Sepertinya tanganku terasa sangat
berat. Bahkan untuk mengedipkan mata pun aku tak sanggup. Bahkan aku tak tahu
apakah air mataku telah menetes. Hanya dingin yang menusuk tajam menembus kulit
tipisku. Tubuhku tergeletak kaku pada permadani yang diimpor dari timur tengah
sana. Aku sudah benar-benar merasa lelah, bahkan aku hampir tak merasakan
kelelahan itu. Di ujung nafasku yang berujung pada akhir kefanaan.
Entah kenapa aku pernah bermimpi
menjadi aku yang sekarang. Kala itu aku
hanya berfikir profesiku ini adalah sesuatu yang sangat tinggi. Sesuatu yang
sangat disanjung banyak orang di tempatku tinggal. Sesuatu yang membuat semua
tetangga menjadi iri setengah mati. Tapi entah bagian mananya yang membuat
tetanggaku menyanjungnya. Entah apa yang membuat tetanggaku benar-benar ingin
menjadi orang sepertiku. Seperti diriku yang sekarang.
Namaku Siti. Lahir di sebuah desa
yang masih jauh dengan asap yang mengepul jalanan. Jauh pula dengan beton yang disihir
menjadi bangunan pencakar langit. Hanya ada sawah dan kebun jagung yang menaburi
luasnya mata memandang. Tak ada aungan motor ataupun mobil yang memecah
kehangatan pagi, hanya ada suara kerbau yang terbangun dari lelapnya.
Sejak kelahiranku, aku mendengar
kata itu. Kata yang sering sekali diucapkan oleh Ibuku saat menggendongku, atau
saat berusaha menidurkanku. Seakan-akan aku telah diberi label bahwa aku akan
menjadi demikian kelak. Ibuku sangat senang sekali dengan kelahiran anak
keduanya yang perempuan setelah anak pertamanya terlahir laki-laki. Bahkan di
masa sekolah dasarku, dengan bangganya ibuku memberi tahu kepada semua tetangga
bahwa aku akan menjadi TKI. Aku harus menjadi TKI.
Lihat! Tak ada rumah yang
terlihat layak di kampungku. Rata-rata semua bangunan terbuat dari bambu..
Hanya ada beberapa bangunan yang berdinding batako. Tidak ada pekerjaan lain
selain bertani, mengembala kerbau, dan mencari ikan di sungai. Bahkan lebih
banyak yang berdiri, berjalan, dan berlari tanpa arah, alias pengangguran yang
luntang lantung tak tahu arah.
Di ujung kampung itu ada sebuah
rumah yang cukup mewah. Bahkan sangat mewah di mata kami. Bangunan dengan dua
lantai menjulang. Dengan dinding berwarna kuning yang sangat mencolok. Di
depannya dihiasi pekarangan bunga anggrek dan bougenvil yang menambah sedap
pemandangan. Rumah itu dihuni hanya oleh tiga orang. Sepasang suami istri yang
sudah ditubuhi uban di bagian kepalanya. Ditambah satu cucu laki-laki mereka,
yang suka mengajak teman sebayanya bermain mobil-mobilan, pistol-pistolan,
robot-robotan, dan berbagai mainan yang ia peroleh dari neneknya. Sayangnya
bocah kecil itu belum pernah melihat ibunya sejak usianya enam bulan. Kata
orang-orang Ibu bocah kecil itu menjadi TKI di Malaysia. Tidak ada yang tahu
dengan keberadaan bapaknya. Orang-orang sangat menyegani keluarga tersebut.
Entah, mereka menganggap keluarga tersebut sangat terpandang gara-gara
profesinya sebagai TKI.
Padahal semua orang tahu, sebelum
anak perempuannya jadi TKI. Sepasang tua itu hanya bekerja sebagai pengumpul
eceng gondok di pinggir kali. Tapi, semua berubah setelah kepergian anak
perempuan mereka ke Malaysia.
Karena keluarga itulah, sejak
kecil aku didekte untuk menjadi seorang TKI. Kala itu, bocah usia lima belas
tahun sepertiku hanya menurut saja apa yang diarahkan orang tuaku. Bahkan dulu
aku juga punya sedikit keinginan untuk menjadi TKI, diluar hatiku yang
sebenarnya ingin melanjutkan sekolah di tingkat SLTP. Tapi, sekali lagi aku
hanya anak kecil yang hanya bisa menyusu pada ibuku.
Tidak beda dengan keluargaku,
semua orang menginginkan anaknya untuk menjadi TKI macam perempuan yang sukses
membangun rumah gedong itu. Apalagi kondisi masyarakat di tempatku yang masih
primitif ini.
