“Ayaaah..!” teriak anak laik-laki berusia lima tahun yang sedang berdiri di depan singgahsana Ayahnya dengan pakaian supermannya. “Sekarang Deden nggak mau jadi Superman lagi. Deden maunya jadi Korupman aja. Kata Mas Bimo, Kakaknya Abi, kalau Deden jadi Korupman, Deden bisa beli apa saja. Bisa beli permen, coklat, mainan, es krim, sepeda baru, mobil-mobilan, dan semuaaaanyaaa. Nanti Deden beliin Ayahdan Bunda mobil. Asyik kan yah?” ceritanya panjang lebar sambil menarik-narik celana Ayahnya dengan senyum yang sempurna.
“Iya, terserah kamu,” jawab Ayahnya rendah, seakan tidak memperdulikan apa yang dikatakan anaknya itu. Dia hanya terus menggoyangkan jemari tangannya di atas panggung keyboard, sambil meneguk kopi hangat yang tersedia.
“Yes..!” Teriaknya sambil meloncat, “Deden besok dibeliin kostum Korupman ya Yah.”
“”Hmm..” jawabnya dengan nada kesal. “Tidur sana. Sudah malam.”
Deden pun segera masuk ke dalam kamarnya, membenamkan kepalanya di balik selimut, dan terlelap dalam alunan mimpi. Saat itu pun, Bu Joni, Istri Pak Joni, pulang dari pengajian di kampungnya.
“Assalamualaikum,” salam Bu Joni pada Suaminya yang masih setia menemani Laptop dalam ketenangan malam.
“Waalaikumsalam, udah plang to Bu?”
“Iya Pak, Deden udah tidur?”
Pak Joni hanya mengangguk, lalu tangan kananya di cium oleh Istrinya.
“Sudah jam segini belum tidur juga Pak? Entar sakit lagi,” uajrnya khawatir.
“Iya Bu, sebentar lagi kelar. Ibu tidur dulu saja.”
“Ndak mau dibikinin kopi dulu Pak?” tawar Bu Joni.
Pak Joni menggelengkan kepalanya dan melanjutkan pembuatan tugasnya sebagai lurah di desa itu. Bu Joni pun membalik badannya dan berjalan menuju kamarnya. Tampaknya ada perasaan yang mengganjal dalam hatinya. Dia merasakan kekhawatiran yang besar terhadap Suaminya. Namun dia tidak tahu apa yang dikhawatirkannya.
Saat matahari mulai mengintip kehangatan pagi, Deden telah siap dengan sarapan paginya di hari libur ini. Dia tengah duduk di meja makan bersama Ayah dan Ibunya.
“Yah, mana baju Korupmannya?”
Ayahnya hanya diam dan melanjutkan sarapannya.
“Yah, mana kostumnya..?” rengek Deden.
“Korupman apa to Den? Bunda nggak paham.”
“Kata Mas Bimo, aku pantes jadi Korupman. Kalau jadi Korupman Deden bisa dapetin apa saja yang Deden mau.” jelas anaknya.
“Maksudnya….Deden, kamu nggak boleh jadi Korupman. Korupman itu di benci sama Allah.”
“La terus sekarang Deden jadi apa? Deden nggak mau jadi Superman lagi, Deden bosen.”
“Yaudah, kamu jadi…’ANKORMAN’ gimana? mau nggak?” usul Bu Joni atas rengekan anaknya.
“Ankorman? Apa itu Bun?” tanya Deden penasaran.
“Ankorman itu ‘Anti Korupsi Man’. Kamu akan memberantas kejahatan para korpsi. Tugasnya juga mulia dan disayang sama Allah. Baguskan?” terang Bu Joni.
“Oh, gitu ya Bun. Baiklah, mulai sekarang Deden adalah ANKORMAN.”
Deden pun segera melahap sarapan paginya dengan sigap. Setelah itu dia segera pergi keluar rumah untuk bermain dengan teman-temannya.
Di dalam kamar, Pak Joni dan Istrinya sedang bersenda dengan serius.
“Pak, kenapa ya banyak tetangga yang membicarakan tentang Bapak. Kemarin, Ibu-ibu pengajian juga tak sedikit yang mengatakan bahwa bapak itu Lurah yang doyan korupsi. Apa Bapak..” belum selesai Bu Joni berkeluh, Pak Joni segera menyambung kalimatnya.
“Ibu percaya kan sama Bapak?” tanyanya dengan nada rendah, tapi dalam. Pria itu memandang dalam mata istrinya dengan penuh keyakinan.
“Pak, Ibu percaya sama Bapak. Fitnah apa yang melanda keluarga kita. Kenapa deden juga harus ikut-ikut terkena imbas. Dia kan hanya anak kecil.”
“Sudahlah Bu, biarkan semua seperti itu. Kita jalani aja arus kehidupan ini. Kita serahkan semua kepada Allah.”
Jawaban Pak Joni menenangkan jiwa Istrinya. Dia pergi ke dapur untuk membuat makan siangnya. Sedangkan Pak Joni berangkat ke kantornya untuk melaksanakan tugas sehari-harinya sebagai lurah.
