Monday, February 17, 2014

Dua Cangkir Teh



(cerpen) 
“Ron, Barang-barangnya udah masuk semua?”
“Udah-udah, semuanya udah lengkap,” jawab Roni, “kita langsung berangkat aja.”
Roni, Safi, dan Alfon berangkat menuju ke daerah Gunung Bromo, tepatnya di Desa Kertowono. Mereka mendapat tugas dari dosen mereka untuk melakukan sebuah penelitian tentang sukmber daya alam di daerah gunung tersebut. Sambil membawa tugas, mereka juga menjadikan kesempatan ini sebagai hiburan dan rekreasi setelah dua minggu terakhir ini mereka menghadapi ujian akhir semester.
Dari kejauhan telah nampak birunya Gunung Bromo yang menyejukkan mata berdiri kokoh menatap langit. Terlihat mata yang berbinar diantara Roni dan kawan-kawannya yang hendak menju ke tempat itu. Setelah satu jam perjalanan, mereka pun sampai di desa Kertowono. Mereka disuguhi panorama indah yang membuat mata mereka berkaca-kaca. Nampak pepohonan menghiasi ciptaan tuhan yang besar itu, di tambah dengan awan putih yang menyelimutinya. selain itu, kebun teh, jagung, dan berbagai sayuran yang ada menambah indahnya gunung tersebut.
Dari kejauhan nampak Bu ikem dan Pak Broto berdiri di depan rumah menunggu kedatangan mereka.
“Selamat datang, silakan masuk, Pasti udah podo kesel iki,” sambut Pak Broto, “ Ayo masuk, tehnya diminum. Ini asli teh Gunung Bromo lo..”
“Iyo.. Ayo podo masuk,” sambut Bu Ikem pula.
Mereka bersalaman dengan Pak Broto dan juga Bu Ikem dengan wajah yang ekspresif sambil memeperkenalkan diri mereka msing-masing. Namun berbeda dengan yang lain, saat Alfon bersalaman dengan Bu Ikem, nampak wajahnya memerah sendu, matanya berkaca-kaca, dan dihiasi rasa haru.
“Ada apa Bu?” tanya Alfon, “Ada yang salah dengan saya?”
“Oh, ndak ada apa-apa. Ibu cuman.. Ibu mau ke dalam dulu.” jawab Bu Ikem sambil berjalan ke dalam kamarnya. Prilakunya yang aneh meninggalkan tanda tanya di benak Alfon. Alfon yang sedang bingung pun duduk di kursi yang tesedia.
“Sebentar, Bapak tinggal dulu ya. Kalian nikmati saja tehnya,” ujar Pak Broto sambil meninggalkan ruang tamu.”
Di dalam kamar terdengar Pak Broto dan Bu Ikem sedang bercakap di kamar.
“Ini cuman kebetulan Bu, ojo mikir yang aneh-aneh.”
“Endak Pak, Ibu cuman merasa seperti ketemu lagi karo Amin. Ibu pingin meluk dia.”
“Sabar Bu, iki cuman kebetulan.”
“Wajahe iku lo Pak, carane matur, semuane Pak pokoke,” kata Bu Ikem sambil menangis.
“Ada apa to Bu, Pak,” ujar anak perempuan Pak Broto yang tiba-tiba muncul.
“Ndak papa, Ibu cuman kecapekan,” jawab Pak Broto, “sana temuin tamune.”
Saat Alin tiba di ruang tamu ia seketika terkejut.
“Hah..!! Kak Amin..!”
Semua orang yang berada di ruang tamu pun terkejut dengan tingkah laku Alin.
“Ada apa Dik.?” tanya Alfon.
“Emm..” Alin menggeleng-gelengkan kapalanya. Dia pun duduk di sofa sambil terus menatap Alfon dengan penuh misteri. “Kak saya Alin, anak Pak Broto dan Bu Ikem,” ujarnya dengan nada yang gugup dan mencurigakan.
“Alin, cantik ya. Kenalin gua Roni.”
“Saya Alfon, ini Safi.”
“Makasih Kak. Gimana tehnya kak?”
“Ouh, enak banget Lin, mantap,” ujar Roni.
“Makasih Kak. Emm.. Kalian belum pada mandi kan? mau saya antar ke sungai? sungainya indah lho.”
“Sungai, wah asik tuh. Tapi nggak usah dianterlah, entar biar kami tanya-tanya,” ujar Roni lagi.
“Kita keluarin barang-barang kita dulu,” ujar Safi.
“Biarin Kak, biar saya saja.”
Mereka bertiga berjalan menelusuri desa tersebut, pepohonan, sayuran, di tantangnya dengan rasa bahagia. Dengan mata melotot dan mulut mengenga nampak sungai yang bersih dan jernih yang dihiasi dengan bebatuan gunung alam dan air terjun kecil yang cuku memikat hati. Tanpa berpikir panjang mereka melepas baju mereka dan ‘Byuurr’. Nampak senyum indah yang penuh dengan kebahagiaan tersorot di sungai tersebut.
“Saf, foto dong,” teriak Roni.
“Oke.”

