(cerpen)
“Ron, Barang-barangnya udah
masuk semua?”
“Udah-udah, semuanya udah lengkap,” jawab Roni, “kita langsung
berangkat aja.”
Roni, Safi,
dan Alfon berangkat menuju ke daerah Gunung
Bromo, tepatnya di Desa Kertowono.
Mereka mendapat tugas dari dosen mereka untuk melakukan sebuah penelitian
tentang sukmber daya alam di daerah gunung tersebut. Sambil membawa tugas,
mereka juga menjadikan kesempatan ini sebagai hiburan dan rekreasi setelah dua
minggu terakhir ini mereka menghadapi ujian akhir semester.
Dari kejauhan telah nampak birunya Gunung Bromo
yang menyejukkan mata berdiri kokoh menatap langit. Terlihat mata yang berbinar
diantara Roni dan kawan-kawannya yang hendak menju ke tempat itu. Setelah satu
jam perjalanan, mereka pun sampai di desa Kertowono. Mereka disuguhi panorama
indah yang membuat mata mereka berkaca-kaca. Nampak pepohonan menghiasi ciptaan
tuhan yang besar itu, di tambah dengan awan putih yang menyelimutinya. selain
itu, kebun teh, jagung, dan berbagai sayuran yang ada menambah indahnya gunung
tersebut.
Dari kejauhan nampak Bu ikem dan Pak Broto
berdiri di depan rumah menunggu kedatangan mereka.
“Selamat datang, silakan masuk, Pasti udah podo kesel iki,” sambut Pak Broto,
“ Ayo masuk, tehnya diminum. Ini asli
teh Gunung Bromo lo..”
“Iyo.. Ayo podo masuk,”
sambut Bu Ikem pula.
Mereka bersalaman dengan Pak Broto
dan juga Bu Ikem dengan wajah yang ekspresif sambil memeperkenalkan diri mereka
msing-masing. Namun berbeda dengan yang lain, saat Alfon bersalaman dengan Bu Ikem,
nampak wajahnya memerah sendu, matanya berkaca-kaca, dan dihiasi rasa haru.
“Ada apa Bu?” tanya
Alfon, “Ada
yang salah dengan saya?”
“Oh, ndak ada apa-apa. Ibu cuman.. Ibu mau ke dalam dulu.” jawab Bu Ikem
sambil berjalan ke dalam kamarnya. Prilakunya yang aneh meninggalkan tanda tanya di benak Alfon. Alfon yang sedang bingung pun
duduk di kursi yang tesedia.
“Sebentar, Bapak tinggal dulu ya. Kalian nikmati saja tehnya,” ujar Pak Broto
sambil meninggalkan ruang tamu.”
Di dalam
kamar terdengar Pak Broto dan Bu
Ikem sedang bercakap di kamar.
“Ini cuman kebetulan Bu, ojo mikir yang aneh-aneh.”
“Endak
Pak, Ibu cuman merasa seperti
ketemu lagi karo Amin. Ibu pingin meluk dia.”
“Sabar
Bu, iki cuman kebetulan.”
“Wajahe iku lo Pak, carane matur, semuane Pak pokoke,” kata Bu Ikem
sambil menangis.
“Ada
apa to Bu, Pak,” ujar anak perempuan Pak Broto
yang tiba-tiba muncul.
“Ndak papa, Ibu cuman kecapekan,” jawab Pak Broto,
“sana temuin
tamune.”
Saat Alin tiba di ruang tamu ia seketika terkejut.
“Hah..!! Kak Amin..!”
Semua orang yang berada di ruang tamu pun terkejut dengan tingkah
laku Alin.
“Ada
apa Dik.?” tanya Alfon.
“Emm..” Alin menggeleng-gelengkan kapalanya. Dia pun duduk di sofa
sambil terus menatap Alfon dengan penuh misteri. “Kak saya Alin, anak Pak Broto
dan Bu Ikem,” ujarnya dengan nada yang gugup dan
mencurigakan.
“Alin, cantik ya. Kenalin gua Roni.”
“Saya Alfon, ini Safi.”
“Makasih Kak. Gimana tehnya kak?”
“Ouh, enak banget Lin,
mantap,” ujar Roni.
“Makasih Kak. Emm.. Kalian belum pada mandi kan? mau saya antar ke sungai? sungainya
indah lho.”
“Sungai, wah asik tuh. Tapi nggak usah dianterlah, entar biar kami tanya-tanya,” ujar Roni lagi.
“Kita keluarin barang-barang kita dulu,” ujar Safi.
“Biarin Kak, biar saya saja.”
