Menunggu bukanlah hal
yang lebih baik dari melihat acara televisi yang membosankan, atau bahkan tidak
lebih baik dari menghitung integral laplace berpangkat dan sederet hitungan
yang menjengkelkan. Lebih baik semua terlukis gamblang dalam kanvas, meskipun
itu harus menyisa belonteng yang mengganjal dalam pandang. Karena menunggu
adalah hal yang selalu menghadirkan duga-sangka yang menguras tenaga, jiwa apa
lagi.
Namaku... nanti, Aku belum ingin siapa pun tahu siapa
namaku, aku tak suka popularitas. Cukup kenang aku dengan ‘gadis’. Akan aku
beri tahu nanti. Nanti.
Dan aku ingin bercerita
sedikit tentang kisahku padamu, hanya pada Engkau. Jangan beritahu pada yang
lain. Ini rahasia. Begini ceritanya :
Jelas, waktu libur
adalah waktu yang menyenagkan bagiku. Aku bisa menghabiskan panjang waktuku
untuk mengelilingi kota persinggahan ini. Apalagi mahasiswa sepertiku perlu
rasanya sesekali dalam sepekan memanjakan syaraf-syaraf yang mulai menegang.
Sepakat, pagi dini hari
aku dan sepuluh orang yang memiliki hobi jalan-jalan sepertiku menjadikan
pantai sebagai pemuas hasrat . Tujuh
perempuan cantik, dan sisanya bodyguard kami. Butuh perjalanan satu jam
setengah untuk bisa menginjakkan kaki pada permadani berbatas laut itu.
Seperti biasa, pria
hitam itu yang selalu bersamaku. Kleo namanya. Tempat di mana keluh kesahku
selalu berpendar. Tempat di mana aku boleh mengadu, bercerita, mengembik,
merengek, menangis, mengaduh. Selalu ada hangat saat aku terjebak dingin,
selalu ada sinar ketika gelap merundungku. Dia memang orang yang baik. Teramat
baik malah.
***
Kau boleh memanggilku
Kleo, Bodeng, Iman, atau terserah Kau
hendak memanggilku dengan sebutan apa. Mahasiswa
semester akhir di sebuah universitas yang tidak terkenal di sudut kota Jogja.
Hari-hariku kuiisi
dengan melukis, melukis, dan ... Bagiku
melukis adalah jiwaku. Membiarkan jiwaku melebur bersama cat yang menari
dalam kanvas. Menumpahkan berjuta warna hidup yang tiada kiranya. Melalui
lukisan, aku mewartakan kebahagian, cinta, keindahan. Hanya itu. Aku tak suka
menggores mendung atau pun luka. Itu sama halnya menyemai hama pada banyak
orang.
Dia? Si ‘gadis itu’?
Baik. Dia teman dekatku. Aku tidak tahu banyak tentang dia. Yang aku ingat dia
sering merengek tentang teman-temannya yang menjengkelkan ketika harus mengerjakan
makalah, mereka hanya berpangku tangan,
katanya. Atau teman laki-lakinya yang
berulang kali menyatakan cinta padanya, namun dia tak ada tertarik secuil pun.
Atau mendengar ocehan panjang tentang buku-buku tere liye yang dikoleksinya,
dia selalu memaksaku untuk membacanya juga Ya, dia cantik. Lebih-lebih hatinya.
Namun, ada yang aneh
dengannya seminggu terakhir ini. Ia jadi suka ngambek sekenanya, suka marah,
kadang cemberut sendiri. Sering kali juga tak mau kuajak bicara. Tak tahu aku
jalan pikirannya. Marah-marah tak jelas. Aku tak begitu paham ulat apa yang
telah menelusup dalam jantungnya. Mungkin PMS, pikirku mencoba meredam praduga
jahatku.
***
Marah? Aku tak pernah
melejitkan amarahku di depannya. Hanya aku sedang merasa tidak ada yang perlu
dibicaraan apa pun itu dengannya. Aku hanya sedang merasa dia teramat
menyebalkan. Tapi biarlah. Tak perlu dia tahu aku sedang kesal sama dia.
Tapi, kenapa juga aku
harus gusar dengan dia. Toh dia juga tidak melakukan sesuatu yang merugikanku.
Melukai pun tiada. Dia seperti biasanya. Tapi entah, rasanya dia begitu terasa
menyebalkan akhir-akhir ini. Tapi.. tapi.. tapi akan lebih terasa ganjal jika
tak ada bayangannya.
Ah.. Tuhan.. Aku tak
tahu jalan pikiranku sendiri. Pergulatan hati macam ini membuat irama jantungku
tak menentu. Cukupkanlah Tuhan.
Apa lagi dia ada di
sampingku sekarang. Duduk di atas pasir putih di bawah mentari yang mulai merangkak naik. Di sangsikan laut biru. di gerus suara gelombang ombak yang berlarian
menghampiri. Ombaknya yang pecah membasahi kaki, merayu untuk lekas didatangi.
Kecipak air terdengar merayu.
Sementara kami duduk,
sementara yang lain sudah asyik bermanjakan tawa dan riang lima belas meter
tepat di depan kami. Teriakan, cekikikan, tawa, berpendar dalam ombak yang
bergulung.