Sejuk angin menyelimuti matahari yang mulai muncul. Hari kedua penelitiannya, Alfon dan teman-teman sudah siap menjelajahi kebun teh. Dari mulai buku, laptop, plastik, dan berbagai alat telah disiapkan.
“Bu, kami pamit dulu ya,” ujar Safi.
“Iya, hati-hati.”
Saat mereka bertiga hendak berangkat tiba-tiba Alfon terjatuh.
“Amin..!!” teriak Bu Ikem sambil berlari.
“Fon..!” Safi terkejut sambil memangku kepala Alfon.
“Fon, elu kenapa bro? Fon?” tanya Roni pada Alfon yang tidak sadarkan diri.
“Amin, Amin, kamu kenopo le? Amin..”
Saat Bu Ikem memegang tangannya tiba-tiba dia terbangun.
“Eh.. Ada apa?” tanyannya kebingnan.
“Kamu ndak popo to Min? Kamu baru aja pingsan le,” jawab Bu Ikem.
Safi dan Roni melanjutkan perjalanannya meskipun tanpa Alfon. Di perjalanannya mereka berbincang tentang Bu Ikem yang memanggil Alfon dengan sebutan Amin. Mereka saling menebak sebab apa Bu Ikem berlaku demikian. Di lain tempat, Alfon sedang duduk bersandar di teras sambil ditemani Bu Ikem. Wajah Bu Ikem nampak sendu kelabu dan matanya pun mendung gerimis.
“Ibu kenapa Bu? Ada yang sakit?”
“Endak,” jawabnya mengusap air mata.
“Sebenarnya ada apa Bu? Kenapa Ibu tadi memanggilku dengan nama Amin, siapa Amin itu Bu?”
“Dia bukan siapa-siapa.”
“Ayolah Bu, cerita saja. Meskipun baru kemarin saya mengenal Ibu tapi saya tahu, ada yang disembunyiin dari Ibu.”
“Sebenarnya Alin duwe Mas,”
Awalnya Bu Ikem masih ragu untuk menceritakan masalahnya kepada Alfon, tapi akhirnya dia menceritakan juga.
Kejadian itu dua tahun yang lalu saat dokter menyatakan bahwa Amin mengalami diabetes mellitus, dia tidak henti-hentinya merasakan sakit.
“Kemarin jari kelingking, sekarang apalagi yang di potong Bu?” kata Amin, ”dapet uang dari mana Bu? ngepet?”
“Sabar Le, ndak oleh ngomong koyo ngono. Ntar biar Bapak jual kebun teh buat oprasi pemotongan kaki kamu.”
“Tak usah Pak, ntar percuma saja. Kemarin kelingking, hasilnya sama saja kan? malah sekarang kaki, sekalian aja di pancung kepalaku.”
“Hush, mature. Ora Ilok le.. Serahken semuane karo Gusthi Allah.”
“Bapak, kalo kebun tehe dijual, Alin sekolahe piye? Pokoknya Amin ndak mau oprasi lagi.”
Amin pun masuk ke kamarnya dan mengurung diri. Di dalam kamarnya ia merintih kesakitan. Teriak, tangis, isak, semua bercampur jadi satu. Semua keluarga menghawatirkan Amin. Beberapa saat kemudian tidak terdengar suara apapun dari kamarnya. Keluarga yang khawatir segera mendobrak pintu tersebut dan tergeletak Amin di lantai tanpa daya. Nampak kaki kanannya berkucuran darah setelah ia memotong kakinya sendiri secara paksa dengan menggunakan clurit.
Tanpa berpikir panjang Pak Broto membawa Amin ke rumah sakit, tapi hal itu terlambat. Saat Amin mengamputasi kaki kanannya secara paksa terjadi kegegalan fatal yang mengakibatkan darah mengalir cepat, dan ia pun kekurangan darah hingga akhirnya tidak bisa diselamatan.
“Maafkan saya Bu? Saya..” ujar Alfon.
“Sudah, Ndak ada yang perlu dimaafin.”
“Terus, apa hubungannya saya sama Amin Bu?”
Tanpa menjawab pertanyaannya, Bu Ikem memeluk Alfon erat sambil menangis seakan ada rasa yang terpendam. Alfon juga terdiam dalam kehangatan cinta yang timbul dalam kebahagiaan.
“Sebenarnya ada apa Bu?”
“Sebenarnya…” saat Bu Ikem hendak menjelaskan, datanglah Pak Broto yang baru saja berkebun.
“Nak Alfon, gimana? Udah baikan?”
“Alhamdulillah Pak.”

