Oleh : M. Riza Rahmat Syah
Untuk kesekian kalinya kau hadir lagi dalam mimpiku. Entah yang
keberapa kali. Kau terlalu sering menghadiriku dalam tidurku. Entah harus
bahagia atau bermuram durja. Aku bisa bertemu lagi setelah hampir tiga tahun
aku tak pernah lagi mampu untuk menemuimu. Meskipun hanya dalam mimpi. Mimpi
yang terkadang juga membuatku sedih. Karena aku tersadar bahwa kau memang tidak
akan pernah bisa kusentuh lagi. Mimpi yang menyadarkanku bahwa kau hanya akan
menjadi penghias mmimpiku. Tanpa pernah akan bisa bertemu lagi.
Tiga tahun lalu. Setelah kejadian mengerikan yang membuat
pagar-pagar pembatas itu makin hari makin menebal. Jembatan penghubung yang
asri. Ditanami pepohonan hijau dengan semerbak bunga mewangi. Seketika runtuh.
Saat aku, dengan tanganku sendiri menghancurkan jembatan yang telah kita bangun
bersama. Jembatan yang sudah kita rajut sejak sekian lama. Hingga kau
benar-benar marah kepadaku. Kau benar-benar enyah saat melihatku hadir.
Sehingga aku memutuskan untuk tidak akan pernah lagi menampakkan diri di
hadapanmu. Meskipun aku masih amat sangat mengharapkan waktu bisa
mengantarkanku pada waktu kita pertama bertemu. Saat kau menyalami tanganku.
Saat aku membawakn ranselmu. Saat pertama kau mengajak makan malam bersamaku.
Sungguh pigura-pigura itu masih begitu kental membekas di keningku.
“Hai, bagaimana kabarmu?”
“Aku rasa kita bisa berdamai.”
“Kau sungguh telah memaafkanku?”
“Aku rasa kau juga manusia.”
Lantas kau megulurkan tanganmu. Aku pun ragu untuk menyambutmu.
“Kau kenapa?” katamu.
Dengan mantap aku pun menyambut tanganmu. Seketika semua menjadi
ringan. Rasa rindu yang menggunung membuncah membentuk taman surga dengan bunga
yang bermekaran. Rasa-rasanya aku sungguh bahagia hari ini.
Lantas kau memutarkan lagi lagu kesukaanmu. Lagu yang menjadi
kesukaan kita berdua. Rambutmu teruarai tersapu angin. Dengan aroma yang sama persis
dengan saat kita bertemu.
Ya, esok harinya aku tersadar itu hanya sebuah mimpi. Mimpi yang
membuatku sesak di pagi hari. Membuat hariku terasa tidak enak. Karena hari-hariku
harus terhiasi oleh baying-bayang mimpi malam tadi.
Kenapa kau begitu tega memainkanku dengan kehadiranmu dalam
mimpi-mimpiku. Kenapa kau tega mengoyak perasaanku yang seketika gonjang-ganjing
saat kau hadir dalam mimpi. Mimpi itu seakan harapan palsu. Memberikan suasana
dan gambaran yang sangat indah dan apik. Namun dengan mudahnya kau pergi
meninggalkan luka di kala sadarku.
Atau mungkin aku yang masih terlalu berhadap denganmu. Sehingga kau
selalu menampakkan diri dalam mimpiku. Namun aku ingat kejadian waktu itu, saat
kau benar-benar marah padaku. Saat tangan itu dengan lihainya menyerang
wajahku. Saat sorot kebencian di matamu yang terhujam ke arahku. Saat nafas itu
terdengar menggebu saat kau memukuliku. Kau benar-benar gadis yang berhasil dengan
sempurna melumpuhkan hatiku.
Seringkali terbesit dalam pikirku. Adakah di sana kau rindu padaku,
meski hanya sekedar ulasan kisah kita tempo lalu. Adakah kau juga mengalami
rindu yang hebat seperti yang kuderita. Sehingga menjadi pesakitan sepertiku
hanya karena makhluk bernama rindu. Atau jangan-jangan kau juga memimpikanku?
Ah, aku rasa berlebihan. Bahkan namaku saja kau sudah tidak
menyimpan dalam dokumenmu. Jangankan nama, aku yakin kau sudah benar-benar melupakanku.