Mungkin aku
mencintainya? Aku rasa tidak, sudah lama sekali aku tak merasakan hal itu. Tapi
mungkin juga iya. Aku sudah lupa dengan gemuruh tanah yang longsor, api yang
membakar hutan, atau pun serdadu yang saling beradu dalam peperangan. Dan
sekarang tepat terjadi pada dadaku.
Ah, Kleo. Kenapa
keberadaanmu di sampingku seraasa duduk pada permadani dari sutra, berhias
pernik kristal dan batu safir pada singgahsana. Terlihat pelangi berayun pada
taman yang penuh tawa riang malaikat kecil. Surga yang hanya aku dan engkaulah
penghuninya.
Oh Tuhan, batapa
bodohnya. Aku baru menyadarinya. Aku baru terbangun dari kemarau yang amat
sangat lama. Ah, Lagi-lagi aku terjerat dalam dunia yang memabukkan. Apalah
itu, tapi orang biasa menyebutnya dengan cinta. Cinta?
***
Bahkan sekarang pun,
dia mulai menjengkelkan. Merengek meminta ini itu, seperti bocah yang meminta
balon pada biyungnya. Setelah dituruti, lanjut meminta boneka, mainan, jajan,
dan tiada habisanya kalau dituruti. Dan kalau tidak dituruti, amarahnya
menyulut, ngambek, bersungut. Sungguh menyebalkan.
Ada apa dengan gadis
ini. Makin hari kedewasaannya melemah, semakin kekanakan. Bahkan sekarang, di
pantai ini, dia tidak mau mengobrol denganku. Hanya karena aku tak mau bermain
air, menggendongya dan menyeburkannya ke pantai. Bagiamana bisa? Aku sedang tak
enak badan. Bahkkan aku sudah menolaknya dengan pelan, bahkan aku menawarkannya
untuk naik delman saja.
Sungguh benar-benar aku
tak mengerti jalan pikirannya. Sepanjang perjalanan pulang pun tidak berubah,
wajahnya dilipat sekucel-kucelnya. Kusut tak berbentuk. Tak ada obrolan pendek
pun dalam perjalanan itu. Rona merah masih mendempul di wajahnya. Saat kulirik
wajahnya, semakin gigih olehnya melipat-kusut wajahnya. Tapi tetap saja
terlihat manis, lebih manis malahan.
Ah, sungguh gadis ini.
Aku jadi merasa tidak enak, membuat hari-harinya dirundung durja. Tak ada upayaku diindahkannya. Usahaku untuk menghiburnya pun berbuah sia-sia.
Sesekali terlihat
senyum kecilnya, jelas senyum yang penuh reakasaya. Dan itu membuatku semakin
tak kuat daya. Ada apa dengan dia?
***
Aku hanya butuh
perhatian dari dia. Rasanya ganjal hari tanpa perhatian dari nya. Tapi percuma,
mata hatinya masih lelap tertidur. Tak bisa merabai dadaku. Sungguh laki-laki
itu tak peka sedikit pun. Aku kesel.
Mungkin lebih baik tak
perlu membuat perbincangan dulu dengannya, itu akan terasa menyakitkan jika dia
tetap saja tidak pernah peka. Tapi kenyataannya, dia memang tidak pernah peka
dengan hatiku.
Sungguh Kleo, jangan
buat aku menunggu terlalu lama.
***
Seminggu aku tak
bertemu dia. Sesekalinya bertemu, dia malah berusaha menghindar. Atau jika
terpaksa bertemu, tidak banyak bicara. Hanya menjawab jika aku bertanya,
sisanya hanya tanda tanya. Seminggu sejak liburan ke pantai itu sikapnya
semakin aneh saja. Aku tak habis-habisnya perpikir, hanya karena aku menolaknya
bermain itu kah dia sampai jadi seperti ini.
Jangankan membalas sms,
mengangkat telepon dari ku pun ogah-ogahan.
Ayolah, Gadis ini pandai
benar buatku berputar-putar kepalang. Khawatir tak karuan. Tak pernah
sebelumnya makan siangku jadi kacau rasanya. Tidur ku pun tak selelap
malam-malam sebelumnya. Aneh sekali, aku mengkhawatirkannya, lebih. Lebih dari
biasa-biasanya.
...
...
Aku tahu..!! Aku tahu
apa yang harus aku lakukan
***
Tetap saja, sama halnya
sia-sia. Dia tidak mengindahkan sedikit pun keadaanku. Mengkhawatirkanku pun
tidak. Aku jadi semakin kesal, tapi disisi lain, aku malah semakin merindu
peluk manjanya. Aku makin mencintainya.
Aromanya seakan hadir
saat kuhirup udara senja. perawakannya seperti muncul ketika kututup mata,
hendak memberi peluk terhangatnya. Suaranya berngiang ketika sepi datang. Ah,
Kleo. Kau benar-benar tega. Tega membuat ku mengkekang rasa ini, rasa-rasanya
aku tak kuat lagi membendung. Ingin segera kuledakkan.