Saat Alfon sudah merasa sehat, pada hari ketiga pun dia mengikuti penelitian bersama Safi dan Roni. Kali ini mereka juga ditemani oleh Alin yang sedang libur sekolah. Alin pun membawa banyak informasi yang belum diketahui oleh mereka bertiga. Jalan yang dilalui penuh dengan liku-liku, jurang, tebing, dan sungai berbatu.
“Kak Alfon nama lengkapnya siapa?” tanya Alin.
“Oh, aku Nuhren Alfon Famusa.”
“Wah, bagus tuh Kak. Em.. istirahat dulu yuk Kak, capek.”
“Boleh.”
“Kak Roni, Kak Safi, istirahat dulu. Makan jajanan titipan Ibu.” teriak Alin kepada Safi dan Roni yang ada di bawah tebing.
“Entar aja, kalian makan dulu aja,” ujar Safi.
Di atas, Alin dan Alfon berbincang-bincang panjang. Hingga tak sadar makanan titipan Bu Ikem telah habis. Hal itu tidak membuat perbincangan mereka terhenti.
“Lin, aku boleh nanya nggak?”
“Boleh kak, mau nanya apa?”
“Kamu kenal Amin?” tanya Alfon dengan nada yang pelan dan serius.
Alin pun terdiam sejenak, “Eh, Amin siapa?” tanyanya pura-pira tidak tahu.
“Amin, masmu. Sebenarnya siapa masmu itu? Apa hubungannya dengan ku?”
“Makud kak Alfon apa sih? Aku ndak tau?”
“Katakan saja Lin, Ibumu telah cerita banyak tentang Amin.”
“Akh, Ibu?” tanyanya meyakinkan diri.
“Iya, Amin, kaki, DM.”
“Maafkan aku Kak, sebenarnya Kak Amin itu wajahnya sama persis dengan Kak Alfon.”
“Haagh...!” teriak Alfon terkejut, “kamu nggak bercanda. Ka.. mu.. serius?”
“Iya Kak, seperti tidak ada beda-bedanya sama sekali.”
“Aku nggak percaya. Mana foto Amin itu..!”
Alin memperlihatkan foto kakaknya kepada Alfon, dan..
“Hh... Aku.. Maafin aku Bu Ikem, Alin, kedatnganku membuat maslah di rumah kalian.”
“Kakak ndak salah.”
Saat itu juga keringat Alfon mengucur deras, wajahnya memerah, dan dia terjatuh pingsan. Dia terjatuh dia tergelincir ke bawah jurang.
“Kak Alfoon...!” teriak Alin.
Roni dan Safi yang ada di bawah segera membawanya turun ke rumah dan segera dibawa ke rumah sakit. Kepalanya terjadi pendarahan hebat setelah mendarat di atas batu. Suasana kalut terjadi di ruang UGD di rumah sakit.
“Ada keluarga korban?” tanya dokter.
“Eh, lagi di jalan Dok, kami temannya.” jawab Safi dengan nada panik.
“Stok darah habis, kami butuh darah secepat mungkin, darah A positif.”
“Ron, persis dengan golongan darahmu.” ujar Safi.
“Eh, Em, Gua.. Gua takut Saf.” rintihnya pelan.
“Alfon diujung pintu kematian Saf, Ayolah..!”
“Eh, Gua takut Saf..!” teriaknya sambil berlari keluar. Saat dia berlari, dia menabrak Bu Ikem yang sedang berada di jalan bersama Pak Broto dan Alin. Roni pun melanjutkan pelariannya sambil ketakutan dan dibelakangnya Safi mengejar Roni.
“Ada apa le kok lari-lari? Alfon gimana?”
“Dia kekurangan darah, A positif,” terang Safi, “tapi, stok dari PMI habis.”
“Aduh, semua ini salah Ibu. Tadinya Ibu ndak usah ceritain itu semua.”
“Ibu ndak salah Bu,” Alin mencoba menenangkan Ibunya.
“Ibu mau ke kamar mandi sebentar.” Bu Ikem berlari ke kamar mandi dengan segera.
Beberapa saat kemudian, saat semua sedang berkumpul di depan ruang UGD, dokter keluar dengan membawa kabar gembira.
“Alhamdulilah, Alfon masih bisa diselamatkan. Namun dia belum sadarkan diri.” terang dokter.
“Alhamdulillah Dok.” syukur Safi, “eh, Dok, dapet darah dari mana?”
“Alhamdulillah tadi ada perempuan separuh baya mendonorkan darahnya.”
“Siapa Dok?” tanya Alin penasaran.
“Maaf, Dia tidak ingin ada yang tau tentang dirinya.”
Setelah beberapa jam menunggu Alfon sadarkan diri. Semua orang masuk ke ruangan, terkecuali kedua orang tua Alfon yang masih diperjalanan dari Bandung. Nampak Alfon tertidur lemas tak mampu menggerakkan anggota tubhnya. Ditemani kabel infus, tabung oksigen, dan obat-obatan, dia tergletak memandang ke depan yang penuh dengan harapan.
