Meskipun aku selalu sendiri, tapi
aku tidak pernah merasa sendiri. Karena kalian mewarnaiku dengan
tingkah-tingkah lucu kalian. Terkadang menyenangkan, terkadang membanggakan,
seringkali menjijikkan.
Kau tidak pernah benar-benar tahu
tentang rahasia seseorang. Barang kali kau hanya melihat apel merah sangatlah
segar dan manis, namun bisa jadi dalamnya masam. Bahkan mungkin sekali mangga
yang gelap, keriput dan terlihat membusuk, dalamnya enak sekali.
Berhati-hatilah dengan pikiran pikiran pendekmu yang bisa membuat jiwamu kerdil
dalam menilai sesuatu. Karena kau tidak selalu tahu, dan aku ditakdirkan untuk
selalu tahu. Tapi ingat, aku bukan Tuhan. Aku sama seperti kalian, hanya
‘sedikit’ berbeda.
TIga tahun terakhir ini aku sedang
tertarik dengan salah satu temanku. Bukan, Bukan teman tepatnya. Aku
mengenalinya, tapi dia tidak pernah mengenaliku. Dan Aku pun tidak pernah
berharap dia mengenaliku. Namanya Dini. Aku mendengar semenjak pertama kali dia
datang dengan wajahnya yang amat lugu, cantik, dan menarik.
Pada malam itu, aku melihat dia
datang dengan pakaian yang amat indah, seindah wajahnya. Kain tipis bercorak
bunga itu meliuk mengikuti bentuk tubuhnya yang padat. Pakaian yang dikenakannya
sempurna membuat mata lelaki mana pun tak mampu berkedip.
Di depan cermin yang besar itu,
gadis itu mewarnai bibirnya dengan gincu merah muda. Meratakannya sampai ke
sudut-sudutnya. Menebalkan alisnya, dan menghias wajahnya dengan blash on
ungu. Parfum pun membuat aroma menyeruap dalam tubuhnya. Ia pun menyisir rambut
panjagnya dengan amat hati-hati. Seakan hari itu adalah hari yang sangat
penting baginya.
Sempurna. Gadis dua puluh tahun itu
terlihat amat sangat cantik. Tak bosan kiranya berlama-lama memandangi wajahnya.
Seperti berada di taman bunga di musim semi. Begitu Sempurna.
Hari ini adalah hari yang amat
sempurna, karena hari ini adalah ...
Tiba-tiba sebuah tangan mendarat di
pundaknya. Tangan laki-laki yang nampak di sudut pandangannya membuat kaget, ia
menoleh dan didapatinya lelaki berusia tiba puluh tahunan. Mirip seseorang tapi asing. tidak ada dalam
memorinya. Dia mencoba mengingat-ingat tapi kosong. Wajahnya terlihat tampan
rupawan, perawakannya pun juga bidang. Enak di pandang.
Dini pun menatap pria itu
lamat-lamat. Hormat, agak takut, dan lama-lama menjadi takut. Pria itu nampak
dingin. Sepertinya benar-benar paham kalau perempuan di depannya ini belum
pengalaman. Seperti ingin memberi kesan pertama yang tak terlupakan. Lelaki itu
pun duduk di sebelah Dini. Dini pun terlihat grogi, keringat dingin mengembun
di kening dan leher.
“Namamu Dini?” Lelaki berkumis tipis
itu membuka lembar percakapan dengan amatiran yang kaku itu. Dini tidak menjawab.
Semakin takut dan gugup. Ia menelan ludah dan hanya mengangguk sekenanya.
“Aku sempat bertanya-tanya pada
Romilah tentang mu.” Dini pun menatap lelaki itu meyakinkan, “Tenanglah, kamu
tak perlu takut denganku. Kita akan menjadi teman yang baik.”
Kali ini Dini menunduk lebih jelas
dengan kata “Iya Tuan,” dengan nada yang amat lirih, hampir tak terdengar.
Lelaki itu pun mengangkat kepalanya dan menatapnya, “Panggil saja Reza.”
Tanpa basa-basi. Lelaki yang
menyebut dirinya sebagai Reza pun memulai level yang lebih lanjut. Dibelai-belai
pipinya dengan lembut dan penuh kehangatan. Begitu pula dengan rambutnya yang
nampak mengombak. Reza pun mendekatkan bibirnya pada perempuan itu. Tapi salah,
Dini mengelak dan ragu. Dia masih gugup dan terlihat amat amatiran.
Reza pun hanya tersenyum, seakan
memberi kode, kamu pasti bisa melakukan tugas ini dengan baik. Dan yang kedua
kalinya, Dini pun melemahkan tubuhnya, berpasrah menikmati alur kisah panjang
malam itu. Kisah yang membuat harta berharganya ditelan harimau yang kelaparan.