Mereka bertiga berjalan menelusuri desa tersebut, pepohonan,
sayuran, di tantangnya dengan rasa bahagia. Dengan mata melotot dan mulut
mengenga nampak sungai yang bersih dan jernih yang dihiasi dengan bebatuan
gunung alam dan air terjun kecil yang cuku memikat hati. Tanpa berpikir panjang
mereka melepas baju mereka dan ‘Byuurr’. Nampak senyum indah yang penuh dengan
kebahagiaan tersorot di sungai tersebut.
“Saf, foto dong,” teriak Roni.
“Oke.”
Sejuk angin menyelimuti matahari yang mulai muncul. Hari kedua
penelitiannya, Alfon dan teman-teman sudah siap menjelajahi kebun teh. Dari
mulai buku, laptop, plastik, dan berbagai alat telah disiapkan.
“Bu, kami pamit dulu ya,” ujar Safi.
“Iya, hati-hati.”
Saat mereka bertiga hendak berangkat tiba-tiba Alfon terjatuh.
“Amin..!!” teriak Bu
Ikem sambil berlari.
“Fon..!” Safi
terkejut sambil memangku kepala Alfon.
“Fon, elu kenapa bro? Fon?” tanya
Roni pada Alfon yang tidak sadarkan diri.
“Amin, Amin, kamu kenopo le? Amin..”
Saat Bu Ikem memegang tangannya tiba-tiba dia terbangun.
“Eh.. Ada
apa?” tanyannya kebingnan.
“Kamu ndak popo to Min? Kamu baru aja pingsan le,” jawab Bu Ikem.
Safi dan Roni melanjutkan perjalanannya meskipun tanpa Alfon. Di perjalanannya mereka berbincang tentang Bu Ikem
yang memanggil Alfon dengan sebutan Amin. Mereka saling menebak sebab apa Bu Ikem
berlaku demikian. Di lain tempat,
Alfon sedang duduk bersandar di teras sambil ditemani Bu Ikem.
Wajah Bu Ikem
nampak sendu kelabu dan matanya pun mendung gerimis.
“Ibu kenapa Bu? Ada
yang sakit?”
“Endak,” jawabnya mengusap air mata.
“Sebenarnya ada apa Bu? Kenapa Ibu
tadi memanggilku dengan nama Amin, siapa Amin itu Bu?”
“Dia bukan siapa-siapa.”
“Ayolah Bu, cerita saja. Meskipun baru kemarin saya mengenal Ibu
tapi saya tahu, ada yang disembunyiin dari Ibu.”
“Sebenarnya Alin duwe Mas,”
Awalnya Bu Ikem masih ragu untuk menceritakan masalahnya kepada Alfon, tapi
akhirnya dia menceritakan juga.
Kejadian itu dua tahun yang lalu saat dokter menyatakan bahwa Amin
mengalami diabetes mellitus, dia
tidak henti-hentinya merasakan sakit.
“Kemarin jari kelingking, sekarang apalagi yang di potong Bu?” kata
Amin, ”dapet uang dari mana Bu? ngepet?”
“Sabar Le, ndak oleh ngomong koyo ngono. Ntar biar Bapak jual kebun
teh buat oprasi pemotongan kaki kamu.”
“Tak usah Pak, ntar percuma saja. Kemarin kelingking, hasilnya sama
saja kan?
malah sekarang kaki, sekalian aja di pancung kepalaku.”
“Hush, mature. Ora Ilok le.. Serahken semuane karo Gusthi Allah.”
“Bapak, kalo kebun tehe dijual, Alin sekolahe piye? Pokoknya Amin
ndak mau oprasi lagi.”
Amin pun masuk ke kamarnya dan mengurung diri. Di
dalam kamarnya ia merintih kesakitan. Teriak, tangis, isak, semua bercampur
jadi satu. Semua keluarga menghawatirkan Amin. Beberapa saat kemudian tidak
terdengar suara apapun dari kamarnya. Keluarga yang khawatir segera mendobrak
pintu tersebut dan tergeletak Amin di lantai tanpa daya. Nampak kaki kanannya
berkucuran darah setelah ia memotong kakinya sendiri secara paksa dengan
menggunakan clurit.
Tanpa berpikir panjang Pak Broto
membawa Amin ke rumah sakit, tapi hal itu terlambat. Saat Amin
mengamputasi kaki kanannya secara paksa terjadi kegegalan fatal yang
mengakibatkan darah mengalir cepat, dan ia pun kekurangan darah hingga akhirnya
tidak bisa diselamatan.
“Maafkan saya Bu? Saya..” ujar Alfon.
“Sudah, Ndak ada yang perlu dimaafin.”
“Terus, apa hubungannya saya sama Amin Bu?”
Tanpa menjawab pertanyaannya, Bu Ikem
memeluk Alfon erat sambil menangis seakan ada rasa yang terpendam. Alfon juga
terdiam dalam kehangatan cinta yang timbul dalam kebahagiaan.
“Sebenarnya ada apa Bu?”
“Sebenarnya…” saat Bu Ikem hendak menjelaskan, datanglah Pak Broto
yang baru saja berkebun.