“Alfon, gimana keadaane?” tanya Pak Broto.
“Nggak papa Pak, cuman nyeri-nyeri sedikit,” jawabnya dengan suara pelan, “emm.. mana Bu Ikem?”
“Bu Ikem dari tadi ke kamar mandi dan belum kembali,” untai Safi, “coba saya cari dulu.”
Saat Safi membuka pintu tiba-tiba Bu Ikem datang dengan keadaan lemah dan pucat. “Maaf perut Ibu sakit.”
“Ibu nampak pucat Bu,” ujar Alin. “Kenapa tangan Ibu? Kok memerah,” tanya Alin saat melihat siku tangan Bu Ikem bagian dalam.
“Endaaak, Ini cuman digigit nyamuk.”
“Bu, Alfon minta maaf atas kejadian kemarin, saya nggak bermaksud membuat Ibu, Bapak, dan Alin menjadi sedih. Amin, anak yang kuat Bu, tidak seperti ku.”
“Hus, kamu ndak oleh ngomong kaya ngono. Kamu sama Amin sama-sama kuat, sama-sama anak Ibu.”
“Iya Bu.” jawabnya lirih.
Satu bulan sudah Alfon melewati berbagai macam terapi dan pengobatan. Jahitan-jahitan di kepalanya satu per satu menjadi rapi. Selama di rumah sakit keluarga dan sahabat bergantian mengunjunginya, termasuk Roni yang sempat kabur kala itu.
“Fon, gua minta maaf ya? Gua bener-bener takut.”
“Iya, nggak papa. Aku tau kamu paling parno kalo udah liat darah.” ujarnya sambil tersenyum bersama.
Akhir bulan ini, Alfon boleh meninggalkan rumah sakit. Dia berencana untuk mengunjungi keluarga Pak Broto bersama Roni dan Safi. Meskipun sudah sembuh, namun Alfon masih menyimpan pertanyaan besar yang ada pada relung hatinya. Yang membuatnya ingin mengucapkan beribu-ribu terimakasih, dan melakukan segala keinginannya. Yaitu pertanyaan siapa perempuan pemberi darah itu. Namun, sampai saat ini dia belum mengetahui orang tersebut.
“Assalamualaikum,” ucap Roni saat tiba di depan rumah Pak Broto.
“Waalaikumsalam,” jawab Bu Ikem. Saat dia membuka pintu rumahnya dia pun terkejut, “Nak Roni, Alfon, Safi, gimana kabare?”
“Baik Bu.”
“Mari silakan masuk.” Dia pun memanggil suaminya, “Pak, ono anak-anak kita iki, baru datang dari kota.”
“Oh, Iyo, piye kabare le? Udah sembuh?”
“Alhamdulillah Pak.” jawab Alfon.
“Bu, Pak, kita ke sini mau.. apa ya istilahnya, mau pamitan Bu. Ini kami bawa Oleh-oleh dari Kota,” terang Alfon sambil meletakkan oleh-olehnya di meja.
“Kok pamitan, kalian boleh sering-sering main ke sini.”
“Ya, kalo ada waktu luang Bu, kami pasti berkunjung kemari,” untai Safi.
“Pak, kami mau kemas-kemas barang dulu ya,” usul Roni.
Mereka bertiga masuk ke dalam kamar dan mulai packing barang-barang mereka. Saat Alfon hendak mengemas barang-barangnya tiba-tiba di menemukan kertas terselip yang kemudian jatuh di depannya. Dia pun mengmbil kertas itu dan di bacanya.

                                                                                                            Probolinggo, 12 Mei 2012
DONOR DARAH
Dengan ini kami beritahukan :
            Nama   : Ikem Nur Jannah
            Umur   : 48 th
            Alamat            : Desa Kertowono 89
telah mendonorkan darahnya pada hari tersebut di RSU Probolinggo.
            Terimakasih atas darah yang telah didonorkan semoga keikhlasan Anda akan menjadi amal yang bermanfaat.
                                                                                                Dokter RSU Probolinggo

                                                                                                dr. Alvian Wigunarto.
Setelah selesai dia membaca tersebut, dia segera berlari ke luar dan berteriak, “Bu Ikem,” Tangannya yang coklat muda seketika melingkar tuangkan dua cangkir teh hangat untuk kita.”
TAMAT

No comments:

Post a Comment