Dan apa yang terjadi malam itu, terjadilah.
Lagi-lagi aku hanya melihat, aku
mendengar, dan aku meraba apa yang ada di balik hati kedua laki-perempuan itu.
***
Dan waktu tak akan berhenti untuk
menunggu apa pun. Dia akan terus menggiring takdir menuju pada jalurnya. Begitu
pula dengan nasib gadis yang sedang duduk itu. Sebulan sudah perempuan mungil
itu nampak lebih percaya diri dalam tiap aksinya. Hampir tiap dua-tiga hari
sekali tamu favoritnya selalu datang berkunjung. Ia selalu memprioritaskan tamu
utamanya itu dibanding dengan tamu-tamu yang lain. Dia selalu memepersiapkan
segala sesuatunya sesuai dengan kesukaan Reza. Dari mulai parfum, Sprai,
pakaian, lilin, buah, sampai camilan kecil pun sengaja dipilih sesuai kesukaan
Reza. Mungkin dia mulai jatuh cinta. Mungkin, mungkin juga tidak.
Setahun sudah Dini memainkan
perannya di atas ranjang dengan amat memuaskan. Hampir setiap laki-laki yang
selesai bermain dengannya akan merasa bahagia, puas, dan kelelahan. Dan
hubungan mereka pun semakin dekat, Reza dan Dini. Mereka tidak hanya sekedar
teman pemuas malam, tapi Reza pun sepertinya mulai menikmati gatar yang
berirama dalam dadanya. Begitu pula dengan Dini. Reza kerap sekali menceritakan
tentang kisah kecilnya, kehidupannya, dan apa pun yang ingin ia ceritakan. Sama
halnya dengan Dini, dia menceritakan saat masih bersama teman-temannya bermain
petak umpet, masak-masakan, rumah-rumahan, dan berbagai keceriaan yang lain.
Tapi mereka berdua belum pernah menceritakan kenapa mereka berdua berada di
tempat ini.
“Kamu kenapa menangis?” Tiba-tiba
suara itu mengagetkan Dini yang tengah tersedu sedan. Ia pun mencoba menghapus
air matanya, mencoba tersenyum seakan sedang tidak terjadi apa-apa. Tapi
percuma, belaian lelaki itu semakin menambah debit air matanya. Ia semakin tak
kuasa mengendalikan emosinya. Bahu Reza pun kebas oleh air mata Dini. Tidak
biasanya Reza datang berkunjung siang bolong begini.
Ketika hati mulai tenang Reza memulai
kembali perbincangan itu, “Ceritakan saja, barangkali hatimu akan lebih
lapang.”
“Bapak meninggal mas. Tadi pagi.”
Dini pun memulai kisahnya dengan
kisah-kisah sederhana, ayah, ibu, adik, semua menjadi tokoh utama dalam
ceritanya. “Bapak stroke. Tejo, Yuni, adik- adik saya terancam putus
sekolah mas. Ibu saya tidak bisa berbuat banyak, untuk makan saja dia dapat
dengan menghutang sana-sini. Bagaimana pula dengan biaya perawatan Bapak. Saya
melihat ibu sering melamun tiap saat, entah apa yang dilamunkannya. Menatap
kekosongan. Saya rasa Ibu sangat tertekan, banyak pikiran mas. Dan aku, apa
yang bisa aku lakukan? Aku hanya buruh di kampung, tidak banyak yang saya dapat
untuk itu mas. Hanya tiga puluh ribu per minggu.” Dini pun berhenti sejenak dan
menatap lelaki yang ada di depannya, “Dan akhirnya saya ...”
“memutuskan untuk ini.” Reza pun
menarik kesimpulan. Dini mengangguk lemah, merasa tidak berdaya sama sekali.
“Kamu tak perlu menyesal dengan apa
yang telah kamu putuskan Din. Kau tidak lebih buruk dari mereka yang merasa
benar dan suci. Kau tidak lebih buruk dari mereka-mereka yang buta dengan
orang-orang sepertimu.” Reza menarik nafas untuk kata-kata berikutnya, “Aku
mengenal kamu sejauh ini Din, aku tahu hatimu tidak lebih buruk dari
orang-orang di luar sana. Mereka hanya memandangmu sebelah mata tanpa pernah
mereka sadari mereka lebih hina dari pada kamu.”
“Kenapa Mas berkata demikian, Mas
juga datang ketempat kotor ini.”