“Nak Alfon, gimana? Udah baikan?”
“Alhamdulillah Pak.”
Saat Alfon sudah merasa sehat, pada hari ketiga pun dia mengikuti penelitian
bersama Safi
dan Roni. Kali ini mereka juga ditemani oleh Alin yang sedang libur sekolah.
Alin pun membawa banyak informasi yang belum diketahui oleh mereka bertiga.
Jalan yang dilalui penuh dengan liku-liku, jurang, tebing, dan sungai berbatu.
“Kak
Alfon nama lengkapnya siapa?” tanya Alin.
“Oh, aku Nuhren
Alfon Famusa.”
“Wah, bagus tuh Kak. Em.. istirahat dulu yuk
Kak, capek.”
“Boleh.”
“Kak Roni, Kak Safi, istirahat dulu. Makan jajanan titipan Ibu.”
teriak Alin kepada Safi
dan Roni yang ada di bawah tebing.
“Entar aja, kalian makan dulu aja,” ujar Safi.
Di atas,
Alin dan Alfon berbincang-bincang panjang. Hingga tak sadar makanan titipan Bu Ikem
telah habis. Hal itu tidak membuat perbincangan mereka terhenti.
“Lin, aku boleh nanya
nggak?”
“Boleh kak, mau nanya apa?”
“Kamu kenal Amin?” tanya
Alfon dengan nada yang pelan dan serius.
Alin pun terdiam sejenak, “Eh, Amin siapa?” tanyanya pura-pira tidak
tahu.
“Amin, masmu. Sebenarnya siapa masmu itu? Apa hubungannya dengan
ku?”
“Makud kak Alfon apa sih? Aku ndak tau?”
“Katakan saja Lin, Ibumu
telah cerita banyak tentang Amin.”
“Akh, Ibu?” tanyanya meyakinkan diri.
“Iya, Amin, kaki, DM.”
“Maafkan aku Kak, sebenarnya Kak Amin itu wajahnya sama persis
dengan Kak Alfon.”
“Haagh...!” teriak Alfon terkejut, “kamu nggak bercanda. Ka.. mu..
serius?”
“Iya Kak, seperti tidak ada beda-bedanya sama sekali.”
“Aku nggak percaya. Mana foto Amin itu..!”
Alin memperlihatkan foto kakaknya kepada Alfon, dan..
“Hh... Aku.. Maafin aku Bu Ikem,
Alin, kedatnganku membuat maslah di rumah kalian.”
“Kakak ndak salah.”
Saat itu juga keringat Alfon mengucur deras, wajahnya memerah, dan
dia terjatuh pingsan. Dia terjatuh dia tergelincir ke bawah jurang.
“Kak
Alfoon...!” teriak Alin.
Roni dan Safi
yang ada di bawah segera membawanya turun ke rumah dan segera dibawa ke rumah
sakit. Kepalanya terjadi pendarahan hebat setelah mendarat di atas batu.
Suasana kalut terjadi di ruang UGD di rumah sakit.
“Ada
keluarga korban?” tanya dokter.
“Eh, lagi di jalan Dok, kami temannya.” jawab Safi dengan nada panik.
“Stok darah habis, kami butuh darah secepat mungkin, darah A
positif.”
“Ron, persis dengan
golongan darahmu.” ujar Safi.
“Eh, Em, Gua.. Gua takut Saf.” rintihnya pelan.
“Alfon diujung pintu kematian Saf, Ayolah..!”
“Eh, Gua takut Saf..!” teriaknya sambil berlari keluar. Saat dia
berlari, dia menabrak Bu Ikem yang sedang berada di jalan bersama Pak Broto dan
Alin. Roni pun melanjutkan pelariannya sambil ketakutan dan dibelakangnya Safi mengejar Roni.
“Ada
apa le kok lari-lari? Alfon gimana?”
“Dia kekurangan darah, A positif,” terang Safi, “tapi, stok dari PMI habis.”
“Aduh, semua ini salah Ibu. Tadinya Ibu
ndak usah ceritain itu semua.”
“Ibu ndak salah Bu,” Alin mencoba menenangkan Ibunya.
“Ibu mau ke kamar mandi sebentar.” Bu Ikem
berlari ke kamar mandi dengan segera.
Beberapa saat kemudian, saat semua sedang berkumpul di depan ruang
UGD, dokter keluar dengan membawa kabar gembira.
“Alhamdulilah, Alfon masih bisa diselamatkan. Namun dia belum
sadarkan diri.” terang dokter.
“Alhamdulillah
Dok.” syukur Safi, “eh, Dok, dapet darah dari mana?”
“Alhamdulillah tadi ada perempuan separuh baya mendonorkan
darahnya.”
“Siapa
Dok?” tanya
Alin penasaran.