Siang hari setalah puas bermain, Deden pulang sambil membawa lelah dan peant di balik wajahnya. “Bun, laper. Makan ya.”
Deden pun teringat dengan kata temannya, kalau mau jadi Ankorman, dia harus menyiapkan kertas bekas, tali, pistiol-pistolan, dan jaket tebal. Dia pun mengambil semua barang yang disiapkan. Setelah makan siang Deden pun melanjutkan tugasnya sebagai Ankorman bersama teman-temannya.
Deden pun beraksi bersama teman-temannya. Mereka membentuk penjahat dan polisi, kecuali Deden, dia tetap menjadi Ankorman.
“Wah.. Ada Korupsi..!” teriak Deden saat melihat temannya yang berperan sebagai Koruptor bersembunyi di balik pohon. “Akan ku terkam kau..Tembaaak..” Deden pun melemparkan kertas-kertas bekas yang diambil dar rumahnya yang telah ia remas menjadi bola-bola. “Duer-Duer”, “Booom”, “Ciew-ciew”, teriak anak-anak yang mendapat peran sebagai polisi dengan pistol mainan yang melekat di tangan kanannya. Saat koruptor tertangkap, Deden dengan gaya pahlawannya, mengikat koruptor itu dengan sigap dan kuat.
“Tinju Ankor..!”
“Hahahaha,” serunya, “Akulah Ankorman.” Para polisi pun berlutut kepadanya dan segera menangkap para koruptor.
Datangnya sore memaksa mereka untuk berpisah dan segera mandi untuk menghilangkan kelelahan dan kegersangan tubuh. Karena lelahnya, Deden lupa untuk membawa kembali barang-barang yang dibawanya tadi. Di jalan nampak kertas-kertas yang telah digunakan deden dalam bermain tersebar di mana-mana. trlihat seorang laki-laki memungut kertas tersebut dan tanpa sadar membacanya. “Laporan Keuangan”… Laki-laki itu menjadi sadar saat dirinya berjumpa dengan kata uang. “Tertanda, Joni Soeroto”. orang yang menemukan kertas itu segera memunguti semua kertas-kertas yang berserakan. Dia membaca cermat karats-kertas itu, dan dia segera menyenbarkan apa yang dia ketahui ke semua warga.
Malam hari, Pak Joni sedang makan malam bersama keluarganya. Sausana hening memberi corak tersembunyi di dalam rumah iitu.
“Bun, tadi Deden jadi Ankorman lho. Ternyata sangat menyenangkan ya Bun? Deden bisa menangkap para koruptor dengan jurus keju ajaib, boom super, dan yang paling mematikan, tinjuan ankor.”
Bundanya pun menanggapi, “Wah, pasti menyenagkan ya Den.”
“Tapi Bun,” seru Deden, “koruptor itu ap sih?”
Belum sempat Bu joni menjawab, Tiba-tiba terdengar kerumunan orang berjalan ke muka rumahnya. Seketika mereka bertiga keluar dari rumah dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
“Ada apa to Ibu-ibu, Bapak-bapak. Kok malam-malam beginibikin rebut segala?” tanya Pak joni cemas.
“Halaah, ngak usah pura-pura ngak tahu Pak. Dasar tikus bau..!” sentak salah seorang warga.
“Kita ajar aja hajar aja sama-sama,” seru warga yang lain.
“Iya,, bakar saja.”
“Hanguskan rumahnya.”
Berbagai macam kecaman keluar dari berbagai mulut warga. Sebagian warga juga melempari kertas ke arah Pak Joni dan keluarganya. Dengan kebetulan Bu Joni menangkap kertas tersebut dan membacanya.
“Waah, kaya Ankorman..!! Asyik, aku mau lempar-lempar juga.” seru deden dengan nada polosnya.
Bu Joni pun membaca kertas itu perlahan, dan…. dia terhentak mundur dan segera memegang tangan suaminya erat.
“Ada apa Bu?”
“Pak, apa semua ini benar?” tanya bu Joni sambil memperlihatkan kertas yang dipegangnya.
“Bu, Bapak bisa….”
“Jawab saja Pak…!! Iya atau tidak?” belum selesai bicara suara Bu Joni yang bagaikan petir menggelegar mendarat tepat di telinga Pak Joni.
Pak joni terduduk gontai memandang warganya yang berwajah haus akan kebencian.
“Maafin Bapak Bu,” ujarnya dengan suara lemah.
Dengan kepolosan yang sama, Deden pun mengeluarkan jurus andalannya pada Ayahnya, “Jurus ankor..!!”. Deden benar-benar menganggap semua ini hanya bagian dari sekenario drama yang di peran utamai olehnya.
Setelah mengalami beberap siding, Pak Joni harus bersemayam dalam jeruji besi. Ankorman pun, selalu mengunjungi Ayahnya yang sendirian di balik kedinginan.
“Bu, Bapak minta maaf. Titip Deden ya.”