Sunday, October 30, 2016

Nyatanya Mereka Ada


Resensi Novel Manusia Harimau – Eka Kurniawan
Setidaknya saya harus bersumpah serapah atas 50 ribu yang saya bayar untuk kisah yang hanya menceritakan pembunuhan mitologi ini, beserta kisah-kisah berahi di dalamnya. Meskipun akhirnya saya menyadari puji-pujian harus saya bayar lebih pada mas Eka Kurniawan atas segala keindahan yang disuguhkan dalam kisah pembunuhan mitologi itu pula. Sebingkai kisah pembunuhan seorang anak manusia bernama Margio yang memiliki harimau putih di dalam tubuhnya. Hanya itu. Sesingkat itu. Lainnya hanyalah serapah tarik ulur kisah-kisah dibalik pembunuhan itu, yang mebuatku kejang saking nikmatnya. Ya. Serapahan itu tak henti-hentinya membuat saya berkomat-kamit merapal pujian.
Jika kamu pikir novel ini berceritakan mengenai manusia-manusia tampan bertubuh ateltis dengan roman receh, atau barangkali jika kamu berfikir buku ini berkisah tentang manusia jadi-jadian yang kemudian suka makan orang, maka pulanglah dan pakailah popokmu. Jangan lupa minum susu dulu.
Bagi saya, hampir dari keseluruhan keindahan dari buku ini adalah lahir dari eksistasnsi kisah ini yang asali, tidak buat-buat dan begitu lekat dengan kehidupan nyata itu sendiri. Sementara harimau hanyalah pemanis untuk melumuri kisah ini menjadi lebih magis dan mencekam. Hampir dari keseluruhan kisah ini adalah nyata dan begitu lekat dengan kehidupan di masyarakat. Dan Mas Eka menyuguhkannya dengan lembut, realis, tanpa hiperbolik yang berlebihan. Dia tidak memaksa pembaca untuk luruh dan tenggelam dalam kisah itu melalui pendekatan batiniah yang berlebihan. Namun, Mas Eka menyajikan diksi yang begitu realis, begitu nyata, sehingga tanpa diminta, kita bisa merasa benar-benar berada di dalam, bahkan merasa harus ikut andil terhadap konflik-konflik yang terjadi.
Soal alur, jangan tanyakan pada saya betapa pusingnya menelaah alur ini. Begitu menyebalkan, twisted, Namun disitulah titik indahnya sehingga kita merasa tidak bosan dengan serapah yang sebenanrya kita usah tahu.
Dan pesan saya bagi para ortodok, barangkali lebih baik meletakkan Alquran atau Alkitab dekat-dekat dengan buku itu. Karena kisah-kisah berahi begitu nyata menari di pelipis mata, tidak menutup kemungkinan tiba-tiba kalian ikut terjebak dalam berahi atau malah melemparnya dan segera membakarnya.
Bagi saya pribadi, karya indah Mas Eka ini tiada lain adalah sebuah sarkasme besar bagi orang-orang yang menyadarinya. Bagaiamana tidak? Nuraeni si gadis setengah gila karena dikecewakan suaminya kemudian dia selingkuh dengan tetangganya, Anwar Sadat lelaki hidung belang yang hobi menjamah gadis-gadis rumah plesiran, Laila si gadis cantik yang mebiarkan lelaki manapun bertamasya pada kewanitaannya, begitu juga adiknya Maesa. Semua kedangkalan prilaku itu barangkali menjijikkan, namun dibalik jerih kemiskinan dan kebohodan itu adalah tanggung jawab bagi kita, bagi kaum yang terpelajar. Atau setidaknya tahu bahwa hal semacam itu semestinya bisa dicegah. Bukankah tugas dari kau terpelajar adalah menjawab persoalan di masyarakat.

Setidaknya saya harus bersyukur, Mas Eka menampar saya melalui kisah cinta Margio dan Maharani yang terpaksa harus tandas karena kebodohan orang-orang disekitarnya, saya menjadi sadar bahwa lingkungan saya sedang tidak baik-baik saja. Terimakasih atas keindahan diksi dan susuan kata yang membuat mulut saya menganga berkali-kali.

No comments:

Post a Comment