“Maaf, Dia tidak ingin ada yang tau tentang dirinya.”
Setelah beberapa jam menunggu Alfon sadarkan diri. Semua orang masuk
ke ruangan, terkecuali kedua orang tua Alfon yang masih diperjalanan dari Bandung. Nampak Alfon
tertidur lemas tak mampu menggerakkan anggota tubhnya. Ditemani kabel infus,
tabung oksigen, dan obat-obatan, dia tergletak memandang ke depan yang penuh
dengan harapan.
“Alfon, gimana keadaane?” tanya
Pak Broto.
“Nggak papa Pak, cuman nyeri-nyeri sedikit,” jawabnya dengan suara
pelan, “emm.. mana Bu
Ikem?”
“Bu
Ikem dari tadi ke kamar mandi dan
belum kembali,” untai Safi,
“coba saya cari dulu.”
Saat Safi membuka pintu tiba-tiba Bu Ikem
datang dengan keadaan lemah dan pucat. “Maaf perut Ibu sakit.”
“Ibu nampak pucat Bu,” ujar Alin. “Kenapa tangan Ibu? Kok memerah,” tanya Alin saat melihat siku tangan Bu Ikem bagian
dalam.
“Endaaak, Ini cuman digigit nyamuk.”
“Bu, Alfon minta maaf atas kejadian kemarin, saya nggak bermaksud
membuat Ibu, Bapak, dan Alin menjadi sedih. Amin, anak yang kuat Bu, tidak
seperti ku.”
“Hus, kamu ndak oleh ngomong kaya ngono.
Kamu sama Amin sama-sama kuat, sama-sama anak Ibu.”
“Iya
Bu.” jawabnya
lirih.
Satu bulan sudah Alfon melewati berbagai macam terapi dan
pengobatan. Jahitan-jahitan di kepalanya satu per satu menjadi rapi. Selama di
rumah sakit keluarga dan sahabat bergantian mengunjunginya, termasuk Roni yang
sempat kabur kala itu.
“Fon, gua minta maaf ya? Gua bener-bener takut.”
“Iya, nggak papa. Aku tau kamu paling parno kalo udah liat darah.”
ujarnya sambil tersenyum bersama.
Akhir bulan ini, Alfon boleh meninggalkan rumah sakit. Dia berencana
untuk mengunjungi keluarga Pak Broto bersama Roni dan Safi. Meskipun sudah sembuh, namun Alfon
masih menyimpan pertanyaan besar yang ada pada relung hatinya. Yang membuatnya
ingin mengucapkan beribu-ribu terimakasih, dan melakukan segala keinginannya.
Yaitu pertanyaan siapa perempuan pemberi darah itu. Namun, sampai saat ini dia
belum mengetahui orang tersebut.
“Assalamualaikum,” ucap Roni saat tiba di depan rumah Pak Broto.
“Waalaikumsalam,” jawab Bu Ikem.
Saat dia membuka pintu rumahnya dia pun terkejut, “Nak Roni,
Alfon, Safi,
gimana kabare?”
“Baik Bu.”
“Mari silakan masuk.” Dia
pun memanggil suaminya, “Pak, ono anak-anak kita iki, baru datang dari kota.”
“Oh, Iyo, piye kabare le? Udah sembuh?”
“Alhamdulillah
Pak.” jawab Alfon.
“Bu, Pak, kita ke sini mau.. apa ya istilahnya, mau pamitan Bu. Ini
kami bawa Oleh-oleh dari Kota,”
terang Alfon sambil meletakkan oleh-olehnya di meja.
“Kok pamitan, kalian boleh sering-sering main ke sini.”
“Ya, kalo ada waktu luang Bu, kami pasti berkunjung kemari,” untai Safi.
“Pak, kami mau kemas-kemas barang dulu ya,” usul Roni.
Mereka bertiga masuk ke dalam kamar dan mulai packing barang-barang mereka. Saat Alfon
hendak mengemas barang-barangnya tiba-tiba di menemukan kertas terselip yang
kemudian jatuh di depannya. Dia pun mengmbil kertas itu dan di bacanya.
Probolinggo,
12 Mei 2012
DONOR DARAH
Dengan ini kami beritahukan :
Nama : Ikem Nur Jannah
Umur : 48 th
Alamat : Desa Kertowono 89
telah mendonorkan darahnya pada hari tersebut di RSU Probolinggo.
Terimakasih atas
darah yang telah didonorkan semoga keikhlasan Anda akan menjadi amal yang bermanfaat.
Dokter
RSU Probolinggo
dr.
Alvian Wigunarto.
Setelah selesai dia membaca tersebut, dia segera berlari ke luar dan
berteriak, “Bu
Ikem,” Tangannya yang coklat muda
seketika melingkar tuangkan dua cangkir teh hangat untuk kita.”
TAMAT
No comments:
Post a Comment