“Tarik saja terus.”
“Nanti talinya putus, Pak.”
“Sudah, paksa saja.”
“Sudah saya coba.” Kata Ojan yang tengah berusaha mengerek bendera dengan
sekuat tenaga. “Sepertinya ada yang menyendat,” Tambahnya sambil mendongak ke
atas memandangi sang merah putih yang masih nangkring setengah tiang.
***
Sejak jauh-jauh hari orang-orang di kampung bergotong royong. Mereka
berbondong-bondong mengecat jalan, mengecat pos Kamling, dan membuat
gapura-gapura bertulisan ‘DIRGAHAYU 17-08-45’. Ibu-ibu dan kaum wanita membuat
nasi kuning yang dibuat kerucut dengan aneka lauk, seperti tempe kering,
perkedel, telur dadar, timun, daun kemangi, ayam dan cabai merah yang dihias apik
menggoda lidah. Sedangkan anak-anak ramai mengikuti lomba makan kerupuk, balap
karung, manjat jambe, sendok kelereng, dan lainnya. Mereka bilang itulah cara
mereka mengingatkan akan kemenangan. Kemenangan akan para leluhur atas para
penjajah yang telah meretas habis negeri ini. Mereka bilang demikian.
“Indonesia sudah genap Tujuh puluh tahun merdeka bukan?”
“Untuk ukuran sebuah negara, itu masih terbilang muda. Masih bayi.”
“Bayi katamu? Itu hanya alibi atas persoalan bangsa yang begitu ruwet.”
“Memang Indonesia sudah merdeka?” katanya sambil memberi kode tanda
petik pada kata merdeka.
“Pertanyaanmu memang selalu susah dijawab.”
“Tapi, bukankah memang masih terlalu muda untuk sepadan dengan
negara-negara di Eropa.”
“Ndak usah muluk-muluk disepadankan dengan Eropa. Lihatlah
yang paling dekat dengan kita. Sebut saja Malaysia. Tidak bisa dipungkiri.
Meskipun aku sendiri sulit menerima, namun kenyataannya Malaysia sudah jauh
lebih maju dari kita. Padahal Malaysia lebih muda daripada kita.”
“Iya juga. Tapi …” Pemuda itu tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
“Kita doakan saja negara kita ini.”
“Doa saja tidak cukup.”
“Daripada yang tidak pernah sekalipun mendoakannya. Malah mencemooh.”
Ujarnya sambil mengusap peluh, “Aku terkadang bingung dengan orang-orang
semacam ini. Mereka tidur di tanah ini, makan hasil tanah ini, berbahasa juga
Bahasa Indonesia. Namun selalu mencibir negeri ini. Mengolok-olok tiada henti.”
“Itu urusan masing-masing, Jan.”
“Ini masalah fundamen, Kar. Selamanya Indonesia tidak akan ke
mana-mana kalau mental orang-orangnya seperti ini.” Ujar Ojan kesal dengan
objek yang diperbincangkan.
Ojan dan Afkar kembali melanjutkan gladi bersih untuk persiapan
upacara besok. Bendera berhasil diturunkan. Mereka segera melipatnya.
***
Seragam tampak gagah membalut tubuh para petugas. Semua sudah siap
di lapangan. pemimpin pasukan, pemimpin upacara, paduan suara, dan posisi
lainnya, termasuk juga Ojan dan Afkar yang bertugas mengibarkan bendera. Mereka
semua sudah cukup latihan untuk upacara kali ini.
Beratus pasang kaki sudah tertata rapih memenuhi lapangan.
Laki-perempuan berbaris sesuai dengan dengan ketinggian. Masyarakat sipil,
guru, pelajar, pegawai negeri, semua berbaris untuk memperingati hari yang sakral
ini. Termasuk juga Walikota, yang akan menyampaikan amanatnya nanti. Bebenrapa
media masa lokal berdatangan untuk mencari bahan pengisi berita.
Setelah pemimpin pasukan menyiapkan pasukan, pemimpin upacara
memasuki lapangan upacara. Satu demi satu rangkaian acara berjalan dengan lancar.
Bahkan cukup khidmat. Tak ada terdengar satu percakapan pun keluar dari peserta
upacara pagi ini. Bahkan dari kalangan pelajar pun.
Ojan, Afkar, dan juga Arsin pun sudah siap untuk gilirannya. Afkar
melirik kedua temannya sebagai kode untuk segera siap.
“Gerak!”
Mereka pun berjalan tegak dan rapih. Kakinya perlahan mengombak dan
menghentak seirama. Terlihat indah dan harmonis. Mereka berjalan pelan menuju
tengah lapangan. Menuju tiang yang berdiri tegak menantang langit. Setelah
haluan mereka berhenti dua meter tepat di depan tiang.
“Santai Kar. Sesuai dengan latihan.” Ojan berbisik.
Arsin, sebagai pemegang bendera berdiri tegak memegangi Sang Merah
putih. Sementara Afkar dan Ojan mulai mengikat tali bendera pada tambang
pengeret bendera.