Reza pun tersambar, tersindir harga
dirinya diusik. “Aku punya istri, dan kami belum punya momomngan. Tapi bukan
karena masalah itu aku datang padamu tiap malam. Dia tidak pernah mencintaiku,
dia tidak pernah menghormatiku sebagai suami. Tak pernah dia memberikan
waktunya untuk menemaniku. Tidak. Dia hanya sibuk dengan
perhiasan-perhiasannya, dengan teman-temannya, dan entah dengan apa aku tak mau
peduli. Dia tidak pernah mencintaiku, dia hanya mencintai hartaku saja.” Emosi
pun beranjak tak stabil, “Aku tak kuat. Aku tak bisa berlama-lama se atap
dengan manusia macam dia. Dan ... ” dialog pun terhenti untuk kata-kata
terakhir, “pengadilan mengesahkan perceraian kami pagi tadi.”
“Maaf mas,” Dini pun memegang tangan
reza. Perbincangan siang itu terhenti. Hanya sajak air hujan yang mengiringi
siang yang semakin membisu. Dan mereka pun tertidur. Hanya tidur, tidak terjadi
apa pun.
Esok pun datang bersua. Ketika sang
fajar masih menguasai langit, dua laki-perempuan itu tengah bersiap-siap untuk
pergi ke sebuah tempat. Nampaknya ada kesepakatan yang mereka buat semalam.
Mobil avanza melaju ke arah timur, sebuah kecamatan terpencil di sudut
surabaya. Mereka berencana melakuan takziah atas meninggalnya ayah Dini.
Bagaimana aku tahu? Karena aku mendengar percakapan mereka semalam. Tapi entah
apa yang dilakukan di sana?
**
Nampaknya perjalanan seminggu yang
lalu berjalan lancar, meskipun terlihat ada air mata yang membuncah tapi semua
masih dalam kendali. Hari ini terasa berbeda. Aku merasa akan ada kabar
gembira.
Seperti biasa, Dini memoles tubuhnya
dengan berbagai make up. Blash on, lipstik, foundation,
bedak, maskara, eye shadow, dan eye liner. Dengan baju terbaiknya
yang membalut tubuh sampurnanya. Menggunakan parfum yang mengikat penciuman.
Sempurna seperti gadis yang masih perawan.
Datanglah dari mulut kamar ini
seorang laki-laki dengan kemeja hitam, jas putih, dengan dasi kupu-kupu melingkar
di lehernya. Dengan setangkai bunga mawar merah tergenggam penuh makna. Ia
segera datang mendekat berlutut di depan perempuan itu. Setangkai bunga
mengiring kata-kata indah dari mulutnya.
“tapi bidadari pun menunduk malu
melihat kecantikan hatimu yang menyejukkan hati yang lain. Tak ada laki-laki
yang mampu menahan getaran cinta yang terpancar dari dalam.” Reza pun mengambil
sebuah kotak yang ada di sakunya dan mengeluarkannya. “Perkenankanlah lelaki
bodoh ini untuk mempersunting perempuan surga di depan mataku ini.”
Kaget. Dini terlihat amat terkejut
dengan lamaran Reza. Dia tidak beraksi apa-apa. Dia hanya manatap mata Reza
dalam. satu detik, dua detik, tiga detik, hingga dua menit. Dan tidak terjadi
apa-apa. Waktu yang amat sangat panjang bagi lelaki yang amat mengharap
anggukan atau kata ‘Ya, aku mau mas’ dari mulut perempuan itu.
Apa yang terjadi? Perempuan itu
menangis. Keringat dingin berkucuran di mana-mana. Membalikkan pandangannya
dari laki-laki yang dicintainya itu. Tapi kenapa? “Kenapa Din? Apa aku
terlambat? Apa sudah ada yang melamarmu? Atau aku terlihat buruk di matamu?”
Perempuan itu hanya tergugu dalam
tangisnya. Sampai kata-kata yang amat getir pun muncul dari bibirnya. “Saya,
saya positif HIV
Hening. Kamar ini menjadi hening. Rasa-rasanya
ada tanah longsor dibalik dada. Kedengaran sampai sini gemuruhnya. Aku merasa
sungkan melihat pemandangan ini. Biarlah mereka bersedu sedan meratapi skenario
indah oleh Sang Sutradara. Setidaknya mereka punya cinta, bukan hanya sekadar
uang dan tubuh. Mungkin keajaiban cinta dapat membuat masalah itu menjadi
kabur, syukur-syukur lenyap. Yang jelas ada ketulusan di antara kedua
lakii-perempuan itu, tidak seperti orang-orang sebelum mereka. Sungguhlah,
dunia ini terlalu sempit jika hanya dilihat dari satu sudut mata saja. Karena
memang manuisa lebih dari satu.
Lantas, bagaimana nasibku kini?
Biarlah aku dan bayanganku tetap menjadi saksi hidup anak manusia. Di tempat
ini. di kamar Mawar 13.
#end