Hampir tiap malamku,
dia menyempatkan hadir hanya untuk menyanyi untukku, memberi bunga untukku,
membacakan sajak cinta untukku, mendongengkan cerita untukku. Ya, sayang. Dia
hanya hadir dalam “malam” ku.
Mungkin iya, aku
berlebihan. Mendiamkannya tidak menyelesaikan masalah, tidak membuat dia peduli
padaku. Namun sebaliknya. Dia semakin menjauh saja denganku.
Seminggu terakhir, aku
tak melihatnya di kampus. Mungkin karena tingkahku. Saat berjumpa, selalu ada
walau hanya sekedar menyapa atau melempar senyum. Senyum yang selalu kubalas
dengan kecut. Betapa bodohnya diriku.
Ada apa gerangan dengan
pangeran impianku, yang biasanya membawa pelangi di setiap kejap mataku, yang
selalu mengiring tawa dalam jenuhku,yang selalu melukiskan keindahan dalam
kanvas hatiku.
Ah, sungguh menyakitkan
saat gambar-gambar indah masa lalu itu merengkuh dalam rindu. Segera. Aku harus
datang ke tempatnya. Aku harus meluapkannya. Harus. Sekarang. Sekarang.
***
Selesai sudah, hanya
ini yang bisa kulakukan. Lelah rasanya setelah beberapa hari menguras pikiran,
tenaga, emosi, cinta, dan meluapkannya dalam ‘kado’ kecil ini. Tapi
tidak, aku sangat puas, semua terbayar dengan kebahagiaan yang entah terasa
begitu meledak-ledak. Apalagi membayangkan memberikannya pada gadis itu.
Kenapa juga aku mesti
berfikir seperti itu? Ya. Tidak salah lagi. Biarlah biarlah waktu berpilin
dalam dunia fatamorgana. Aku tak mau menenggelamkan hatiku yang tengah berpijar
ini.
***
Tepat di depan pintu
kosnya kakiku terhenti. Berpikir satu-dua detik berusaha memantapkan kembali. Lebih
mantap dari tadi. Lebih mantap dari satu detik yang lalu. Bayang laki-laki itu
makin muncul begitu saja, sekali-dua membukakan pintu dari dalam. Beberapa
kejap bayangan kemungkinan terburuk pun terbias. Tidak. Semua akan baik-baik
saja.
Tangan yang mengepal
pun urung mengetuk pada dinding pintu saat terlihat Kleo tertidur dengan
pulasnya dari pintu yang sedikit terbuka. Aku pun masuk tanpa permisi, seakan
rumah milik sendiri.
Lagi-lagi langkahku
terpatri. Ada yang aneh dengan ruangan ini. Tiba-tiba tubuhku seperti terbang
mengapung, aroma surga menyengat melumpuhkan kesadaranku. Mata ini terpana,
tertuju pada sebuah kanvas yang tak kosong lagi.
Seraoang malaikat? Aku rasa
bukan. Tapi lihatlah.. Dia cantik sekali, Sungguh menawan hati. Tiap gores warna
yang terkuas seakan bercerita tantang surga, tentang cinta.
Sungguh, rasanya merugi
ketika harus menutup mata barang sedetik pun. Wajah itu, cantik sekali. Demi
tuhan.
Siapa gerangan wajah
dalam foto itu?
***
Sungguh keajaiban
memang datang untuk mereka yang tengah dirundung cinta. Saat mataku pelan
menghilangkan kekaburannya dari tidurku. Terlihat gadis menawan itu berdiri
tepat di depanku. Aku berfikir itu hanya sketsa yang aku lukis tadi, aku kira
dia hanya kesemuan. Tapi aku salah, dia nyata. Dengan segala kemewahan cinta,
dengan segala keanggunan, dengan segalanya. Dia hadir memberikan hadiah
terindah.
Aku masih ragu, sedikit
ragu. Tapi dia memang nyata.
“Aini..” mulut kecilku
berucap kelu.
***
Aku pun menoleh,
Hanya menoleh, dan....
Kosong.
Aku tak ingat lagi aku
harus apa, aku harus bagaimana. Aku pun lupa dengan tujuan utamaku.
Hening. Kami berdua
mematung.
Hening lagi. Lama.
Hening. Lama lagi.
Diam, tanpa suara. Tapi,
kami berbicara, melalui mata, melalui rasa.
***
Benarlah, jangan sampai
kau ceritakan kisahku ini pada siapa pun. Aku tidak ingin mereka mengerti
kisahku. Biarlah mereka mengenal cinta melalui jalan mereka sendiri, melalui
kisah mereka sendiri. Karena itu akan lebih indah, jauh lebih indah dari pada
yang banyak orang bicarakan.
Satu hal. Kau tak harus
melakukan kesalahan yang sama denganku. Janganlah membuat dia terlalu lama
menunggu. Itu menyebalkan.
Terimakasih dariku, Kau sudah menyempatkan
waktumu untuk mendengar ceritaku. Kau boleh memanggilku Kleo, Bodeng, Iman, atau terserah Kau hendak memanggilku
dengan sebutan apa.
#tamat
Yogyakarta, Maret 2014