Dirigen juga sudah menyiapkan posisinya. Wajahnya percaya diri
menatap para peserta untuk memimpin lagu Indonesia raya. Jemarinya lentik mengambil
aba-aba.
“Hiduplah Indonesia Raya.” Ujarnya mengawali lagu Indonesia raya.
Tangannya perlahan mulai meliak liuk naik turun dengan ketukan empat per empat.
“Indonesia tanah airku … Tanah tumpah darahku…” Semua
peserta menyanyikan lagu Indonesia raya dengan khidmat.
“Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku.” Ojan dan Afkar
perlahan terus mengerek bendera ke atas. Pelan. Pelan. Sesuai rencana, kata
Ojan pada Afkar melalui tatatapannya.
Suasana heroik yang begitu kental mengudara di tengah-tengah
panasnya lapangan. Semua mata tertambat pada bendera yang perlahan merangkak
menuju singgahsana tertinggi. Angin membuat bendera menari dengan gagahnya.
Namun seketika angin tiba-tiba terasa dingin. Dingin menggigilkan.
Terlebih bagi Afkar dan Ojan. Afkar menelan ludah. Dengan cepat keringat
membintik di kulit dua petugas bendera ini. Tangan mereka terasa berat tiba-tiba.
Tambang yang mereka tarik tersendat tepat saat bendera berkibar setengah tiang.
Mereka berdua saling bersitatap, ditambah Arsin yang juga ikut
kebingungan. Sementara lagu masih dikumandangkan.
“Marilah kita berseru Indonesia bersatu.” Suara pun perlahan menjadi sumbang. Ada yang terdiam karena ikut
khawatir karena bendera tiba-tiba berhenti di tengah. Ada yang meolotot, ada
yang cemberut, ada yang terus menyanyi dengan lantang. Namun lebih banyak yang
ikut khawatir melihat bendera yang tersendat setengah tiang.
Sementara Afkar dan Ojan masih bersitatap tegang. Saling mengkode
apa yang harus dilakukan. Namun dua-duanya sama-sama tidak tahu harus
bagaimana. Mereka berusaha menarik tali pengeret lebih keras lagi.
Pak Endru, pelatih khusus tim pengibar bendera itu, berlari ke arah
tiga pengibar bendera. Mereka sempat bersitegang waktu itu. Pak Endru memaksa
Ojan untuk menarik pengeret dengan sekuat tenaga. Namun tidak ada hasil.
“Indonesia raya merdeka merdeka tanahku negeriku yang kucinta.”
Seseorang lagi ikut datang ke tengah lapangan. Seorang anggota TNI
AD dengan badan atletisnya berusaha membantu menarik tali yang dipegang Ojan.
Dengan tenaganya yang super, laki-laki berlengan besar itu tidak cukup membuat bendera
merangkak naik. Bahkan tak sesenti pun.
“Coba periksa. Mungkin ada bagian yang terselip atau apa.”
“Sudah. Lagunya sudah mau selesai, bendera diikat saja seadanya.”
“Tidak bisa. Tidak boleh diikat setengah tiang. Itu bisa merusak
kesakralan upacara ini. Ini hari kemerdekaan bukan waktunya berkabung. Tidak
mungkin dibiarkan setengah tiang.”
“Terus bagaimana? Sebentar lagi lagu selesai. Tidak enak juga
dilihat orang.”
“Lebih tidak enak kalau bendera berkibar setengah tiang.”
“Sebenarnya ada apa ini. Saya rasa tidak ada masalah dengan bendera,
tiang, pengerek, juga katrolnya.”
Melihat itu, dirigen dan para peserta upacara tanpa dikomando ikut
memperlambat tempo lagu. “Indonesia raya merdeka merdeka hiduplah Indonesia
raya.”
Pak Endru dan TNI itu masih bersitegang dan berusaha menarik-narik
tali tersebut. Sementara Ojan, Afkar, dan Arsin hanya nyengir getir. Bercampuran
emosi gaduh berderu dalam dadanya.
“Sudah. Sudah. Lagu sudah hampir selesai. Ikat saja.”
“Sial.” Kata Afkar dengan cukup keras ditengah ketegangan. “Lihat
di ujung tiang itu.”
Hampir serempak mereka menoleh ke atas. “Ada apa? Aku tidak melihat
apa pun?”
“Tidak ada apa-apa.”
“Aku juga tidak melihat apa pun.”
“Pantas saja tidak bisa dikerek lagi.” Tambah Afkar semakin mantap
dengan semua kejadian janggal ini.
“Ada apa, Kar?”
“Kalian tidak melihatnya?” Tanya Afkar keheranan. Sedang yang lain
hanya melongo dan menggeleng. “Lihatlah! Bendera negara lain tengah berkibar di
puncak tiang dengan gagahnya. Mana mungkin merah putih bisa dikerek hingga ke
puncak?”
“Sungguh. Kau memang jago melucu, Nak.” Ujar TNI ketus.
“Aku tidak melucu.”
Lagu Indonesia raya pun selesai dinyanyikan. “Hiduplah
Indonesia raya.”
Tamat