuma sekali dua kali. Mbah Jo selalu sabar membimbing anak-anak itu, huruf demi huruf, kalimat demi kalimat diterangnya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.

Semua itu dilakukannya setiap hari. Itulah Mbah Jo.

Pada sebuah pertemuan yang lenggang. Setelah kami menyelesaikan menyapu pekarangan. Tidak seperti biasanya. Kali ini dia lebih banyak diam dari pada bercerita atau sekedar menasihati. Begitu pula dengan wajahnya, tidak secerah dan sebahagia hari-hari biasanya.

Aku tidak berani menanyakan bagaimana kabar suasana hatinya yang terlihat membiru. Aku duduk di serambi mushalla, bersanding pada tubuhnya yang mulai merapuh.

Pikirku pun mulai mereka-reka sebab apa pria tua ini begitu muram. Apa mungkin masalah keluarga? Bukan, dia tidak punya keluarga. Lagi pula dia sudah terbiasa dengan kesendiriannya. Barang kali masalah ekonomi? Iya, mungkin uang mingguan dari anak-anak yang mengaji kurang mencukupi kebutuhannya. Iya, pasti karena itu.

Kuberanikan diri untuk memecah diam ini dengan sebuah pertanyaan. “Sudah makan mbah?” Mbah Jo terdiam. Pandangannya kosong. “Mbah?”

Dia menggeleng.

“Ayo makan Mbah? Saya traktir deh di warung Mbak Siti apa Mbak Romlah?”

Dia menggeleng lagi. Aku semakin khawatir. Aku pun semakin gusar dengan keadaan yang seperti ini.

“Apa uang ngaji dari anak-anak kurang? Tidak mencukupi kebutuhan Mbah?”

Lagi-lagi dia tetap kukuh dengan diamnya. Tapi kali ini berbeda. Dia tidak menggeleng, melainkan menatap ke arahku, menembus bola mataku. Dia tersenyum. “Kau tahu?” dia mulai berbicara. “Tujuan manusia diciptakan oleh Allah di bumi ini?”

Dia menanti jawabanku. Aku tahu. Tapi aku sedikit ragu. Dan seandainya aku yakin dengan jawabanku pun aku  tidak ingin terlihat sudah tahu di depan mbah Jo.

“Allah menciptakan manusia itu supaya beribadah. Sesederhana itu. Mbah ini udah tua, nggak punya tanggungan lagi. Jadi mbah ingin beribadah dengan sungguh-sungguh di akhir usia mbah. Benar-benar mengabdi hanya kepada Allah.”

“iya mbah.” Aku mengangguk. Aku merasa malu. Aku merasa pertanyaanku itu tidak patut kupertanyakan.

“Allah itu maha adil. Mbah tidak menerima bayaran atas niat tulus mbah membantu anak-anak itu mengaji. Menuju jalan yang diridhoi Allah. Mbah melakukan itu semua karena Allah. Tak mengharap apa pun. Allah sudah mengatur rejeki Mbah.” Ia menngambil nafas panjang. Pandanganya kembali pada kekosongan.

“Seperti kamu ini. Kamu itu orang hebat.” Dia menepuk pundakku, “Kamu mau-maunya meninggalkan kehidupan mewahmu di kota sana. Demi mengobati orang-orang sakit di pelosook sini.”

Aku tidak menyangka Mbah Jo memujiku. Mengagumi gerakku. “Kalau kamu menjadi dokter yang tulus. Ikhlas. Mengobati orang sakit itu hanya karena Allah. Kamu akan menemukan kebahagian yang sebenarnya. Kebahagian yang bukan dilihat dari jumlah uang kita, status sosial kita, kedudukan kita. Melainkan kebahagiaan yang hakiki. Allah pasti akan menggantinya dengan surga di akhirat kelak.” Dia pun tersenyum pada ku dan meninggalkan ku duduk sendiri. Air wudhu membasahi kulit wajahnya dan membawanya pada nada-nada Al-Quran.

Kata-kata terakhir itu masih terngiang menyejukkan. Membangun. Dan sedikit menyinggung. Kenapa aku merasa tersinggung? Iya, kenapa aku tersinggung? Mungkinkah tujuanku bukan karena Allah. Karena materi. Karena status sosial. Karena... Aku masih merasa itu semua adalah cerminanku. Itulah aku.

Jadi. Apakah aku harus terinspirasi dari dia? Ikhlas karena Allah?

Pikiranku kembali mengulik pada sosok tua itu. Yang tengah duduk dengan sarung palekat dan baju yang serba putih. Ditambah songkok dan sorban. Seseorang yang memberi banyak perubahan dalam kehidupanku.

Aku kira dia hidup dari itu, ternyata... Bagaimana dia bisa begitu? Bagaimana dia mencukupi kebutuhannya dengan keadaannya yang demikian? Uang dari mana? Ya Allah. Pikiranku tak sanggup menyentuh jawaban dari semua pertanyaan itu. Mungkin karena hatiku masih sangat kotor. Masih sangat jauh dari keikhlasan.

Tiaba-tiba lamunanku kembali pada lamunan beberapa hari yang lalu. Pahlawan. Jadi dalam wujud semacam inikah Allah meniupkan ruh seorang pahlawan? Pantaskah kata pahlawan itu disematkan pada dadanya? Layakkah dia dipanggil sebagai pahlawan? Lagi-lagi aku tidak mampu untuk menjawab pertanyaan itu. Terlalu banyak pertanyaan yang memenuhi ruang hampaku.

Pahlawan itu...

No comments:

Post a Comment