Mbah Jo
Pahlawan. Aku sering
mendengar kata itu waktu sekolah dasar dulu. Seseorang yang dikenang karena
jasanya dalam membela negara. Darah dan keringatnya didedikasikan hanya
teruntuk mengabdi pada negara. Aku sering mendengar nama-nama seperti Patimura,
Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Ki Hajar Dewantara, dan masih banyak lagi, yang muncul
dalam pelbagai kisah heroik yang disajikan oleh guru sekolah dasarku dengan
penuh emosional.
Berbicara soal guru,
aku jadi teringat beberapa tahun silam. Di mana seseorang guru juga digembar-gemborkan
sebagai pahlawan. Hal semacam itu membumbung tinggi di telinga masyarakat.
Bahkan dikukuhkan dalam sebuah lagu yang bertajuk pahlawan tanpa tanda jasa.
Bisa jadi benar jika hal itu terjadi pada era pasca kemerdekaan. Sayang,
sepertinya sekarang itu semua sudah tidak berlaku. Terlalu menafikkan kiranya
jika guru yang sekarang disetarakan dengan guru tempo dulu. Loyalitas dan
kredibilitas mereka tidak bisa disama-ratakan. Sangat kontras. Aku tak perlu
bercerita panjang lebar bukan mengapa demikian?
Atau bahkan pahlawan
sebenarnya adalah lakon yang selalu muncul dalam dunia layar kaca. Yang selalu
membela dan menolong orang-orang yang lemah dan kesusahan. Seperti spiderman, superman, batman, atau
berderet superhero yang lain. Bisa jadi.
Entah, pahlawan seperti
apa yang benar-benar pantas disanjung sebagai pahlawan. Aku kira pahlawan tidak
akan mau disebut pahlawan. Di dunia yang semakin individualis ini. Di dunia
yang miskin kepedulian ini.
“Nglamun Mas?” suara
berat itu memecah dunia fantasiku. Aku terhenyak dan tersenyum padanya. Seyum
maluku. Orang tersebut membalas senyumku, “Nglamunin apa to? Kamu belum punya
istri?”
“Boro-boro punya istri
mbah, kepikiran buat nikah saja belum ada.” Jawabku agak malu-malu.
“Loh, nunggu apa lagi?
Usia sudah matang. Pekerjaan juga sudah mapan. Bukannya rosul menganjurkan
kepada kita untuk menyegerakan menikah. Kesempurnaan iman manusia, separuhnya
dari pernikahan. Kualitas ibadah kita akan meningkat berkali-kali lipat. Rosul
mengatakan demikian.”
Aku hanya mengangguk.
Kami pun saling berpandangan dan berujung tawa. Kami kembali fokus membersihkan
kamar mandi dan tempat wudhu mushalla di sudut sebuah desa. Mushala yang belum
pernah kujamah sebelumnya. Namun, memberiku candu untuk selalu mencumbunya.
Karena orang tua itu.
Pertemuan-pertemuan
kami ini berawal dari sebuah sentuhan hati. Yang membuatku ingin bertemu lagi
dengannya. Lagi, dan lagi. Sebuah kesan pertama yang membuat wajah tuanya selalu
terlukis dalam bayangku.
Kala itu, rasa letih
menggelayut tubuhku. Berat ransel menggantung di punggungku menambah beban
perjalananku. Di ujung batas lelahku, mataku tertambat pada sebuah mushala
kecil yang nampak sederhana. Segera kuletakkan tas ranselku dan kurebahkan
tubuhku di sana. Lantainya terasa dingin menyentuh menembus kulit tipisku. Rasa
lelah yang sangat, membawaku terbang pada perbatasan dunia mimpi.
“Minum Nak?” Tiba-tiba
terdengar suara. Aku segera bangun dari posisi tidurku dan mencari dari mana
sumber suara itu. Seseorang dengan tubuh kurus dengan kulit mengeriput.
Tubuhnya yang hitam legam terbungkus kain putih bersih. Baunya wangi, aku suka
baunya. Matanya yang cekung memandang dalam ke arahku. Di tangannya segelas air
putih disodorkan padaku. Kebetulan sekali. Aku pun langsung meminumnya.
”Terimakasih.”