Aku ingat, pada akhir tahun itu.
Aku, Lastri, Yunah, Ningrum, Ningsih, dan Painem dibawa ke kota dengan mobil
terbuka. Kami sangat tertarik sekali di bawa ke tengah kota yang kami sendiri
belum pernah menjumpa sebelumnya. Terlalu banyak hal yang membuatku bertanya
kala itu. Tapi kubiarkan tanya itu menggantung di anganku. Kami disuruh memakai
pakaian terbaik kami. Kami juga berdandan dengan penampilan tercantik kami.
Kami semua mematuhi mulut orang tua itu.
Di tempat itu, Aku ditanyai
beberapa pertanyaan. Aku hanya menjawab sekenanya. Kamera pun mengabadikan wajah saya yang berambut keriting ini. Mereka
pun menyodorkan secarik kertas dan meminta kami untuk melengkapinya. Gadis
sekecilku tak tahu banyak mengenai hal semacam itu.
Hari itu pun tiba, Orang tuaku
mengantarkanku di stasiun kota. Dengan air mata yang membendung di kantung
matanya, mereka meninggalkanku dalam perjalananku ke Jakarta. Untungnya aku tak
sendiri, ada sahabatku yang bisa jadi teman di saat rasa takut dan khawatir
menghujam.
Ternyata kebersamaan kami hanya
bertahan beberapa hari setelah mendaratnya pesawat yang kami tumpangi mendarat
pada sebuah bandara. Aku menjadi merasa ketakutan. Berdiri di tempat yang belum
pernah kujamah sebelumnya. Bersua dengan orang yang tak pernah kutahu
karakterya. Perasaanku seketika berpijar, tak tentu sifat dan warnanya. Aku
berusaha untuk menentang fikiranku, karena aku datang jauh-jauh ke sini karena
orang tuaku. Untuk kehidupan yang lebih layak. Aku ingin melihat senyum itu
mengembang dengan sempurna di balik wajah kedua orang tuaki. Karena aku adalah
seorang TKI. Aku adalah Tenaga Kerja Indonesia.
Lembaran baru pun kubuka. Pada
sebuah rumah berlantai dua yang sangat megah, aku mulai hari-hari ku sebagai
‘Babu’. Sebut saja demikian. Rumah itu hanya dihuni oleh sepasang suami istri
yang sudah cukup lama usianya. Namun mereka belum mempunyai momongan. Pertemuan
pertama yang sangat mengesankan, mereka menyambutku dan menunjukkan kamar tidur
untukku. Kamar yang jauh lebih bersih, lebih indah, dan lebih bagus dari
kamarku.
Menyapu sudah bukan masalah bagiku.
Apalagi mencuci, untungnya ada mesin yang membantu meringankan pekerjaanku.
Untunglah aku sering main ke rumah Mbak Nilam, tetanggaku yang menjadi
inspirasiku sebagai TKI itu. Di sana terdapat Rice Cooker, Mesin Cuci, dan Kulkas. Sedikit banyak, aku telah memahami cara
menggunakannya.
Aku pikir semua telah beres dan
aku bisa beristirahat.Ternyata tidak. Suara teriakan perempuan itu memecah
kesadaranku. Entah sebab apa, dia marah-marah padaku.
“What did you do with my dress?
You broke it?” amarah perempuan itu dengan gaun merahnya yang kusut.
Sungguh. Aku tidak tahu apa yang
dia katakan. Aku masih paham saat dia berbicara dengan bahasa melayu. Tapi
kalau bahasa yang satu ini aku benar-benar angkat tangan.
Tanpa aku sadari, telapak tangan
putih itu telah mendarat di pipiku. Menyisakan jejak merah yang membuatku
mendesah kesakitan. Dia pun meninggalkanku begitu saja.
Aku masih saja bingung dengan apa
yang dia lakuakan. Aku pikir aku tidak melakukan satu kesalahan pun, dan aku
pikir semuanya kulakukan dengan benar.
Ternyata hari itu adalah awal
dari kisah pahitku. Esok, esok, dan esoknya lagi kejadian semacam itu tak bisa
terelakkan. Semuanya berjalan begitu saja.
--
Darah mengalir keluar dari
mulutku. Aku tidak pernah menyangka akhirnya menjadi seperti ini. Pada sebuah
permadani yang diimpor langsung dari timur tengah. Aku bahkan tidak mengira
kisah ini tak seindah buah bibir orang-orang dikampungku. Aku hanya gadis kecil
yang tak pernah melihat ke arah matahari terbit. Yang aku tahu, aku datang
jauh-jauh ke negeri orang hanya untuk menjemput pagi. Hanya itu.
Yogyakarta
Agustucs, 2013