Meskupun hati kecilku masih berhadap kau memimpikanku. Walau hanya sekadar.
“Sudahlah Ba. Jangan terus-terusan melipat-lipat hatimu. Hari-hari
indahmu masih menunggu di depan.”
“Kamu tidak tahu.”
“Tidak tahu apa? Kau yang terlalu mendramatisir urusan cintamu. Hingga
Kau terlihat lemah. Seperti manusia pesakitan.”
“Kau tidak pernah tahu.”
“Terserah kau saja, Ba. Aku hanya tidak ingin sahabatku menderita.”
“Terimakasih Bro. Tapi …”
Dua malam setelah itu. Kau berturut-turut hadir dalam janji
palsumu. Iming-iming kebahagiaan yang ternyata hanya berujung kekecewaan. Tiga
malam berturut-turut kau tidak pernah absen dalam mimpiku. Apakah kau sengaja
membuatku menjadi pesakitan. Memupuk rasa rinduku hingga membuatku kehausan.
Tiga malam. Pertama kau menyalamiku. Kedua kau memelukku. Malam
ketiga kau mengajakku menyanyikan lagu tentang kita. Nanti malam apa lagi?
***
Sebatang rokok bertengger di jariku. Asapnya mengepul melebur
dengan waktu. Aku pun terbatuk. Tersedak dengan asap rokok yang panas di
tenggorokan.
“Kau tidak bisa merokok.” Katamu dulu sambil tertawa. Terbahak
melihatku yang menderita. “Aku tahu Kau tidak bisa merokok.”
“Aku bisa.” Kataku mencoba meyakinkan. Namun sepertinya aku bukan
pembohong yang ulung. Kuhisap lagi rokok yang melingkar di jari dan aku
terbatuk lagi. Dia pun terpingkal lebih keras. Bahkan sampai matanya kebas
karena tertawa. “Sudah Kiba. Kau tak usah lagi berbohong.”
“Aku tidak pernah memintamu untuk merokok.”
“Aku juga tidak pernah merasa ada yang memaksaku. Sama halnya aku
tidak pernah memaksakan diri untuk mencintaimu.”
Kau lantas diam menatapku. Tawamu meluruh menjadi tatapan yang
teduh. “Kau berbeda dengan perempuan lainnya.”
“Bukan kau tahu ini hanya mimpi?”
“Iya, aku sadar sekarang ini kau hanyalah mimpi indahku. Aku hanya
ingin bertanya. Kenapa kau selalu datang ke dalam mimpiku?”
“itu bukan urursanmu.”
“Itu urusanku. Aku lelah terjebak dengan rindu yang kau hadirkan
dalam setiap mimpiku.”
“Aku hadir karena kau yang memilihku untuk hadir, Kiba.”
“Kau bohong.”
“Kenapa bisa bilang aku berbohong. Kau yang telah merusak semua
ini. Dan kau pula yang tersayat oleh apa yang Kau buat sendiri.”
“Hentikan..!” Rokok yang kupegang kuinjak, “Aku tahu kau hanya
mimpi. Sekarang aku tengah bermimpi. Kumohon pergilah dari mimpiku. Dan jangan
pernah kembali. Karena kehadiranmu hanya membuat noda dihatiku semakin membesar.”
“Aku tidak akan pergi dari mimpimu. Karena kau masih menghendakiku
berada di sini.”
“Pergi..!!!”
Aku pun teriak. Tepat saat aku terbangun dalam mimpiku. Kamar
gelap. Purnama masih bertengger di balik jendela. Dadaku sesak. Keringat kebas.
Aku tidak bisa terus terusan begini. Aku tidak bisa membiarkanmu
hadir tiap malam. Aku tidak bisa membiarkan kau menjajah mimpiku. Aku harus segera
meledakkan rasa rinduku.
Kaumbil semua buku, catatan, foto, dan segala bentuk kenangan yang
bisa memunculkan bayanganmu. Kuambil korek dan minyak tanah. Aku segera berlari
ke luar untuk membakarnya. Namun aku terhenti tepat di depan pintu.
Kau berdiri tegak di depan pintu kamarku. Wajahmu dingin
memandangku. Perlahan musik kenangan kita menggelitik telingaku.
“Sial..! Aku belum terbangun dari tidurku.”
Pekalongan, Juli 2015