Percakapan kecil pun
muncul memulai kedekatan kami. Ia banyak bertanya, dan dia juga lebih banyak
bercerita. Namanya Mbah Jo. Orang-orang memanggilnya demikian. Sebenarnya
usianya belum begitu tua. Hanya saja memang secara fisik nampak tidak muda.
Mungkin karena lelaki ini hidup sendiri. Istri dan anaknya meninggal saat
proses persalinan dulu. Semoga khusnul khotimah.
Dia terlihat tegar
dalam tiap sikapnya. Seperti tidak ada beban saja. Dia juga sering cerita
mengenai ilmu agama, mengenai kisah-kisah rasul, mengenai pengalaman hidupnya selama
nyantri di pondok pesantren dulu. Aku sangat antusias saat dia mulai bercerita.
Suaranya terdengar begitu menenangkan dan membuatku betah berlama-lama
bercerita bersamanya.
Sejak pertemuan pertama
itu, aku menjadi sering datang untuk menjumpainya. Mengobrol apa pun dengannya.
Melupakan kesibukan yang tidak ada habisnya dan membiarkan waktu yang berjalan
begitu cepat. Begitu pula dengan pertemuan kedua, ketiga dan seterusnya.
Seperti tidak ada
lelahnya. Dari mulai fajar menyingsing hingga senja berbenar, ia setia menemani
mushala kecil itu. Biasanya dia membersihkan lantai dengan kain pel
setelah matahari mulai menyapa.
Dilanjutkan dengan membersihkan pekarangan kecil di depan mushala itu. Terdapat
pohon mangga dan rambutan yang selalu merontokkan daunnya yang telah layu. Tempat
itu selalu bersih saat aku datang
menjumpainya untuk shalat dhuha. Tak jarang saat aku menjumpainya, dia tengah
memangku AlQuran dan dibacanya dalam alunan.. Kadang juga kitab-kitab
bertuliskan arab tanpa satu pun harokat yang menghiasi huruf tersebut. Entah
kitab apa.
Setelah selesai
berjamaah ashar, dia mengajar madrasah di mushala tersebut. Pelajaran macam
fiqih, hadits rosul, akhlaq, sejarah rosul, diterangkannya satu per satu di
depan anak-anak desa tersebut. Dengan penampilan yang bervariasi, anak-anak
mengikuti pelajaran dengan antusias. Tidak sedikit di antara mereka yang
bergurau dan bercerita sendiri dengan temannya. Mbah Jo tetap sabar.
Mengaji Al-Quran
dilakukan setelah shalat maghrib. Satu per satu anak-anak membaca ayat demi
ayat dalam Al-Quran. Ada yang sudah lancar membaca Al-Quran, ada yang hanya
bisa membaca juz Amma, ada juga yang baru memulai mengenal huruf hijaiyah. Terkadang
aku juga ikut membantu mengajar dengan bekal ilmu tajwidku waktu MTs dulu,
tetapi itu cuma sekali dua kali. Mbah Jo selalu sabar membimbing anak-anak itu,
huruf demi huruf, kalimat demi kalimat diterangnya dengan penuh kesabaran dan
keikhlasan.
Semua itu dilakukannya
setiap hari. Itulah Mbah Jo.
Pada sebuah pertemuan
yang lenggang. Setelah kami menyelesaikan menyapu pekarangan. Tidak seperti
biasanya. Kali ini dia lebih banyak diam dari pada bercerita atau sekedar
menasihati. Begitu pula dengan wajahnya, tidak secerah dan sebahagia hari-hari
biasanya.
Aku tidak berani
menanyakan bagaimana kabar suasana hatinya yang terlihat membiru. Aku duduk di serambi
mushalla, bersanding pada tubuhnya yang mulai merapuh.
Pikirku pun mulai
mereka-reka sebab apa pria tua ini begitu muram. Apa mungkin masalah keluarga?
Bukan, dia tidak punya keluarga. Lagi pula dia sudah terbiasa dengan
kesendiriannya. Barang kali masalah ekonomi? Iya, mungkin uang mingguan dari
anak-anak yang mengaji kurang mencukupi kebutuhannya. Iya, pasti karena itu.
Kuberanikan diri untuk
memecah diam ini dengan sebuah pertanyaan. “Sudah makan mbah?” Mbah Jo terdiam.
Pandangannya kosong. “Mbah?”
Dia menggeleng.
“Ayo makan Mbah? Saya
traktir deh di warung Mbak Siti apa Mbak Romlah?”
Dia menggeleng lagi. Aku
semakin khawatir. Aku pun semakin gusar dengan keadaan yang seperti ini.
“Apa uang ngaji dari
anak-anak kurang? Tidak mencukupi kebutuhan Mbah?”
Lagi-lagi dia tetap
kukuh dengan diamnya. Tapi kali ini berbeda. Dia tidak menggeleng, melainkan
menatap ke arahku, menembus bola mataku. Dia tersenyum. “Kau tahu?” dia mulai
berbicara. “Tujuan manusia diciptakan oleh Allah di bumi ini?”
Dia menanti jawabanku.
Aku tahu. Tapi aku sedikit ragu. Dan seandainya aku yakin dengan jawabanku pun
aku tidak ingin terlihat sudah tahu di
depan mbah Jo.
“Allah menciptakan
manusia itu supaya beribadah. Sesederhana itu. Mbah ini udah tua, nggak punya
tanggungan lagi. Jadi mbah ingin beribadah dengan sungguh-sungguh di akhir usia
mbah. Benar-benar mengabdi hanya kepada Allah.”
“iya mbah.” Aku
mengangguk. Aku merasa malu. Aku merasa pertanyaanku itu tidak patut kupertanyakan.
“Allah itu maha adil.
Mbah tidak menerima bayaran atas niat tulus mbah membantu anak-anak itu
mengaji. Menuju jalan yang diridhoi Allah. Mbah melakukan itu semua karena
Allah. Tak mengharap apa pun. Allah sudah mengatur rejeki Mbah.” Ia menngambil
nafas panjang. Pandanganya kembali pada kekosongan.
“Seperti kamu ini. Kamu
itu orang hebat.” Dia menepuk pundakku, “Kamu mau-maunya meninggalkan kehidupan
mewahmu di kota sana. Demi mengobati orang-orang sakit di pelosook sini.”
Aku tidak menyangka
Mbah Jo memujiku. Mengagumi gerakku. “Kalau kamu menjadi dokter yang tulus. Ikhlas.
Mengobati orang sakit itu hanya karena Allah. Kamu akan menemukan kebahagian
yang sebenarnya. Kebahagian yang bukan dilihat dari jumlah uang kita, status
sosial kita, kedudukan kita. Melainkan kebahagiaan yang hakiki. Allah pasti
akan menggantinya dengan surga di akhirat kelak.” Dia pun tersenyum pada ku dan
meninggalkan ku duduk sendiri. Air wudhu membasahi kulit wajahnya dan
membawanya pada nada-nada Al-Quran.
Kata-kata terakhir itu
masih terngiang menyejukkan. Membangun. Dan sedikit menyinggung. Kenapa aku
merasa tersinggung? Iya, kenapa aku tersinggung? Mungkinkah tujuanku bukan
karena Allah. Karena materi. Karena status sosial. Karena... Aku masih merasa
itu semua adalah cerminanku. Itulah aku.
Jadi. Apakah aku harus
terinspirasi dari dia? Ikhlas karena Allah?
Pikiranku kembali
mengulik pada sosok tua itu. Yang tengah duduk dengan sarung palekat dan baju
yang serba putih. Ditambah songkok dan sorban. Seseorang yang memberi banyak
perubahan dalam kehidupanku.
Aku kira dia hidup dari itu, ternyata... Bagaimana dia bisa begitu? Bagaimana dia mencukupi
kebutuhannya dengan keadaannya yang demikian? Uang dari mana? Ya Allah.
Pikiranku tak sanggup menyentuh jawaban dari semua pertanyaan itu. Mungkin
karena hatiku masih sangat kotor. Masih sangat jauh dari keikhlasan.
Tiaba-tiba lamunanku
kembali pada lamunan beberapa hari yang lalu. Pahlawan. Jadi dalam wujud
semacam inikah Allah meniupkan ruh seorang pahlawan? Pantaskah kata pahlawan
itu disematkan pada dadanya? Layakkah dia dipanggil sebagai pahlawan? Lagi-lagi
aku tidak mampu untuk menjawab pertanyaan itu. Terlalu banyak pertanyaan yang
memenuhi ruang hampaku.
Pahlawan itu...
No comments:
Post a Comment